***

***

Ads

Kamis, 09 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 019

Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah berdebar tegang dan gembira. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit. Memang diantara para penghuni dusun terdapat pula wanita-wanita mudanya, dan dia sudah me¬ngunjungi dan menghibur dirinya dengan dua tiga orang diantara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas. Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar sinar matahari di sawah ladang.

Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak buahnya adalah bekas-bekas pe¬rampok yang berjiwa kasar dan ganas. Kini, oleh keadaan yang makmur dan tentram, anak buahnya itu bagaikan harimau-harimau yang kekenyangan dan tidur bermalas-malasan. Kalau sampai digerakkan dan bangkit kembali keganas¬an mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi mereka. Biarkanlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia tidak membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh yang mengganggu.

Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok Boan memasuki daerah Lembah Naga dari selatan. Daerah yang luas dan indah, tanahnya subur dan tak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi. Akan tetapi selagi dia melenggang seenaknya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan merdu,

“Hei, berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!”

Dengan tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan. Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya dan menghadang di sini.

Wanita-wanita itu tidak sangat cantik, akan tetapi dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebih bersih menarik. Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu inilah mereka yang disebut pelayan¬-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu, maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah.

Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apalagi pagi hari itu dia sengaja mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang, kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu, berseru,

“Ah, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?”

Seperti diketahui, kadang-kadang untuk keperluan mereka, tentu ada diantara para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena itu maka mereka mendengar belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai. Mereka sudah melapor kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahkan Padang Bangkai telah memiliki majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai kini dibangun dan banyak penghuni dusun yang berdatangan dan membuka dusun-dusun baru di luar Padang Bangkai.

Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai? Biar berganti pimpinan seribu kalipun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok. Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya agar jangan berhubungan atau mencampuri urusan orang¬ Padang Bangkai. Dia tidak akan perduli selama orang-orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga.

Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan oleh semua penduduk dusun di sekitarnya.






Dan ketika seorang dua orang di antara mereka pergi berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala rampok, dan bahwa tidak pernah ada anggauta Padang Bangkai yang mengganggu dusun-dusun baru itu.

A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan dari jauh, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, sungguhpun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar, siapapun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga.

Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga nampak giginya yang putih, lalu dia memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

“Ah, kiranya cu-wi (anda sekalian) telah mengenal saya? Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang Bangkai. Karena diantara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan.”

Biarpun hanya A Ciauw seorang saja diantara mereka yang pernah melihat majikan Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekalipun mereka merasa malu hati.

Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan bingung. Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama ditujukan kepadanya dengan amat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu menjura dengan hormat dan berkata,

“Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan kami untuk bersikap kurang hormat kepada taihiap. Akan tetapi kami berlima hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau...”

“Ah, kiranya cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah Naga? Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri? Biarpun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun melihat wajah dan sikap kalian... ah, sudahlah, betapapun juga, saya merasa amat gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang cici berlima yang manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan kalian.”

“Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang bertemu dengan kami disini, tentu sudah sejak tadi kami minta untuk segera meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami sudah berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga, apalagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami.”

Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lalu berkata,
“Aihh, cici yang manis, mengapa demikian? Telah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, kenapa saya tidak boleh menjumpai dan berkenalan dengan dia? Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya, kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam ini saya tidak akah dapat tidur.”

A Ciauw dan teman-temannya menjadi makin khawatir.
“Jangan, taihiap, harap taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja...”

“Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana? Saya mendengar bahwa lima orang dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apakah kalian hendak menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?”

“Ah, mana kami berani? Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami...”

“Karena itu, jangan kalian biarkan, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis.” Hok Boan berkata dengan sikap main-main dan lebih akrab.

A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas panjang dan berkata,

“Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang harus mentaati perintah nona majikan kami, kalau kami ingin selamat. Maafkan kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan kepada kami.” A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang temannya.

“Mana aku sampai hati menyusahkan kalian?” jawab Hok Boan dan diapun lalu menerjang ke depan.

Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu saja mereka itu sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang amat cepat, Hok Boan membagi-bagi totokan dan robohlah lima orang itu dalam keadaan lemas dan lumpuh tertotok!

Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata,
“Aku menyesal sekali, harap kalian maafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!” berkata demikian, Hok Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita berbaju hijau itu, tangannya mengusap dan membelai.

A Ciauw tidak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan setelah lama pria itu pergi, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam dan pikiran melayang jauh entah kemana!

Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan sudah meninggalkan lima orang wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan membuat mereka lumpuh tak berdaya akan tetapi tidak membahayakan keselamatan nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh guha dari mana suara itu tadi datang.

Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan guha. Tak jauh dari situ, nampak seorang wanita dan Kui Hok Boan tercengang dan terpesona! Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang sudah biasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali wanita. Dia sudah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik.

Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar keras dan dia tertarik sekali. Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun, wajahnya manis sekali dan di wajah itu terbayang watak seorang wanita yang mempunyai harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang ratu, agung dan angkuh akan tetapi justeru sikap itulah yang bagi pandang mata Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona.

Dia sudah terlalu biasa bertemu dengan wanita yang “murahan” seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita yang “jual mahal” agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di atas batu depan guha besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan.

Wanita itu wajahnya manis, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil, sepasang matanya tajam dan dingin namun mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita rambut yang berwarna kuning. Pakaiannya juga sederhana bentuknya, akan tetapi terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah.

Kombinasi warna pakaian yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan main mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang memiliki bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung yang sempurna!

Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar pada kehidupannya. Dia tidak lagi melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul pula kegembiraannya dan dia bahkan mendatangkan lima orang wanita sebagai pelayannya, untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi temannya tinggal di tempat yang sunyi itu.

Biarpun Sin Liong masih suka bermain-main dengan monyet-monyet besar, namun karena tahu bahwa monyet-monyet itu adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa binatang-binatang itu sama sekali tidak pernah mengganggunya, maka diapun tidak pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-main dan pagi hari itupun dia menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan yang mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati wanita itu.

Biarpun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya lebih tajam dari manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi itu mengetahui.

“Eeehhh...?”

Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah pria yang melangkah datang hati-hati itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: