***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 014

Dengan senyum di mulut Bhe Coan dengan girang membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena ke¬girangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya ke¬pada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena memang dia masih bekerja.

Tiba-tiba dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia!

Akan tetapi ketika dia tiba di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, dan Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, meninggalkan kamar.

Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya.

“Leng Ci...!” panggilnya perlahan.

Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran.
“Ada apakah?”

“Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?”

Isterinya tersenyum.
“Hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok. aku melihat Kwi-kongcu mengigau dan bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku, geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku.”

“Ahh...” Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya

“Nah, kau dengar...?” Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok.

Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang.

Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum ketika menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, biasanya di waktu pagi isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apalagi memakai wangi-wangian. Dan anehnya pula, biarpun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja.

Sore hari itu Bhe Coan berpamit dari isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain.






Setelah pandai besi itu pergi, biarpun kepergiannya itu tidak akan lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu.

Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang sudah lama dikenalnya. Melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata,

“Hemm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya.”

Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut,
“Eh, Lao Tung, apa maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?”

“Ha-ha-ha, pura-pura tidak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih untuk mengobati orang sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, demamnya orang yang berhati muda!” Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran.

“Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu mengapa?”

“Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!”

Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya ketika pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa.

“Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?”

Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab,
“Benar-benar kau tidak tahu? Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu berahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!”

Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan biarpun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang namun hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui Hok Boan membeli obat perangsang? Akan tetapi, dia melihat sendiri betapa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya.

Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya. Wajah isterinya kini selalu gembira, sepasang matanya bersinar-sinar. Anehnya, semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau didekatinya di waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang terjadi dengan isterinya? Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan, sampai-sampai pernah beberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman kepadanya!

Ketika tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang.

“Ah, kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!” katanya dan dia mengerling ke arah isterinya yang juga kelihatan berseri gembira wajahnya, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak, rambutnya licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda dengan malam tadi, agaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru berganti pakaian di sore hari.

“Terima kasih, twako. Sudah banyak baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai, twako?”

“Sudah, tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan selesailah pesananmu, siauwte.”

“Terima kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga...”

“Eh, siapakah anak ini dan mengapa kau ajak ke sini?” tiba-tiba Leng Ci bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu.

“Dia adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan api agar pekerjaan lebih lancar,” jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua orang itu sibuk bekerja di bengkel.

Mengingat bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari, Hok Boan dan Leng Ci makin menggila dalam hubungan perjinaan mereka. Agaknya mereka bersepakat untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya.

Mereka seperti tidak mengenal lelah dan karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan selalu sibuk dalam bengkeinya, maka mereka menjadi lengah dan lalai, kini mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu!

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan telah bekerja di bengkelnya, dibantu oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang di landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, di dalam kamamya, Hok Boan juga menyambut kedatangan Leng Ci yang kelihatan segar sehabis mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk pemuda itu, merangkul dan menangis!

“HEH, mengapa menangis, sayang?” Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium air mata yang membasahi pipi. “Tiada pertemuan tanpa perpisahan, dan kita masih mempunyai waktu sehari ini.”

“Kongcu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu. Besok... besok kau bawalah aku besertamu, kongcu...”

“Hemm, mana mungkin begitu, manis? Engkau adalah isteri Bhe-twako dan...”

“Aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya, kongcu?”

“Kau memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci.”

“Kongcu... kau kasihanilah aku, bawalah aku besok...”

“Ssstt... bagaimana besok sajalah.”

Leng Ci memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia sudah terbuai oleh belaian pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segala, membiarkan saja pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam lagi dalam lautan nafsu yang bergelora.

Bunyi suara berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar ketika Leng Ci rebah terlentang, kepalanya berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya.

“Kongcu...”

“Hemm...”

“Kalau kau tidak mau membawaku, aku akan hidup seperti dalam neraka...!”

“Ah, jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci.”

“Akan tetapi aku tidak cinta padanya.”

“Bukankah engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi isterinya secara sukarela?”

“Ya... akan tetapi setelah bertemu denganmu...”

“Kau memang manis!” Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya, lalu mencium mukanya.

Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di tangan! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk membuat tapal kaki kuda dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu masih terdengar terus.

Akan tetapi dia sendiri meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya ketika dia melihat isterinya sedang berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang!

“Jahanam busuk kau orang she Kui!” bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar!

Leng Ci dan Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu men¬coba untuk menyembunyikan tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak memandang pandai besi yang telah berdiri di depan pembaringan itu. Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar dan tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang membantu pandai besi itu! Betapa bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara pukulan yang jauh lebih lemah itu!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: