***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 008

“Kalau aku sampi kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerah¬kan Istana Lembah Naga ini kepadamu.”

Berseri wajah kepala perampok itu.
“Bagus! Itu janji yang adil!” serunya.

Si Kwi tidak menjanjikan hal terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum bahwa tanpa dijanjikan sekalipun, kalau sampai dia kalah bukan saja dia dan para pelayannya akan mengalami malapetaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka!

“Nah, kita sudah berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Mulailah, tai-ong!” dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut ditekuk dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan lengan dikembangkan.

“Jagalah, toanio!”

Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, memperingatkan dulu sebelum menyerang seperti sikap seorang gagah tulen, padahal dia adalah kepala perampok yang biasanya tidak memperdulikan sopan santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

“Hyaaaahhhh...!” kepala perampok itu membentak ketika mata tombaknya menyambar ganas.

“Haaaaiiiitttt...!”

Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya. Tahulah dia bahwa lawannya ini tidak percuma memiliki julukan Sin-jio (Tombak Sakti) karena ternyata ilmu tombaknya memang amat cepat gerakannya. Dia tidak hanya mengelak, melainkan mengelak sambil mengirim serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil mencondongkan tubuhnya.

“Singg...tranggg...!”

Kini Coa Lok yang terkejut. Tak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka diapun memutar tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang. Sambil me¬mutar tombaknya membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang, ujung tombaknya tergetar dan pecah-pecah bayangannya menjadi empat lima batang yang kesemuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluar¬kan bunyi nyaring.

“Bagus...!”

Si Kwi memuji karena memang dia kagum menyaksikan ilmu tombak yang dahsyat ini. Diapun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak lawan, dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedangnya yang amat hebat.






Itulah ilmu pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun. Ilmu ini sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, ilmu yang dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu, dan ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata, terutama senjata pedang.

“Eh...!”

Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar yang mencegah tombaknya menembus dan di lain fihak dari gulungan sinar itu mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat berbahaya.

Setelah mengerahkan gin-kangnya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, tenaga sin-kangnya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan gin-kangnya saja yang masih melebihi lawan, sehinga kalau dia mau, tentu dia dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu.

Akan tetapi dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para perampok dan me¬rampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apalagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka ini dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia dapat mempunyai tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlu¬kannya.

Akan tetapi, karena dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang ba¬nyak, dan dia hanya mengandalkan gin-kang, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan lawan tanpa melukainya. Maka dia lalu menggunakan akal.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan ke¬ras dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu telah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia ber¬seru,

“Tai-ong, awas paku!”

Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahhya yang berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali mengguna¬kan senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap.

Akan tetapi, tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang sudah menyimpan pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua kakinya.

Sin-jio Coa Lok terkejut dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tom¬baknya. Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat dit¬angkisnya dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali.

“Trang-cringgg... plakkk!”

Dua kali pedangnya dapat ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi dengan tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu sehingga tak dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya.

Tubuh Si Kwi berkelebat, tombak menyambar akan tetapi Si Kwi menendang gagang tombak, sehingga serangan tombak menyeleweng dan sebelum Coa Lok dapat mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel di lehernya dari belakang!

“Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!” kaka Si Kwi, akan tetapi dia lalu me¬loncat lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya.

Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang kena tendang, lalu menancapkan tombaknya di atas tanah di depannya. Dia maklum bahwa sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan kalau wanita itu menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata,

“Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku berjanji tidak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapapun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku.”

Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar ini. Maka diapun balas menjura.

“Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu amat hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang. Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaik. Maafkan tentang peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah paham.”

“Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami.”

Sin-jio Coa Lok lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya setelah memberi isyarat kepada anak buahnya. Para perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh kagum, mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan kepada wanita lihai itu lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka, Si Kwi memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu.

Mula-mula dia memperli¬hatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu istana. Kemudian, ketika kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia memperlihatkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak di¬ganggu!

Dan kepala perampok yang ber¬juluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, se¬hingga dia segera melupakan kematian anak buahnya karena dengan kepandaian¬nya kalau wanita yang buntung tangan kirinya itupun telah mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu menghendaki, tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus men¬datangkan rasa takluk, segan dan juga hormat di dalam hatinya dan semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si Kwi.

Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup mewah dan cukup terjamin. Kini wanita ini nampak penuh gairah hidup, gembira dan bersemangat, kelihatan cantik dan selalu berpakaian indah serba merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria!

Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih suka untuk bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan ter¬hadap dirinya. Demikianlah, biarpun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi me¬rasa cukup bergembira.

**** 008 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: