***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 017

Hok Boan pura-pura terkejut.
“Padang Bangkai? Betapa menyeramkan nama itu!”

“Ha-ha-ha, dan engkau akan menjadi bangkai pula disini, kutu busuk!” ter¬dengar seorang anak buah perampok mengejek dan terdengar suara ketawa di sana-sini.

“Orang muda, ketahuilah bahwa kami adalah penghuni-penghuni Padang Bangkai. Engkau telah memasuki wilayah kekuasa¬an kami. Siapakah engkau?” Coa Lok bertanya.

“Namaku adalah Kui Hok Boan.”

“Bagaimana engkau bisa datang ke tempat ini?”

“Bagaimana? Dengan berkuda, melalui padang ilalang itu. Akan tetapi segerombolan anjing liar menyerangku dan untung aku dapat mengusir mereka. Ketika segerombolan ular datang menyerang, kudaku terkejut dan meloncat ke padang rumput hijau, terbenam dan tewas. Aku mendongkol sekali dan kubakar padang ilalang itu.”

“Setan alas!”

“Keparat jahanam!”

“Jadi kutu buku ini yang membakarnya!”

Tiga puluh orang itu sudah mengepung dengan sikap mengancam, akan tetapi Coa Lok mengangkat tangan kiri ke atas dan mengisyaratkan anak buahnya untuk mundur. Dia melihat sesuatu yang aneh dan mengherankan. Bagaimana sasterawan muda yang kelihatan lemah ini mampu mengusir gerombolan anjing liar yang amat galak dan buas itu? Dan setelah kudanya terbenam ke dalam lumpur maut, bagaimana sasterawan ini masih mampu menyelamatkan diri? Tentu orang ini bukanlah seorang sasterawan biasa yang lemah!

“Kui Hok Boan, engkau telah lancang tangan membakar padang ilalang. Apa maksudmu datang ke sini?” Coa Lok membentak lagi.

“Aku membakar padang ilalang itu karena padang itu membikin buruk tempat ini, membuat tempat ini merupakan tempat yang tersembunyi dan terputus dari dunia luar. Dan maksud kedatanganku ke sini? Aku hendak pergi ke Padang Bangkai dan Lembah Naga.”

Sejenak suasana menjadi sunyi ketika pemuda ini menjawab seperti itu, lalu menjadi berisik karena anak buah pe¬rampok saling bicara sendiri. Akhirnya Coa Lok mengangkat tangan menyuruh mereka diam. Dia, memandang kepada pemuda sasterawan itu penuh perhatian, lalu berkata, suaranya mengandung ke¬marahan.

“Orang muda she Kui, jangan kau main-main! Padang Bangkai adalah daerah kekuasaan kami, seorangpun tidak boleh memasukinya, dan Lembah Naga adalah daerah terlarang bagi siapapun juga. Katakan, apa sebetulnya kehendak¬mu?”






Kini Hok Boan tersenyum lebar dan memandang kepala perampok itu.”Engkau masih belum tahu? Aku datang untuk menaklukkan Padang Bangkai dan Lembah Naga!”

Terdengar suara ketawa bergelak ketika para perampok mendengar jawaban ini. Bahkan Coa Lok sendiri tersenyum masam. “Orang muda, agaknya engkau telah menjadi gila!” katanya.

“Tai-ong, serahkan kepadaku untuk menyembelih anjing ini yang telah berani membakar padang ilalang!” kata seorang anggauta perampok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok sehingga nampaknya menyeramkan sekali. Orang ini terkenal dengan tenaganya yang besar dan disegani di antara kawan-kawannya.

Karena merasa bahwa orang muda berpakaian sasterawan ini memang keterlaluan, apalagi telah bersalah membakar padang ilalang yang merupakan pelindung bagi Padang Bangkai, Coa Lok mengangguk memberi ijin. Semua orang mundur untuk memberi ruang kepada si brewok yang hendak menyembelih sasterawan itu.

Si brewok tinggi besar kini melangkah maju sambil menyeringai. Tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang tajam mengkilap. Matanya yang lebar itu terbelalak penuh ancaman, dan hidungnya mendengus-dengus, dia seperti seekor harimau kelaparan haus darah dan agaknya tugas membunuh orang ini mendatangkan ketegangan yang menggembirakan hatinya!

Tentu saja Kui Hok Boan tidak merasa takut sama sekali. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan berkata mengejek,

“Heh, babi gemuk, bukan aku yang akan menjadi korban golok pemotong babimu itu, melainkan engkau sendiri!”

Dimaki babi gemuk, si brewok itu menjadi marah, apalagi karena beberapa orang kawan-kawannya tertawa mendengar ini.

“Anjing kurus! Kau berani memaki aku? Huh, terlalu enak kalau kau disembelih begitu saja! Aku akan merobek-robek seluruh tubuhmu dengan kedua tanganku ini saja!”

“Cappp!”

Dia membanting goloknya ke bawah dan golok itu menancap di atas tanah sampai setengahnya, gagangnya bergoyang-goyang saking kerasnya bantingan itu.

“Bagus! Dengan melepaskan golok, berarti engkau menyelamatkan nyawamu sendiri, babi gemuk,”

Hok Boan berkata dan ketika si brewok itu menerjangnya dengan kedua lengan dikembangkan seperti biruang besar, tiba-tiba pemuda sasterawan itu menggerakkan kedua kakinya dan si brewok menjadi bingung karena pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya!

Akan tetapi para anak buah perampok terkejut karena mereka melihat betapa tubuh sasterawan muda itu seperti seekor burung saja tadi telah melayang melalui atas kepala si brewok dan kini telah hinggap dengan kaki kirinya di atas gagang golok yang menancap di atas tanah itu!

Gagang golok itu masih bergoyang-goyang dan tubuh si sasterawan juga ikut bergoyang-goyang, akan tetapi dia masih bertolak pinggang dengan kedua tangannya sedangkan kaki kanannya diangkat ke lututnya!

“Dengarlah kalian semua! Aku datang untuk memimpin kalian dan hanya kalau pemimpin lama kalian itu mau berlutut dan minta ampun, maka aku suka mengampuninya!”

Terdengar suara menggereng dan si brewok tadi sudah menubruk ke depan dengan kemarahan meluap. Karena Hok Boan yang berdiri di atas gagang golok itu menghadapi kepala perampok, maka si brewok menyerangnya dari belakang. Kedua tangan yang besar itu terbuka dan seperti cakar harimau hendak mencengkeramnya.

Tanpa menoleh, Hok Boan mengayun kaki kanan yang tadi ditekuk ke lutut kaki kiri, dengan gerakan yang cepat sekali.

“Wuuuuttt... desss...!”

Tubuh si brewok terpelanting ketika perutnya bertemu dengan tendangan yang tiba-tiba ini. Kaki sasterawan itu telah lebih dulu mengenai perutnya sebelum kedua tangannya dapat menjamah tubuh lawan dan tendangan itu sedemikian kuatnya sehingga dia terpelanting dan terguling-guling.

Coa Lok sejak ditantang tadi sudah merah mukanya. Kini matanya terbelalak dan tahulah dia bahwa sasterawan itu memang sengaja datang untuk mencari perkara, untuk memusuhinya dan ternyata bahwa sasterawan itu memang bukan orang biasa, melainkan seorang yang lihai. Dipegangnya tombaknya erat-erat akan tetapi pada saat itu, si brewok yang merasa penasaran telah bangkit berdiri dan lari menerjang lawan yang masih berdiri di atas gagang golok.

Coa Lok mendiamkannya saja karena dia ingin melihat sampai dimana kelihaian lawan itu. Para anggauta perampok yang lain kini juga memandang dengan penuh perhatian tidak lagi mentertawakan si pemuda sasterawan yang ternyata adalah seorang pandai itu.

“Haiiiitttt...!”

Si brewok itu mengeluarkan bentakan nyaring. Sekali ini dia tidak lagi mau bertindak sembrono. Dia sudah tahu bahwa lawannya memang amat pandai, maka dia tidak lagi menubruk secara membabi-buta seperti tadi, melainkan menyerang dengan gerakan ilmu silat, memukul bertubi-tubi dengan kedua tangannya yang berlengan panjang. Pukulannya keras sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan.

“Plak-plak-plakk!”

Semua pukulan dapat ditangkis dengan tenang saja oleh Hok Boan dan setiap kali tertangkis, lengan si brewok yang amat kuat dan besar itu terpental dan mulutnya meringis karena tangkisan itu membuat lengannya terasa nyeri, tulangnya seperti akan pecah rasanya.

“Babi gendut, engkau masih juga belum jera? Nah, robohlah!”

Tiba-tiba Hok Boan meloncat turun dan sekali kakinya bergerak, kaki kiri itu melayang ke arah muka si brewok. Tentu saja si brewok terkejut bukan main dan cepat mengangkat kedua tangan untuk menang¬kis dan menangkap kaki lawan, akan tetapi tiba-tiba dia morata kakinya lumpuh dan dia terguling roboh.

Kiranya tendangan kaki ke arah muka itu hanya pancingan belaka dan yang sungguh-sungguh menyerang adalah kaki yang se¬belah lagi sambil melompat, kaki ini menendang lututnya sehingga dia roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas! Dia hanya dapat rebah memegangi lututnya sambil mengeluh panjang pendek.

Hok Boan membungkuk dan sekali cabut, golok itu telah berada di tangan¬nya. Dia memandang kepada si brewok dan berkata,

“Kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu, babi! Akan tetapi sudah kukatakan, aku membutuh¬kan kalian untuk menjadi anak buahku, maka aku tidak akan membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya, dia menekuk-nekuk golok itu. Terdengar suara nyaring dan golok itu patah-patah menjadi beberapa potong yang kemudian dilemparkannya ke atas tanah. Potongan-potongan golok itu menancap dan lenyap amblas ke dalam tanah, hanya tinggal gagangnya saja yang dibuangnya dengan sikap tidak perduli.

Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini makin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak,

“Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!”

Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok. Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon dimana dia menyimpan pedang dan buntalannya.

Sekali sambar dia telah mengambil pedangnya dan menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan membentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khi-kang dari pusar,

“Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur daripada sekarang kepada kalian! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus susah payah mengumpulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkan aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa diantara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!”

Ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan.

“Hai, kau si muka ber¬penyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin se¬kelompok orang gagah ini! Dengar baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tidak akan kuperguna¬kan. Ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang berani¬nya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!”

Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia telah dijuluki, Si Tombak Sakti. Kalau tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang, ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut.

“Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semua!” bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejeknya. “Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: