***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 016

Demikianlah, Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang. Tentu saja mereka tidak dapat mengharapkan hasil di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk Khing-an-san, karena selain hal ini amat berbahaya, juga penduduk dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin. Bahkan mereka tidak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, dan mereka tidak mau memancing kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu.

Maka, para perampok ini hanya “mencari nafkah” dengan cara merampok para pedagang yang lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning. Jadi, Padang Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja.

Selama tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang berani mendatangi sarang mereka. Apalagi mendatangi dusun yang mereka jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah nampak seorangpun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuat para pe¬rampok itu merasa aman.

Akan tetapi pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari mulai menyinari bumi dengan cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datang dari selatan. Ketika tiba di depan padang rumput yang luas itu, si penunggang kuda menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian.

“Hemm, inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai...” katanya seorang diri dan dia lalu turun dari atas kuda.

Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke depan.

“Bukan main luasnya,” kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil tempat air dari sela kuda dan sambil duduk di atas rumput, dia minum be¬berapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher dan dahi dengan ujung lengan baju¬nya yang lebar.

Orang ini bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung dimana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka, pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san.

Sebelum dia menuju ke utara, dia memang telah menyelidiki dan mempela¬jari keadaan Lembah Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggauta pasukan tentara kerajaan yang pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga (baca cerita Dewi Maut). Dari para anggauta pasukan ini dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang Bangkai.

Dia tidak mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang benar seperti yang di¬gambarkan oleh anggauta pasukan yang pernah datang ke tempat ini. Memang mengerikan keadaannya. Dari atas pohon nampak sinar matahari menimpa padang rumput yang luas dan terdapat bermacam-¬macam warna di sepanjang padang yang luas itu.

“Ada lorong kecil menuju ke selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah tempat-tempat yang berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong setapak ini tanpa lebih dulu mengetahui keadaannya.” Demikian antara lain penuturan anggauta pasukan kerajaan itu.






Setelah membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas melihat ke depan, siap menghadapi bahaya yang mungkin datang dari mana¬pun, sungguhpun tempat itu amat sunyi dan agaknya merupakan tempat yang aman.

Ketika matahari telah naik tinggi, tibalah dia di ujung jalan kecil itu. Di depannya kini terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput yang lain warnanya, ada yang merah, ada yang kebiruan dengan bentuk yang aneh-aneh.

Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu. Dia mendengar penuturan anggauta pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya menanti binatang-binatang kecil yang suka meng¬hisap darah dan menggerogoti daging! Mengerikan! Akan tetapi, melihat rumput-rumput hijau segar itu, sukar untuk dapat mempercaya cerita itu.

“Lebih baik menempuh bahaya di¬serang ular dan binatang buas,” pikirnya.

Dia mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, dimana terdapat pula jalan setapak, akan membawa orang ke padang ilalang yang tingginya seperti manusia dewasa dimana terdapat banyak ular dan binatang lain.

Tadi Hok Boan telah mematahkan cabang pohon dan kini tangannya sudah memegang sebatang tongkat panjang seperti toya, kemudian dia menggerakkan kudanya memasuki lorong setapak diantara rumput-rumput kuning itu. Kudanya bergerak perlahan memasuki lorong itu dan benar saja, makin lama lorong itu makin menurun agaknya karena rumput-rumput itu menjadi makin tinggi, ataukah rumput ilalang yang tumbuh di kanan kiri sudah setinggi paha kudanya.

Kuda yang ditunggangi Hok Boan maju terus. Tiba-tiba kuda itu berhenti melangkah, lalu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, terdengar bunyi berkerosakan disusul oleh suara salak anjing dari jauh.

Hok Boan terkejut, akan tetapi dia sudah siap dengan tongkatnya. Tak lama kemudian, muncullah delapan ekor anjing liar yang menyerang dari depan, kanan dan kiri. Akan tetapi, Hok Boan sudah siap dengan tongkatnya dan beberapa kali tongkatnya bergerak memukul. Setiap gerakannya tentu meremukkan kepala seekor anjing sehingga tak lama kemudian, bangkai delapan anjing liar itu berserakan di tempat itu.

Akan tetapi kuda itu menggigil, agak¬nya ketakutan. Ketika Hok Boan me¬maksanya untuk maju, kuda itu meringkik dan maju perlahan-lahan. Kini mereka tiba di lorong setapak yang memisahkan antara rumput ilalang tinggi dan rumput hijau segar yang berada sebelah kiri.

Hok Boan menjaga benar-benar agar kudanya tidak makan rumput itu atau menginjak bagian kiri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan berkero¬sakan. Ilalang itu bergoyang-goyang dan kudanya kini makin ketakutan, meringkik-ringkik ganas, mendengus-dengus. Kembali Hok Boan mempersiapkan tongkatnya dan ketika dia melihat munculnya ular-ular yang datang menyerang, dia me¬mutar tongkatnya itu, memukul remuk kepala beberapa ekor ular yang datang dekat. Akan tetapi, kuda itu menjadi ketakutan, tiba-tiba meringkik dan me¬loncat ke kiri, jauh sekali, ke arah padang rumput hijau.

“Blessss...!”

Begitu empat buah kaki kuda itu tiba di atas tanah berumput hijau, seketika kaki itu amblas ke bawah sampai seperut kuda! Hok Boan terkejut bukan main, namun dia memang cerdik. Dia tidak menjadi gugup dan masih ingat untuk tidak meloncat turun. Tahulah dia bahwa kudanya telah terperosok ke dalam lumpur maut yang menghisap dari bawah. Kuda itu tidak akan dapat tertolong lagi. Maka dia lalu menggunakan kuda itu sebagai batu loncatan, meloncat ke kanan dan tiba di lorong setapak tadi.

Dia mendengar kudanya meringkik-ringkik dan mendengus-dengus. Ketika dia menoleh dan memandang, bulu tengkuknya meremang. Mengerikan sekali memang. Kuda itu tenggelam makin dalam, kini tubuhnya sudah tenggelam semua, tinggal leher dan kepalanya, ma¬tanya terbelalak, hidungnya mendengus-dengus, mulutnya berbusa. Bagian tubuh yang tinggal inipun tidak lama karena leher dan kepalanya segera terbenam pula dan tidak nampak lagi bekas-bekas¬nya. Rumput hijau itu sudah menjadi rata kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Hok Boan menjadi marah sekali. Dengan menggunakan pedangnya dan batu yang terdapat di situ, dia membuat api dan membakar padang ilalang yang penuh dengan ular-ular tadi. Api berkobar dan menjalar, membakar seluruh padang ilalang itu!

Hok Boan sendiri menjauh, kembali ke tempat tadi karena dia merasa terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Biar tempat berbahaya itu habis ter¬bakar lebih dulu sebelum dia melanjutkan perjalanan, pikirnya.

Untung ketika dia meloncat dari atas kudanya tadi, dia tidak lupa untuk menyambar bungkusannya yang terisi pakaian dan bekal makanan. Kini, dia duduk memandang padang ilalang yang terbakar itu sambil menggerogoti roti kering. Benar juga penuturan anggauta pasukan kerajaan itu. Melaku¬kan perjalanan menuju ke Lembah Naga akan melalui tempat-tempat berbahaya dan sampai berhari-hari tidak akan ber-temu dengan dusun, maka sebaiknya membawa bekal makanan. Kalau dia tidak membawa bekal roti kering, dia bisa kelaparan.

Kebakaran di Padang Bangkai itu hebat sekali. Padang ilalang itu penuh dengan ilalang kering dan sudah berbulan-bulan ini tidak turun hujan, maka ten¬tu saja api yang mengamuk itu mem¬peroleh bahan bakar secukupnya sehingga api berkobar-kobar membasmi seluruh padang ilalang itu selama sehari semalam!

Pada hari ke dua, setelah api kehabis¬an makanan dan mulai padam, meninggal¬kan puing, abu dan asap, muncullah serombongan orang dari Padang Bangkai, memeriksa keluar dan sampai di tempat yang kebakaran itu.

Mereka ini adalah Sin-jio Coa Lok bersama tiga puluh orang anak buahnya. Ketika api sedang mengamuk, mereka ini tidak dapat ber¬buat apa-apa, hanya menonton saja ketika api mengamuk hebat, merobah padang ilalang itu menjadi lautan api. Akan tetapi setelah api mulai padam, mereka lalu keluar dari sarang mereka untuk mengadakan pemeriksaan dan untuk menyelidiki apa yang menyebabkan kebakaran itu karena sepanjang penge¬tahuan mereka, tidak pernah ada orang berani mendekati daerah Padang Bangkai, apalagi melakukan pembakaran.

Akan tetapi sekali ini mereka keliru dan memandang dengan penuh keheranan ketika mereka melihat seorang laki-laki muda berpakaian sasterawan duduk melenggut di bawah pohon. Melihat ada seorang asing di daerah ini, mereka bukan hanya merasa heran, akan tetapi juga curiga sekali. Andaikata bukan orang ini yang melakukan pembakaran, tentu orang ini melihat siapa yang melakukannya, maka atas isyarat tangan kepala perampok itu, gerombolan ini lalu menghampiri pohon dimana laki-laki itu duduk di bawahnya dan mengurung pohon itu.

Laki-laki itu adalah Kui Hok Boan. Tentu saja dia tahu ketika ada segerom¬bolan orang kasar itu muncul dari Padang Bangkai. Mula-mula dia merasa heran bukan main, juga terkejut karena menurut keterangan yang diperolehnya dari angauta pasukan kota raja itu, bahwa Padang Bangkai maupun Lembah Naga kini merupakan tempat berbahaya yang kosong karena penghuninya telah dibasmi oleh para pendekar yang memimpin pasukan kerajaan.

Bagaimana kini tahu-tahu muncul segerombolan orang itu? Dari gerak-gerik mereka, Kui Hok Boan, yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw itu sudah dapat menduga bahwa mereka adalah gerombolan pen¬jahat, setidaknya orang-orang yang kasar, yang hanya mengandalkan tenaga dan kekerasan untuk memaksakan kemauan dan keinginan mereka kepada orang-orang lain. Dan melihat laki-laki berusia empat puluhan tahun yang memegang sebatang tombak panjang itu, yang berjalan di muka dan memberi isyarat dengan tangan, dia dapat menduga pula bahwa laki-laki itu tentulah yang menjadi kepala dari gerombolan itu.

Hok Boan bersikap tenang saja, malah ketika mereka melihatnya dan meng¬hampiri dari jauh, dia sudah duduk melenggut di bawah pohon, seolah-olah tidak melihat kedatangan mereka. Akan tetapi tentu saja seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga. Pedangnya dia sembunyikan di bawah buntalan pakaian sedangkan tongkat ranting pohon itu menggeletak di dekatnya.

“Hemm, sungguh aneh, di tempat seperti ini ada seorang sasterawan kesasar!” kata Coa Lok sambil meraba dagunya, “Hai, kutu buku, bangunlah!”

Akan tetapi Hok Boan masih pura-pura tidur. Dia ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh orang-orang ini sehingga dari perbuatan mereka, dia sudah dapat menilai orang-orang macam apa adanya mereka.

Ketika melihat bahwa sasterawan muda itu masih enak saja melenggut, seorang anak buah perampok menjadi penasaran dan menghampiri, memegang pundak Hok Boan dan meng¬guncangnya dengan kasar dan kuat-kuat. Tubuh Hok Boan tergoncang-goncang keras.

“Heh, babi malas! Tai-ong kami menegurmu! Bangun!”

Kui Hok Boan gelagapan, menggosok-gosok matanya, lalu bangkit duduk. Di depannya berdiri Coa Lok yang bermuka kekuning-kuningan dan yang memegang tombak panjang. Tombak itu dipegang dengan tangan dan berdiri di depannya. Sikap kepala perampok ini tidaklah begitu kasar dan buas, tidak seperti tiga puluh orang anak buahnya yang me¬mandang dengan mulut menyeringai dan sinar mata buas.

“Ah, siapakah kalian? Dari mana kalian datang?”

Hok Boan bertanya dan bangkit berdiri tanpa mengambil buntalan, pedangnya maupun kayu ranting itu.

Melihat sikap orang muda itu, Sin¬-jio Coa Lok yang mengira bahwa pemuda itu tentu seorang sasterawan yang suka melancong dan kesasar di tempat itu, bersikap lunak dan berkata,

“Orang muda, apakah engkau tidak tahu bahwa engkau berada di daerah Padang Bangkai?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: