***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 037

Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu.

Nenek pikun ini mulailah mengajaknya bercakap-cakap, bahkan menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya!

“Kau...? Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Orang macam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka?” Nenek itu mentertawakan.

Kim Hong Liu-nio menjatuhkan diri berlutut.
“Kalau locianpwe mendidik saya dan menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sukarnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang?”

Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk.
“Hendak kulihat dulu bakatmu!”

Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali ketika mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!

“Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!” akhirnya dia berkata.

Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya,

“Engkau masih perawan?”

Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk.

“Bagus! Aku telah menciptakan beberapa ilmu yang hanya dapat dipelajari dengan sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, dan Cia yang kau temukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong dan kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!”

Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio lalu bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Kemudian tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka.

“Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil di situ, dan itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itupun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!”






Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti luar biasa dan keji. Dengan suara tenang dia lalu mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya.

Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang.
“Hi-hi-hik, sekarang kau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suhengmu ke sini.”

“Su... suheng...?”

“Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suhengmu?” bentak nenek itu. “Hayo lekas minta supaya datang ke sini, sekarang juga.”

Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suhengnya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.

“Eh, Kim Hong, mengapa engkau meninggalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang?” sri baginda berkata dengan halus.

“Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepada beliau sekarang juga...” Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut “subo” kepada nenek itu.

Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka diapun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subonya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li lalu berkata,

“Eh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi.”

“Sumoi...?”

“Heh-heh, dia itulah sumoimu!”

“Kim Hong...?” Sabutai terbelalak.

Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau raja marah dan merasa terhina, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata,

“Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai...”

“Ih, kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid apa kau ini?” Tiba-tiba nenek itu membentak.

Kim Hong Liu-nio terkejut dan melanjutkan kata-katanya,
“...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid...”

Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu.
“Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo? Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?”

“HUUH-HUH-HE-HEH! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh tiga empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Kalau musuh-musuh belum mati dan tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!”

Raja Sabutai mengangguk-angguk.
“Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya.”

Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua mana bisa mengawasi dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa kira, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.

Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih.

Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan kepandaian yang amat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang.

Apalagi setelah putera dari Raja Sabutai, mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, sedangkan nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai!

Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya? Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Kharmila dan suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai.

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu. Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih amat muda dan cantik jelita, belum mempunyai keturunan. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar. Di waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaitu Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara.

Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini amat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan.

Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta inipun belum pernah ada selirnya yang memperoleh keturunan, maka dia dapat menduga bahwa dialah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini.

Ketika dia melihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan malu mempunyai anak yang sebetulnya mempunyai darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai raja liar.

Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Sang Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta!

Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah dapat lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.

Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu.

Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sesungguhnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itupun sang permaisuri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.

Biarpun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu meniadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subonya untuk digembleng, dan dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan sucinya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini.

Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini telah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri!

Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya ini untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tidak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri.

Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, Khamila diam-diam memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap. Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkata

“Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau telah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku?”

Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik. Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda daripada wajah sang permaisuri, sungguhpun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mujijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua!

Kim Hong Liu-nio yang dulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi seorang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab.

“Hamba ada mendengar sedikit tentang hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak?”

Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi,
“Kim Hong, engkau adalah seorang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng.”

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan kaget mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut “sute” kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han dan pandai membaca dan menulis pula!

“Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba?”

“Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?”

“Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?”

“Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?”

“Hamba disuruh menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda.”

“Ehh? Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?”

“Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undangan itu nanti setelah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang dapat mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran.”

“Ihhh... Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu?”

“Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana,” kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw.

“Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengar, Kim Hong, aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?”

“Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba.”

“Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, setelah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kau ajak serta, kau antarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng.”

“Ahhh...!” Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya. “Hamba... hamba... mendengarkan...” katanya.

“Aku mendengar bahwa waktu ini, kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim Hong.”

“Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tidak akan mudah untuk dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ah, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu?”

Permaisuri Khamila tersenyum lembut, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil.
“Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal disana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku.”

Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan,

“Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoiku sendiri, bahkan Oguthai adalah sutemu juga. Maka, engkaulah yang bertanggung-jawab atas keselamatan puteraku!”

“Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, sri baginda!” jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan.

Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran.

Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sutenya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin “melatih” sutenya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan dan setelah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu.

Seperti tidak pernah terjadi sesuatu kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw telah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.

**** 037 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: