***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 032

Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakanpun juga, Sin Liong tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang sejak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara. Melihat bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri.

“Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut kalian?”

“Tidak, ibu. Sama sekali tidak!” Kui Lin berkata.

“Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi?”

Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara.

“Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong menggoda kami lalu memukulnya.”

Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong Bu cepat berkata,

“Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu mengira Sin Liong menggoda mereka dan...”

“Kenapa kalian menangis?” Si Kwi memotong dan memandang kepada dua orang anaknya.

“Kembang kami jatuh...” Kui Lin berkata.

“Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong,” kata Kui Lan.

Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia dapat menduga apa yang terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan menyambar ke arah muka anak itu.

“Plak! Plakk!”

Dua kali kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu, Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya.

Hemm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong dengan suara halus,

“Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara? Kalau ada orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku dan aku yang turun tangan. Mengapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah? Engkau mencari penyakit.”






Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan lalu pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka diapun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah.

Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat menyayang dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka kepada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong.

Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan merah, marahlah Hok Boan. Apalagi ketika mendengar pengaduan Siong Bu bahwa perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong dianggap menggoda dua orang anak perempuannya.

“Anak monyet itu memang tak tahu diri!” bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar.

“Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!”

Hok Boan berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor terkena lumpur itu.

Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, diapun hanya memandang dan berkata dengan halus pula,

“Kui-long (kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh menghajar keponakanmu?”

HOK BOAN amat mencinta isterinya ini, maka biarpun marah, dia tidak dapat bersikap kasar. Kini, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata,

“Tentu saja engkau berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku. Akan tetapi kalau engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!”

“Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal yang tidak patut, tentu dia akan kuhajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa salah. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajar silat kepada Sin Liong dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak diserang, mana dia berani terhadap Siong Bu? Urusan ini adalah urusan anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah terdapat bahaya bahwa kita seolah-olah membela murid masing-masing?”

Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya.

“Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, lalu datang-datang memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak sama sekali.” Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya.

Mendengar ini, Hok Boan makin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiripun tahu bahwa puteranya itu Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu berkata kepada isterinya,

“Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran kepada keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi makin liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar agar dia menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua angkatnya.”

Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia lebih mencinta suaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah anaknya yang sah.

“Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong.”

“Hemm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya agar dia tahu bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang.”

Setelah berkata demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu itu tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang.

“Sin Liong...!”

Hok Boan memanggil dengan suara marah. Tidak ada jawaban. Hok Boan sudah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu.

“Sin Liong...!” Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan.

**** 032 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: