***

***

Ads

Sabtu, 11 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 030

“Asal engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau memiliki bakat dan tenaga yang kuat.”

“Akan tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku?”

Si Kwi menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya dari rumah tadi.

“Pakailah ini dan mari kita pulang, nanti akan kuceritakan kepadamu siapa adanya ayahmu...”

Janji dan bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak lebar penuh harapan. Dia tidak membantah lagi, mengenakan pakaian itu, kemudian dia mengikuti ibunya pulang. Mereka tiba di rumah di waktu senja. Karena tidak ingin melihat Sin Liong merasa malu dan sungkan bertemu dengan anggauta keluarga lain, maka dia langsung mengajak Sin Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat kandang kuda.

Sin Liong lalu menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di atas meja kasar di dalam kamarnya. Semua gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata Si Kwi dengan penuh keharuan. Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah membiarkan anak kandungnya ini terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya ketika dia duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar itu. Dia telah memperlakukan anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal itu dia terpaksa lakukan agar suaminya dan semua orang tidak akan ada yang menyangka bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya.

Sin Liong menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya dan berkata,

“Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku melihat perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak monyet, melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi. Hanya ibu yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya...”

“Liong-ji...”

Si Kwi memejamkan mata, membelai kepala anaknya yang rebah di atas pangkuannya itu. Biarpun anak itu lenyap sejak dilahirkan, biarpun dia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang dilahirkannya di dalam guha itu, namun dia yakin. Inilah anaknya itu!

Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Bun Houw, terutama matanya.
“Angkatlah mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di dunia ini.”

Sin Liong mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini dianggap sebagai ibunya itu,

“Ayah saya... siapa namanya, ibu?”

“Namanya adalah... Cia Bun Houw...”

“She Cia?” Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu. Ibunya mengangguk. “Engkaupun sesungguhnya she Cia...”






“Dan ibuku...?”

“Ibumu... ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku.”

“Ahhh...!”

Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis lagi. Tadipun dia hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat diusapnya. Setelah mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang tiada keduanya atau tiada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk menangis!

“Ya, dia sudah meninggal dunia, dia, adalah murid seorang wanita sakti yang berjuluk Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula...”

“Namanya, ibu? Siapa namanya?”

“Aku tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau engkau ada jodoh bertemu dengan dia...”

“Dimana ayah kandungku itu tinggal, ibu?”

Si Kwi menggeleng kepalanya.
“Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah putera dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya lagi... mulai sekarang, kau belajarlah ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat mencari ayahmu itu.”

“Baik, ibu!” Sin Liong berkata penuh semangat. Dia lalu bangkit berdiri, memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. “Mulai sekarang, selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!”

Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan menyentuhkan dahinya ke atas lantai di depan kaki ibunya.

“Sin Liong...” Si Kwi merangkulnya penuh keharuan.

Ibu dan anak ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar jendela yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu adalah Kwan Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu sehingga dia tahu akan ke¬datangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat mengintai tanpa di¬ketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak bergerak, atau kalau Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang lihai ini akan tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di luar jendela pondok itu.

Demikianlah, mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya sendiri. Dan Si Kwi menegur kedua orang “keponakan” dari suaminya itu agar jangan lagi mengejek dan menghina Sin Liong.

Melihat pembelaan dan perlindung¬an yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat itu, Kui Hok Boan pun hanya mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau ribut-ribut dengan isteri yang dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong, si anak monyet.

Dengan amat rajin dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu silat dan ternyata memang dia amat berbakat sehingga pelajaran ilmu silat itu dapat dikuasainya dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang. Akan tetapi, di samping mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap me¬lakukan pekerjaannya sehari-hari, tidak pernah dia kelihatan malas.

Anak ini tahu bahwa dia adalah seorang “luar” dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau anak angkat, maka diapun “tahu diri”. Karena sikapnya ini, biarpun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, namun dia tidak menemukan alasan untuk memper¬lihatkan ketidak-senangannya itu dan Sin Liong dapat bekerja seperti biasa.

Setahun telah lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara nyaring dan merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman indah Istana Lembah Naga.

Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermain-main di situ. Tadinya kedua orang anak perempuan kembar ini berlatih silat akan tetapi sebagai anak-anak yang baru berusia sepuluh tahun, mereka lalu merasa bosan dan bermain-main sambil tertawa-tawa. Mereka ber¬kejar-kejaran, mengumpulkan bunga-bunga, kadang-kadang mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang mekar. Memang, musim bunga telah tiba dan taman itu penuh dengan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna.

“Ah, bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin,” kata Kui Lan sambil menunjuk ke puncak pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman.

“Benar,” jawab Kui Lin. “Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan rambut. Nah, itu disana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas.” Kui Lin berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok, dari atas pohon.

“Ah, aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin Lin. Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!”

“Mana bisa, Lan Lan? Tempatnya begitu tinggi. Ngeri kalau harus me¬manjat pohon setinggi ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar.”

“Hei, Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja? Sudah berapa kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku?” Kui Lan menegur.

Kui Lin cemberut.
“Memangnya ber¬selisih berapa sih usia kita? Tidak ada sehari, hanya beberapa menit!”

“Kau memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga yang layu itu.”

Tiba-tiba muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke taman itulah yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh dengan daun dan bunga gugur.

“Kalian menginginkan bunga merah di atas itu? Biar kuambilkan untuk kalian.” katanya melihat dua orang anak perem¬puan itu kecewa karena tidak dapat memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan.

“Kau bisa mengambil bunga itu?” Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas.

“Tentu saja bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!” kata Kui Lan dengan girang.

“Lan Lan, bukankah ibu sudah me¬mesan agar kita menyebut koko kepada¬nya?” Kui Lin menegur kakaknya.

Kini Kui Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya.
“Huh, kau sen¬diri tidak mau menyebut cici kepadaku!”

Sin Liong tersenyum.
“Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih? Lihat, aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Kuambilkan yang berada di paling puncak!”

Sebelum dua orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat dan bagaikan seekor kera saja, dengan cekat¬an dan cepat sekali dia sudah memanjat pohon besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.

Dua orang anak perempu¬an kembar yang berada di bawah ber¬tepuk tangan dan berteriak-teriak me¬muji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa ngeri menyaksikan tubuh Sin Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa ngeri.

Semenjak kecil, manusia sudah me¬ngenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus sampai tua dan sampai mati.

Betapa manusia ini selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita ten¬tang diri kita sendiri dan hal ini me¬nambah sukar bagi kita untuk me¬mandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya. Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita se¬bagai yang paling bersih! Sehingga kekotor¬an kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu.

Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak ter¬lepas dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang menjerit karena merasa ngeri, dia lalu sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!

Bagi dia, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapa¬pun tingginya, tiada bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja. Melihat Sin Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain, memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot ranting, dua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah!

“Aihhhh...!” Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng.

Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang tidak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan kalau ingat bahwa sebelum dia dapat berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.

Tak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar dan masih basah oleh embun pagi.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: