***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 025

“Ahh...!” Dia cepat memberi hormat. “Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang sri baginda. Maka harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai tamu agung kami.”

Akan tetapi wanita itu menggeleng kepala dan mengibaskan tangannya.
“Tugas saya hanyalah menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu.”

Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka sudah mendengarkan lagi suara wanita itu.

“Tadinya, sri baginda sudah akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan beliau. Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apalagi setelah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio. Maka beliau malah memberi ucapan selamat dan hadiah, dengan pesan agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini termasuk daerah kekuasaan sri baginda dan sewaktu-waktu kalau diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri baginda.”

Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan menariknya sehingga mereka berdua berlutut.

“Harap sampaikan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami akan selalu mentaati perintah beliau.”

Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi.

“Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio.”

Tanpa menanti jawaban dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu dan berkata, suaranya nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman.

“Kalau cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak ada lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!”

Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.

Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat itu, membersihkan tempat pesta dan melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta sudah berubah dan para tamu tidak dapat bergembira lagi. Mereka semua menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang demikian lihai, seorang wanita yang tidak saja memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat.

Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka mampu menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang perajurit Mongol. Hal ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih maupun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai!






Setelah sepasang mempelai berada berdua saja di kamar malam itu, barulah Si Kwi memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-heran. Dia bercerita bahwa suhu dan subonya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah mem¬bantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan ketika itu dia sendiripun ikut dengan subonya, tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh para pendekar sakti yang memimpin pasukan kerajaan.

Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggauta pasukan kerajaan ketika dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sebenarnya, maka dia merasa tertarik sekali.

“Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya,” katanya.

“Tentu saja,” jawab isterinya. “Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku tidak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini.”

“Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?”

Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang.
“Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barangkali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?”

“Tiga pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?”

“Pendekar she Cia itu adalah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong...”

“Ahhh...!”

Kui Hok Boan terkejut bukan main sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.

“Kenapa kau terkejut?” Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya.

“Kenalkah kau dengan nama itu?”

“Kenal? Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu me¬rupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw.”

Si Kwi menggangguk dan menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepada¬nya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah kini bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu me¬rangkul. Mereka berangkulan dan ber¬ciuman.

“Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang selanjutnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?”

“Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong...”

“Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, mengapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she Tio?”

“Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan.”

“Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itupun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang?”

“Merekalah yang dahulu selalu me¬nentang orang-orang kang-ouw vang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga.”

“Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?”

Si Kwi mengangguk.

“Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?”

Si Kwi menghela napas panjang.
“Sudah sejak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berani di fihak yang benar.”

“Ah, syukurlah, isteriku! Kalau engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu merekapun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pem¬bantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?”

“Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia se¬orang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-niopun baru sekarang aku men¬dengarnya.”

Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biarpun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan.

Mereka saling men¬cinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk menghadapi segala bahaya bersama-sama, sehidup semati, senasib sependeritaan. Kedua orang itu menemukan kebahagiaan mulai malam itu. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal kalau dia teringat akan segala petualang¬an dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.

Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tidak ada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur ke¬baikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, ada kala¬nya kebaikannya nampak. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan, sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai, membanding-bandingkan se¬mua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar ke¬senangan dan menolak kesusahan.

Karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebaikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebaikan inilah yang menimbul¬kan adanya kebaikan tunggal, kebalikan abadi yang menguasai dan menyengsara¬kan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci.

Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang! Dapatkah kita terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin dapat kalau kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan.

Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apapun juga, adalah MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG! Betapapun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik kesenangan batin maupun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, dalam bentuk apapun juga, pasti mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.

Contohnya, seorang pendeta bertapa untuk mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini dan terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itupun hancur lebur!

Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini! Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, kalau perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari.

Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu! Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita se¬tiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tapi dalam keadaan perang tadi. Kalau kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini me¬nyandarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi?

Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa ber¬ada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: