***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 033

Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya dengan Kui Lan dan Kui Lin.

Biarpun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan kalau pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan.

Dia memasuki hutan besar itu dan duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marah-marah lagi.

Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi makin panas. Terbayang dalam ingatannya ketika Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam hati anak ini. Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Sejak kecil dia dibawa dengan paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, tidak ada hubungan darah daging sama sekali dengan paman dan bibinya, bahkan anak yang kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, demikian disayang oleh bibinya, tentu saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya.

Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya telah menamparnya demi membela anak monyet itu! Hatinya merasa penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal lengan dan sebentar saja diapun tertidurlah.

Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakao, dia cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras karena dia mendengar suara wanita, mengira bahwa bibinya yang datang mencarinya.

Akan tetapi setelah dia sadar benar, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia mengintai. Ternyata wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit seperti beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu.

Siong Bu kini mengalihkan perhatiannya, memandang orang ke dua yang berdiri berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum.

Siong Bu merasa terheran-heran. Memang banyak sudah orang tinggal di sekitar Lembah Naga, akan tetapi mereka itu semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan berpakaian sederhana. Dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu? Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak.






“Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?” anak laki-laki itu bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu.

“Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti mencemarkan nama sucimu ini.”

Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran dan kini dia memandang wanita itu dengan makin penuh perhatian. Tadi dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Selain pedang ini, juga nampak sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO.

“Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?”

Wanita itu menarik napas panjang.
“Banyak? Sampai tidak terhitung, sute. Dan masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai, oleh karena itu, dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti bersama sucimu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan sucimu, jangan bertindak ceroboh, sute.”

“Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci? Bukankah itu membuang-buang waktu belaka?” anak laki-laki itu mencela.

“Ayahmu sri baginda yang mengutus aku kesini, sute. Selain itu, juga ada beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Beberapa orang musuh menantang sucimu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini.”

“Apakah mereka lihai, suci?”

“Ah, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa saja.”

“Suci, biarkan aku menghadapi mereka!”

“Bagaimana nanti sajalah...”

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
“Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!”

Dan bermunculanlah lima orang laki-laki dari balik pohon-pohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum mengejek, sedangkan anak laki-laki itupun memandang dengan wajah gembira dan dia tersenyum lebar.

“Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul? Bukankah sejak tadi mereka itu bersembunyi di balik pohon-pohon itu?”

Siong Bu terkejut. Kiranya anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itupun sudah tahu akan tempat dia bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh ketegangan. Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.

Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan kemarahan.

Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi mereka dengan sikap memandang rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan sikap tak acuh,

“Jadi kalian inilah yang mengirim surat tantangan agar aku datang ke tempat ini?”

“Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw?” Anak laki-laki itu bertanya setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian.

Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi.
“Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya.”

Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah.

“Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selamanya tidak pernah bermusuhan denganmu! Akan tetapi, tanpa dosa sama sekali, dua orang keponakanku telah kau bunuh, hanya karena mereka itu she Tio!”

“Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!” kata wanita itu sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diambilnya dari punggung.

“Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!” Tiga orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam.

“Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!” kata orang ke lima, juga marah sekali.

“Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?”

“Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu.” Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang.

Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tidak sudi mengeroyok scorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan.

“Kim Hong Liu-nio, suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam kepadamu dan menagih nyawa!” bentak kakek itu sambil melangkah maju.

“Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja,” kata anak laki-laki itu dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh ejekan dan penuh ketinggian hati.

Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju dan membentak.

“Biarlah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!”

Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk menubruk.

“Nanti dulu!” kata anak yang tampan itu. “Apakah engkau juga seorang jagoan kang-ouw dan mempunyai nama julukan? Lebih baik kau beritahukan nama julukanmu itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang kurobohkan.”

Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot.
“Bocah sombong, setan cilik yang bosan hidup!” bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah leher!

“Hemm... kasar sekali, suci!” anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak, dengan langkah kaki indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan.

“Dukk...!”

Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut!

“Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta ampun!” anak itu berkata mengejek.

Tentu saja si muka hitam menjadi makin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang telah terkenal memiliki kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam segebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun!

“Bocah keparat!”

Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat, kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, sedangkan kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini. Akan tetapi baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru,

“Wah, suci, bukankah ini jurus Go-houw-pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)? Kalau kutangkis begini, tentu dia menyusul dengan tendangan, nah baiknya kutangkap kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya?” Sambil bicara demikian, dia melaksanakan kata-katanya.

Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si muka hitam menyambar, dia cepat meloncat ke samping, lalu secepat kilat tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: