***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 027

Sekali saja bertanya dan meminta sekali ditolak, Sin Liong tidak mau minta lagi. Akan tetapi, kadang-kadang dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu silat, bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan kalau empat orang anak itu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi. Wanita ini tidak lagi prihatin melihat anak kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan belajar ilmu silat, karena dia menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat Sin Liong kelak menjadi seorang sasterawan yang lemah lembut dan berhasil menjadi seorang yang berpangkat daripada anak itu terancam bahaya tersesat karena memiliki sifat keras dan liar setelah mempelajari ilmu silat.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang. Tidak banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohon-pohon banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai menyapu. Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan belakang ini kepada empat orang anaknya.

“Kalian kurang giat berlatih,” terdengar dia mengomel. “Masa sudah hampir sebulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik.”

“Ayah, jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang sukar sekali, terutama perubahan dari tangan memukul lalu menangkis dalam satu gerakan sukar sekali, ayah,” kata seorang di antara dua anak kembar itu.

Baik ayah mereka sendiri maupun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin siapa yang bicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang berdiri di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya, diam-diam dapat mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Bagi anak ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari gerak-gerik mereka dia dapat membedakan mereka.

Kepekaan atau naluri ini didapatnya dari monyet-monyet itu. Tadi dia melihat betapa kepala anak perempuan yang bicara itu agak bergoyang, maka tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Biarpun tidak diketahui orang lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang didapat ketika dia hidup di antara monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan dari gerakan yang sekecil-kecilnya. Lan Lan biasa menggoyang-goyangkan kepala tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang menggerakkan syarafnya kalau bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau bicara adalah agak menundukkan muka.

“Memang benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka mengulang lagi dan memberi contoh,” kata Siong Bu.

“Saya sudah melatih diri setiap hari, namun belum juga dapat bergerak dengan baik!”
Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu.

Kui Hok Boan menarik napas panjang.
“Ilmu silat bukan hanya membutuhkan ketekunan, akan tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap gerakan akan terasa sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi otomatis dan berirama sehingga setiap jurus baru dapat dikuasai dengan mudah, seperti pada gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja, melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud.”






Kui Hok Boan lalu bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan yang sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, menggunakan jurus ini dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan. Kedua tangan itu berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring untuk menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lalu memukul lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan tangan miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku. Jurus ini amat lihai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan cepat, dan dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka.

“Nah, sekarang kau coba lakukan jurus itu lebih dulu, Beng Sin!” kata Kui Hok Boan kepada si gendut itu.

Siong Bu menonton penuh perhatian dan dia duduk setengah berlutut di atas batu sambil menunjang dagunya, sedangkan dua orang anak perempuan kembar berdiri berdampingan sambil memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar.

Sin Liong masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang sapunya dan juga menonton dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan ayah angkatnya dan mencatat di dalam ingatannya semua gerakan yang sekecil-kecilnya. Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna!

Beng Sin mulai mainkan jurus itu. Dengan penuh kesungguhan dia mencoha untuk menirukan gerakan pamannya. Anak ini mempunyai gerakan yang mantap dan tenaganya besar, akan tetapi gerakannya terlalu lamban.

“Keluarkan bentakan dan atur napas!” kata Kui Hok Boan.

“Heiiiittt! Ahh...! Heiiittt! Ahh...!”

Anak gendut itu memukul dan menangkis sambil mengatur langkah, beberapa langkah maju ke depan setelah memukul dan menangkis, membalik dengan merubah kuda-kuda dan sekaligus memukul dan cepat menangkis, mulutnya terus mengeluarkan bentakan-bentakan.

Terlalu lamban, pikir Sin Liong dan ketika memukul, Beng Sin kurang memutar lengannya. Seharusnya lengan itu cepat diputar, dengan kepalan menelungkup ketika tiba di ujung pukulan sehingga ketika disambung gerakan menangkis, dapat dilakukan tangkisan dengan tangan miring di depan dada secara tepat. Nampak jelas olehnya kelemahan-kelemahan anak gendut itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengeluarkan pendapatnya itu dan hanya menonton.

Kui Hok Boan juga kurang puas dengan hasil yang diperlihatkan Beng Sin. Kadang-kadang dia menghentikan gerakan anak itu, dan memberi petunjuk-petunjuk. Beng Sin mainkan jurus itu berulang-ulang tanpa mengenal lelah.

“Masih belum sempurna, kau harus banyak belajar,” kata Kui Hok Boan dan kini tiba giliran Siong Bu.

Siong Bu juga mainkan jurus itu di bawah petunjuk pamannya. Gerakannya jauh lebih gesit daripada gerakan Beng Sin, dia lincah dan kuat, namun tidak semantap gerakan si gendut. Kedudukan kedua tangan Siong Bu sudah banyak baik daripada Beng Sin, akan tetapi gerakan kedua kakinya masih kurang berirama dan kurang sesuai dengan gerakan tangan sehingga diapun mendapat teguran dan harus mengulang terus. Demikian pula Lan Lan dan Lin Lin diharuskan melatih jurus itu dibawah petunjuk-petunjuk ayah mereka.

Agak jengkel hati Kui Hok Boan melihat betapa empat orang anaknya itu tidak mudah menguasai jurus Heng-pai-hud, maka ketika dia melihat Sin Liong sejak tadi berdiri saja menonton, ke¬jengkelan hatinya membuat dia menegur ketus,

“Sin Liong, mau apa engkau ber¬diri di situ? Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang lain?”

Sin Liong terkejut, menunduk dan melangkah pergi untuk mengurus kuda yang harus diberi makan dan sapi yang harus dibawa keluar. Akan tetapi, jurus Heng-pai-hud itu tidak pernah terlupa olehnya dan ketika dia mengambil makanan kuda, tanpa disadari kedua kakinya melakukan gerak langkah jurus itu, dari ketika dia sudah menaruh makanan kuda di depan lima ekor kuda itu, tanpa disadarinya pula kedua tangannya melakukan gerakan memukul dan menangkis dalam jurus Heng-pai-hud!

Diam-diam timbul iri di hatinya ter¬hadap empat orang anak itu dan mulai saat itu dia mengambil keputusan untuk mengintai di waktu mereka berlatih dan menirukan gerakan-gerakan mereka. Dengan cara demikian, dalam waktu tiga bulan Sin Liong telah dapat “mencuri” empat macam jurus dan telah dapat melakukan gerakan-gerakan itu dengan baiknya. Dia selalu melihat gerakan itu dimainkan oleh ayah angkatnya, kemudian menirunya. Dia tidak mau meniru gerakan empat orang anak itu yang dianggapnya kaku dan tidak sama dengan gerakan ayah angkatnya.

Di dalam pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan empat orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan ini suka sekali kepada Sin Liong yang ringan tangan dan kaki, mau memenuhi segala permintaan mereka sungguhpun Sin Liong kurang pandai bergaul, tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri.

Beng Sin sering kali menggoda Sin Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada anak gendut yang jujur dan suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan rasa tidak senang di hati Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak angkuh dan bersikap seperti seorang majikan terhadap dirinya. Bahkan kadang-kadang dia me¬rasa sakit hati karena Siong Bu seringkali memakinya sebagai “anak monyet”!

Pada suatu hari, dengan tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih “silat” yaitu gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari hasil mengintai itu. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Sin mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak.

Ketika itu, Sin Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana. Tiga orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari jauh betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai.

Ketika melihat Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tak dapat menahan keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil berseru,

“Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!”

Sin Liong terkejut sekali, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya berubah merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu berlari-lari menghampiri¬nya.

“Hei, Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu?” Beng Sin berkata dengan mata terbelalak, “Apakah paman diam-diam mengajarmu?”

Sin Liong menggelengkan kepala.
“Ah, aku hanya main-main, Tee-kongcu.”

“Ahaaaa, kalau disini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcuan segala. Namaku Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat?”

“Terima kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai dengan perintah gihu.”

“Sin Liong, aku melihat engkau tadi mainkan Heng-pai-hud. Dari mana kau dapat melakukan gerakan itu?” Kui Lin bertanya.

“Li-siocia, aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja...”

“Ah, tapi gerakanmu tadi baik benar!” Kui Lan juga memuji.

“Benar!” Kata Beng Sin. “Sebaliknya aku belum juga bisa melakukan gerakan jurus itu dengan baik.”

“Gerakanmu sudah baik, hanya perlu dipercepat, kongcu. Terlalu lamban se¬hingga gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu se¬hingga ketika gerakan memukul itu di¬sambung gerakan menangkis, kurang tepat.”

Beng Sin membelalakkan matanya dan menjadi gembira.
“Ah, begitukah? Biar kucoba!”

Dan anak ini lalu bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan meng¬ubah gerakannya sesuai dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia mempercepat gerakan kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara baik, dan ketika dia memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa perubahan dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik!

“Horeeee...! Aku dapat melakukan¬nya dengan baik!”

Dia bersorak girang sekali dan dua orang anak perempuan itupun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol.

“Hei, apa-apaan kalian di situ?” tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang datang berlari ke tempat itu.

“AH, Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!” Beng Sin berkata sambil tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong. “Kau lihat, Sin Liong ternyata pandai mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga gerakanku menjadi baik sekarang!”

“Benar, Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya, padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!” Lan Lan berkata.

Alis yang sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut ketika dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak angkat bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah daripada dia dan saudara-saudaranya.

“Sin Liong, bukankah paman sudah melarangmu untuk belajar silat?” bentaknya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: