***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 010

Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita daripada dikatakan masih kelihatan muda, apalagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini!

“Ahh, kongcu terlalu memuji...” katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. “Suami saya memang berusia hampir empat puluh, akan tetapi sayapun sudah... eh, hampir tiga puluh tahun...”

“Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!”

Jantung nyonya itu makin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata,

“Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?”

“Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapapun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh...” disini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik “...melihat nyonya sebagai isterinya, saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih...”

Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia meng¬angkat muka memandang wajah itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali.

“Dia bekeria di dapur, harap kongcu langsung masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan.”

Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumah¬nya, langsung dia memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuh¬nya yang baru saja mendapat pujian se¬cara tidak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu dari seorang pe¬muda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasa¬kan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar.

Sementara itu, sasterawan itu ter¬senyum mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata kagum, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah.

Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia ber-sikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita manapun yang di¬jumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci.

Setelah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana ter¬dengar suara berdentang dan berdencing¬nya besi bertemu besi.






Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara ber-dencing itu berhenti, dan ketika dia memasuki pintu dapur dimana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang laki-laki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya berlepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi.

Nampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu rumah samping dan melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk.

Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan mem-bungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikitpun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu, kemudian, setelah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu.

Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak¬lah mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sastera¬wan itu.

Sejenak Bhe Coan tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan dan pula utusan pembesar-pembesar.

Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan memesan pedang! Biasanya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kwas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Maka dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu.

Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat.

“Tadi saya diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?”

Sepasang mata pandai besi itu ber¬sinar, tanda bahwa ucapan pemuda saste¬rawan itu berkenan di hatinya. Diapun terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berke¬pandaian seperti para sasterawan ber¬sikap angkuh dan merasa lebih tinggi daripada orang-orang kasar seperti dia, akan tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali.

“Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ah, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja...”

Kui Hok Boan tersenyum lebar, nam¬pak giginya yang putih bersih.
“Bhe-twako, kiranya twako seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hor¬mat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang...”

“Ahhh...!” pandai besi itu kelihatan berseri wajahnya mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. “Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?”

Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tidak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran lalu berbalik dia bertanya.

“Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?”

“Hubungan baik sekali!” Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia. “Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?”

Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan menghormat lagi kepada pandai besi itu.

“Aihh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!”

Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegan¬g kedua tangan sasterawan itu.

“Lui-kongu, saya girang sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?”

Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata,

“Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali?”

Bhe Coan mengangguk-angguk.
“Benar... benar... itulah anak saya, itulah Bi Cu anak saya...”

Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat!

“Kiranya anak itu anak twako? Ah, selamat, twako. Anak twako begitu manis!”

“Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ah, kongcu, mari kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu merupakan seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu...”

Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor.

Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu meng¬gandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah.

“Kui-kongcu, perkenalkan, ini isteri saya. Ah, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat.”

Kui Hok Boan menjura dan meng¬angkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu,

“Twaso, maafkan kalau saya mengganggu.”

Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan diapun cepat-cepat menjura dan berkata,

“Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya tentu saja tidak mengganggu.”

“Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kau sediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!” kata pandai besi itu dan Leng Ci bergegas meninggal¬kan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan.

Diapun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung.

Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya.

Dan ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri.

Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak dan masakan yang telah diselesaikannya. Dan setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pemuda tampan itupun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan.

“Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu luas sekali sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?” Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum.

Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawa mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan kini dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya,

“Saya sendiripun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!”

Bhe Coam tertawa.
“Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Diapun tentu heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, kalau kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang...”

“Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?”

Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: