***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 006

Anak itu sudah makin mendekati sifat manusia daripada sifat monyet, pikirnya dan diapun melangkah masuk ke dalam kamarnya, membiarkan anaknya bermain-main di luar karena dia tahu bahwa kini Sin Liong, semenjak peristiwa pertempurannya melawan monyet-monyet itu, tidak mau pergi jauh dari halaman depan istana.

Si Kwi sedang membaca kitab yang terisi cerita kuno sambil rebah di atas pembaringannya, ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak anaknya memasuki kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi bangkit duduk dan terkejut.

Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak itu tidak boleh merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini anak itu berjalan setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak lebih cepat, tentu ada apa-apa yang penting pikirnya.

“Liong-ji... ada apakah...?”

Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan agaknya tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan gugup dan takut.

“Ibu... keluar... keluar...!”

Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari dalam kamar itu. Si Kwi meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari setengah merangkak dan berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi depan dan hendak terus keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang lengan anaknya dan berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu. Sinar bulan menerangi tempat itu.

“Ibu...!” Sin Liong menuding ke depan.

“Sstttt...!”

Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh Sin Liong agar dia berdiam diri. Si Kwi yang memiliki pendengaran tajam terlatih itu telah mendengar sesuatu dari jauh. Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa orang pengunjung. Siapa pula yang berani datang mengunjungi tempat ini?

Pernah dahulu, sebelum dia melahirkan, beberapa kali ada orang-orang berkeliaran di dekat istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah mempergunakan kepandaiannya, menyambit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil kecil dan membuat mereka lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka?

“Liong-ji, kau masuklah ke dalam!” kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi istana.

Sin Liong yang memiliki naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya mengancam, cepat berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi itu sambil mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti datangnya orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu.






Tak lama kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak dan pakaiannya, tentulah bangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan keberanian dan kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa memperdulikan hukum dan perikemanusiaan.

Mereka tercengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana itu dan mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan Si Kwi dari kepala sampai ke kaki.

“Bukan main...! Cantik sekali...!”

“Seperti bidadari! Dewi kahyangan rupanya!”

“Orang bilang, disini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!”

“Sayang tangan kirinya buntung!”

“Tidak apa, yang penting kan bukan tangan kirinya, heh-heh!”

Mereka bergelak tertawa dan masih terdengar ucapan-ucapan tidak senonoh yang membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai.

Seorang di antara mereka, yang muka¬nya hitam dan mukanya brewok matanya lebar, tubuhnya tinggi besar dan agaknya dia yang memimpin rombongan enam orang itu, berkata,

“Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah Naga?”

Si Kwi bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar pertanyaan itu dia menjawab,

“Benar!”

Laki-laki itu tertawa.
“Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana setannya? Dan siapa engkau, nona manis?”

“Penghuni istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak ada seorangpun boleh mendatangi tempat ini!” kata Si Kwi dengan nada suara dingin mengancam.

Akan tetapi enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka semua tertawa. Si brewok itu tertawa paling keras dan berkata,

“Ha-¬ha-ha, boleh jadi engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis ting¬gal di istana besar seorang diri. Akan tetapi engkau hanya seorang wanita muda yang lemah, berpakaian indah serba merah, tangan kirimu buntung malah. Andaikata engkau benar setan, heh-heh, aku senang berteman dengan setan seperti engkau ini. Aku tidak takut kau gigiti. Ha¬-ha-ha!”

“Ha-ha-ha-heh-heh!” Lima orang temannya tertawa semua. “Bhong-twako, boleh engkau nikmati dia, kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja, heh-heh!”

Pada saat itu, mereka semua ter¬cengang dan memandang ke serambi depan. Kiranya lima pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan diajak keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin Liong sudah sembunyi lagi sambil mengintai.

“Wah, wah, kiranya masih ada lima orang lagi? Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan enam! Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biarpun tidak secantik si buntung ini, akan tetapi mereka itu je¬las perempuan, tidak banci. Itu saja sudah cukup, ha-ha!”

Lima orang itu ter¬tawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima orang pelayan itu. Para pelayan itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat dan berpakaian cukup bersih, maka nampak pula sifat kewanitaan mereka. Lima orang itu sambil bersorak sudah bergerak hendak menyerbu ke serambi.

“Tahan!” Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa karena ia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya. “Tahan atau kalian akan mati di tempat!”

Enam orang itu terkejut dan si bre¬wok memecahkan perasaan kaget yang mencekam itu dengan suara ketawanya.

“Ha-ha-ha, lagakmu amat hebat, nona. Seorang wanita muda sepertimu ini, dan lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami? Lebih baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan selanjutnya hidup bersama kami...”

“Hemm, kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari mana kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani melanggarnya?”

“Kami? Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan...”

“Padang Bangkai?” Si Kwi memotong cepat dan terheran-heran. “Bukankah Padang Bangkai telah kosong dan peng¬huninya telah tewas semua? Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah tewas, anak buahnya juga telah terbasmi habis. Bagaimana kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?”

Dalam cerita “Dewi Maut” telah di¬ceritakan betapa Padang Bangkai dijadi¬kan sarang oleh suami isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka juga takluk terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan menjadi pembantu-pembantu mereka.

Adalah Ang-bin Ciu-kwi inilah yang men¬jadi sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi si pemabok itu, dia diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu. Ketika terjadi pertempuran-pertem¬puran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pen¬dekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, dan semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat ber¬bahaya dan mengerikan itu telah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai?

Si brewok itu tertawa,
“Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai telah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa disini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... eh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!”

“Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menang¬kap lima ekor kelinci gemuk disana! Ha-ha!”

Seorang diantara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi.

“Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!”

Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul ten¬dangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka.

“Plak-plak! Dess-desss!”

Dua orang itu memekik dan terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya.

“Kiranya engkau benar-benar setan!” teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga sudah menggerakkan golok mereka menyerang.

Namun Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal meng¬apa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tidak menjadi gentar. Dengan gin-kangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap ¬dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.

Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, me¬nonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona maji¬kan mereka benar-benar amat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan se¬gebrakan saja telah merobohkan dua orang!

Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat makin mendalam karena majikan mereka ternyata merupa¬kan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat!

“Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!” bentak Si Kwi dan tangan kanan¬nya menyambar.

“Krekkk!”

Jari-jari tangan yang halus namun karena diisi oleh tenaga sin-kang menjadi kaku dan keras seperti baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluar¬kan suara seperti babi disembelih, tubuh¬nya roboh berkelojotan. Sebuah tendang¬an kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak dan dia tidak berkelojotan lagi!

Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya dapat ditangkapnya dan cepat dia miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit, tangan itu menotok siku tangan orang yang memegang golok.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: