***

***

Ads

Senin, 13 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 038

“Sin Liong...!”

Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah. Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah dipersiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.

“Sin Liong, di mana kau? Hayo cepat kesini...!” kembali Hok Boan berteriak.

Tiba-tiba terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu.

“Gi-hu memanggil saya? Saya berada disini...”

Hok Boan lari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong duduk di cabang pohon itu.

“Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!”

Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon dan berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkat ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi.

“Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?” bentak Hok Boan. “Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kau andalkan? Hayo siapa??”

Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya!

Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini amat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.

“Kau tidak lekas berlutut minta ampun?” kembali Hok Boan menghardik, makin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya.

Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi. Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apalagi minta ampun.

“Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!”

Hok Boan membentak dan dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong sehingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan ketika dia mendorong melangkahi anak tangga, dia terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping dimana Lan Lan, Lin Lin, dan Beng Sin memandang dengan mata terbelalak!






Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajar di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga agar dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar.

“Di mana Siong Bu?” tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak. “Suruh dia ke sini!”

“Dia tidak ada ayah,” jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.

“Dia tadi lari ke dalam hutan sambil menangis, paman,” kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan.

Mendengar ini, makin kasihanlah rasa hati Bok Hoan kepada Siong Bu, dan makin marahlah dia kepada Sin Liong.

“Anak liar, hayo kau berlutut dan minta ampun!” bentaknya dan cambuk rotan di tangan kanannya mulai dikerjakannya.

Terdengar bunyi cambuk menyambar lalu menimpa punggung Sin Liong, nyaring sekali suaranya, bertubi-tubi.

“Hayo berlutut!” bentak Hok Boan.

Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, kedua tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis.

“Tar-tar-tar-tar!”

Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya. Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras karena rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apalagi berlutut minta ampun!

“Tar-tar-tar-tar-tarrr...!”

Hok Boan menjadi makin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang!

Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka.
“Ayah... jangan pukul dia...!” Lan Lan berkata dengan suara terisak.

“Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!” Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis.

Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apalagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Dia melihat warna merah dari balik baju Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentu sudah pecah-pecah berdarah!

“Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia...” anak gendut itupun minta ampun sambil berlutut.

Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, melainkan karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tidak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi ketika Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia tertegun terheran dan agak bingung.

“Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!”

Hok Boan terkejut, juga tiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak memperdulikan segala yang terjadi, juga tidak memperdulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak.

“Siong Bu! Ada apa...?”

Hok Bow bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.

“Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana...” Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.

Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut!

“Bicaralah yang jelas!” bentaknya dan kini dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. “Apakah yang telah terjadi?”

Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata,

“Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang amat indah, dikawal oleh belasan orang perajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis...”

Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya,

“Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?”

“Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan tiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!”

Kini yakinlah Hok Boan bahwa memang benar wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengeriannya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut.

“Mengapa engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Disini tidak ada seorangpun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Jangan kau mudah sekali ketakutan, Siong Bu...”

“Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?”

Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela.

“Apa katamu...?” bentaknya.

“Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang...”

Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring,
“Siapakah she Cia...?”

Hok Boan cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biarpun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang. Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu usianya kini sudah bertambah sebelas tahun!

Cepat Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut,

“Aih, kiranya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!”

Akan tetapi, wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, kearah wajah lima orang anak itu, sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.

“Siapakah yang she Cia?” kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!

Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, hal ini sungguh amat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya. Akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu.

Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong. Biarpun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tidak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.

“Tidak... tidak ada yang she Cia...” kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya.

“Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?” Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan.

“Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: