***

***

Ads

Rabu, 15 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 044

Matahari telah mulai condong ke barat ketika rombongan itu memasuki sebuah butan di lereng bukit. Tembok besar nampak jelas dari bawah, akan tetapi ketika mereka memasuki hutan, tembok panjang yang seperti naga itu lenyap tertutup oleh pohon-pohon yang memenuhi hutan dan yang tumbuh secara liar. Tiba-tiba kereta berhenti dan pasukan pengawal segera menggerakkan kuda mereka mengurung kereta untuk melindungi.

“Mengapa berhenti?” Han Houw bertanya.

“Apa yang terjadi?” Kim Hong Liu-nio juga bertanya, nada suaranya tidak sabar.

Seorang pengawal mendekatkan kudanya dengan jendela kereta dan memberi laporan dalam Bahasa Mongol secara singkat.

“Hemmm, bagus! Mereka mencari mati di tempat ini? Sute, kau berdiam saja disini dan lihat saja sucimu menghajar mereka!” kata Kim Hong Liu-nio dan tiba-tiba tubuhnya melesat keluar dari dalam kereta.

Han Houw membuka tirai-tirai kereta dan dari dalam kereta, dia dan Sin Liong dapat melihat apa yang terjadi di depan. Kiranya perjalanan rombongan itu dihadang oleh serombongan orang yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh puluh orang, yang kini semua berdiri seperti patung mengurung kereta itu.

Mereka bergerak tanpa mengeluarkan suara, dan tubuh mereka hanya bergeser secara teratur sehingga tahu-tahu tempat dimana kereta itu berhenti telah dikepung dalam jarak kurang lebih lima meter. Para pengepung itu memakai pakaian seragam hijau muda dengan gambar bunga yang bentuknya aneh, berwarna hijau tua di dada baju masing-masing.

Karena pakaian yang berwarna serba hijau ini, maka pandang mata menjadi kabur karena warna pakaian mereka itu sama dengan warna di sekeliling tempat itu, warna daun dan semak-semak. Dan karena mereka mengurung dengan berdiri tegak dan sama sekali tidak bergerak atau mengeluarkan suara, maka keadaan menjadi makin menyeramkan.

Akan tetapi Sin Liong melihat betapa Han Houw bersikap tenang saja, bahkan senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah sekali. Diam-diam dia merasa kagum terhadap ketabahan pemuda cilik yang tampan dan berpakaiah mewah ini.

Sementara itu, tujuh belas orang pengawal telah berbaris rapi mengurung kereta dan membelakanginya, siap melindungi kereta itu dengan taruhan nyawa mereka. Tujuh belas orang pengawal yang berpakaian seragam inipun kelihatan gagah dan tenang. Semua ini membuat hati Sin Liong menduga-duga siapa adanya anak ini sesungguhnya.

“Han Houw, sebenarnya siapakah engkau ini? Apakah anak bangsawan Mongol?” Akhirnya Sin Liong bertanya karena tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya.

Han Houw menoleh kepadanya lalu tersenyum. Dia telah dipesan oleh ayah bundanya, juga sucinya, agar tidak mengaku sebagai putera Raja Sabutai, agar melakukan perjalanan dengan menyamar, karena jika dia dikenal sebagai putera Raja Sabutai, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Banyak kepala suku bangsa yang tentu saja akan mengincarnya, karena Sabutai mempunyai banyak sekali musuh di antara suku-suku bangsa di utara. Kini, mendengar pertanyaan Sin Liong, Han Houw tersenyum dan menjawab,






“Kelak engkau akan mengetahui sendiri, Sin Liong.”

Sin Liong memang berwatak keras dan angkuh. Mendengar jawaban ini dia tidak sudi mendesak lagi, bahkan kini dia mengalihkan perhatiannya memandang ke luar jendela, ke arah Kim Hong Liu-nio yang telah berhadapan dengan para pimpinan gerombolan itu.

Wanita itu telah berdiri tegak menghadapi enam orang pimpinan gerombolan dengan sikap tenang dan mulut tersenyum-senyum yang menyembunyikan kemarahan hatinya karena gangguan gerombolan itu. Tadi pimpinan pengawal telah memberi laporan kepadanya bahwa gerombolan Jeng-hwa-pang telah menghadang di tengah perjalanan dan dia menjadi marah sekali. Setelah dia melompat turun dan melihat sekeliling, benar saja dia mengenal bahwa mereka itu adalah pasukan Jeng-hwa-pang! Tentu saja dia merasa marah sekali dan cepat dia menghampiri enam orang yang ia duga tentulah merupakan pimpinan Jeng-hwa-pang.

Ketika dia pernah mengacau di Jeng-hwa-pang, membunuh-bunuhi orang-orang she Tio termasuk isteri ketua Jeng-hwa-pang, dia tidak bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang kabarnya sedang pergi menangkapi ular-ular merah. Akan tetapi dia mendengar bahwa pimpinan Jeng-hwa-pang adalah ketuanya yang dibantu oleh lima orang tokoh Jeng-hwa-pang yang berkepandaian tinggi. Maka kini melihat ada enam orang berdiri tegak dengan sikap angkuh, mudah saja hati Kim Hong Liu-nio untuk menduga bahwa tentu mereka itulah para pimpinan Jeng-hwa-pang.

“Jeng-hwa-pang mengundang kami untuk datang ke sarangnya, akan tetapi sekarang di dalam hutan menghadang seperti kelakuan para perampok rendah!” Kim Hong Liu-nio berseru dengan suara nyaring. “Jeng-hwa-pang mengundang orang untuk mengadu kepandaian atau hendak melakukan pengeroyokan seperti pengecut-pengecut hina?”

Enam orang itu mengerutkan alis mereka dan memandang marah. Tak mereka kira wanita secantik itu ternyata mempunyai lidah yang amat tajam. Pria berusia lima puluh tahun yang bermuka merah dan bertubuh tegap gagah, yaitu Jeng-hwa-pangcu sendiri melangkah maju dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Kim Hong Liu-nio.

“Kim Hong Liu-nio, baru sekarang kita ada kesempatan untuk saling bertemu! Engkau dan tujuh belas orang pengawalmu itu tidak ada artinya. Engkau telah dikurung oleh anak buah kami yang berjumlah tujuh puluh lima orang! Kekuasaan ada padaku dan kelemahan ada padamu, maka tidak perlu lagi kau bersikap sombong. Kamilah yang menentukan apakah akan membasmi kalian satu demi satu ataukah sekaligus! Dan...”

“Tunggu dulu!” Kim Hong Li-nio menghentikan kata-kata lawannya itu dengan mengangkat tangan ke atas. Tangan yang diangkat ke atas ini merupakan isyarat bagi para anggauta pasukan pengawalnya dan mereka itu cepat menurunkan busur dan anak panah dan siap dengan senjata itu di tangan mereka. “Agaknya engkau ini Jeng-hwa-pangcu Gak Song Kam! Eh, orang she Gak, apakah engkau tidak melihat keadaan pasukan pengawal itu?”

Gak Song Kam dan lima orang pembantunya memandang dan melihat tujuh belas orang pengawal itu memegang busur dan anak panah, mereka tertawa, diikuti pula oleh puluhan orang anak buah mereka yang menyeringai. Akan tetapi tidak ada suara ketawa keluar dari mulut mereka sehingga Sin Liong bergidik. Amat menyeramkan melihat puluhan orang itu menyeringai sehingga nampak gigi mereka akan tetapi tidak ada suara yang keluar!

“Ha-ha-ha, Kim Hong Liu-nio, sungguh lucu sekali melihat gertakanmu ini! Apa sih artinya tujuh belas orang pengawalmu yang memegang busur dan anak panah itu? Apakah kau kira kami ini hanyalah kijang-kijang dan kelinci-kelinci yang lemah sehingga mudah saja ditakut-takuti dan ditodong dengan anak panah seperti itu? Ha-ha-ha!”

“Jeng-hwa-pangcu, kalian bukan hanya kijang-kijang dan kelinci-kelinci lemah, akan tetapi malah adalah sekumpulan babi hutan yang tolol. Lihatlah baik-baik!”

Kim Hong Liu-nio memberi isyarat dengan jari tangannya ke atas, ibu jari tangan kanannya diacungkan ke atas dan tujuh belas orang pengawal itu lalu menarik busur, dan para anggauta Jeng-hwa-pang sudah siap untuk menangkis atau mengelak. Akan tetapi tiba-tiba anak panah itu dihadapkan ke atas dan begitu tali busur dilepas meluncurlah tujuh belas batang anak panah. Setelah tiba di atas, anak-anak panah itu mengeluarkan ledakan dan nampaklah sinar merah bernyala di angkasa. Kiranya anak-anak panah itu adalah anak panah berapi yang dipergunakan untuk mengirim berita!

Orang-orang Jeng-hwa-pang terkejut, heran dan tidak mengerti. Akan tetapi tak lama kemudian mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari empat penjuru. Kemudian, terdengarlah derap kaki kuda yang banyak sekali disertai sorak-sorai dari banyak sekali orang. Dan tampaklah oleh mereka karena hutan itu berada di lereng bukit yang agak tinggi betapa dari empat penjuru berdatangan pasukan-pasukan yang masing-masing tidak kurang dari tiga ratus orang jumlahnya!

Gak Song Kam dan para pembantunya saling pandang dan muka Gak Song Kam yang biasanya berwarna merah itu kini menjadi agak pucat. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio tertawa dan kini terdengar suara berbisik ketika pasukan-pasukan itu mulai mendekat dan mengurung hutan itu, siap untuk menyerbu jika ada tanda dari Kim Hong Liu-nio.

Tempat itu termasuk daerah kekuasaan Raja Sabutai dan semua suku bangsa yang berada di sekitar tempat itu tentu saja merupakan bawahan-bawahan raja ini, maka begitu melihat tanda bahaya yang dilepas melalui anak panah tadi, berbondong-bondong mereka datang dari segenap jurusan ke hutan itu.

“Orang she Gak, kau masih mau bicara tentang siapa yang mengurung dan siapa yang dikurung, siapa yang kuat dan siapa yang lemah, siapa pula yang menentukan? Pengawalku memang hanya tujuh belas orang, akan tetapi anak buahmu hanya berjumlah tujuh puluh lima orang sedangkan pasukanku yang telah datang saja sudah lebih dari seribu orang, belum lagi yang sedang datang dari tempat yang agak jauh. Engkau mau bicara apa sekarang?”

Hati Gak Song Kam menjadi gentar. Memang maksudnya hendak menghadapi wanita ini sebagai musuh pribadi dan dia memang tidak berani membawa-bawa nama Raja Sabutai yang dia tahu memiliki pasukan-pasukan yang amat kuat dan tidak mungkin dilawan oleh anak buahnya itu. Tadinya, melihat musuh besarnya itu hanya dikawal oleh tujuh belas orang pengawal, maka begitu mendengar berita ini, dia cepat mengumpulkan anak buahnya dan melakukan penghadangan jalan karena dia bermaksud membalas dendam dan membasmi semua orang di tengah hutan agar kalau Raja Sabutai mendengar tentang pembasmian itu, dia tidak akan menyangka bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang vang melakukannya.

Kalau Kim Hong Liu-nio tiba di sarang Jeng-hwa-pang, tentu saja Jeng-hwa-pang tidak memungkiri lagi dan berarti akan menanam bibit permusuhan dengan Raja Sabutai dan hal itu amatlah berbahaya. Akan tetapi, siapa kira wanita ini benar-benar amat cerdik dan tidak dapat ditundukkan dengan mengandalkan banyak anak buah karena ternyata di belakang wanita itu berdiri pasukan yang ribuan orang jumlahnya. Maka terpaksa Gak Song Kam tersenyum-senyum masam untuk menutupi rasa gentar dan kecewanya.

“Hemm, kiranya Kim Hong Liu-nio yang mengaku gagah perkasa itu hanya mengandalkan pasukan besar untuk menghadapi lawan!”

“Cih! Orang she Gak, sebaiknya engkau menelan kembali ludahmu itu! Engkaulah yang mengandalkan jumlah banyak! Sekarang katakanlah, engkau mengundang aku ke Jeng-hwa-pang kemudian menghadang di tengah jalan ini mempunyai maksud curang apakah?”

Gak Song Kam berdehem untuk menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian dia menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan pula,

“Kim Hong Liu-nio, benarkah engkau yang telah membunuh isteriku dan sembilan orang keluarga isteriku beberapa bulan yang lalu?”

Kim Hong Liu-nio mengangguk, menurunkan papan salib dari punggungnya sambil memperlihatkan tulisan tiga huruf di atas papan.

“Bukan salahku, pangcu, akan tetapi salahnya isterimu dan salahmu sendiri. Kenapa isterimu she Tio? Kenapa engkau menikah dengan seorang she Tio dan di rumahmu tinggal sembilan orang she Tio itu?”

Tentu saja jawaban ini amat bo-ceng-li (kurang ajar) dan mau menang sendiri saja. Wajah Gak Song Kam menjadi makin merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi melihat keadaan yang tidak menguntungkan, dia tidak berani terlalu memperlihatkan kemarahannya.

“Kim Hong Liu-nio! Engkau tahu bahwa di dunia kang-ouw terdapat peraturan bahwa siapa hutang uang bayar uang, hutang budi bayar budi, dan hutang nyawa bayar nyawa,” kata orang she Gak itu dengan suara penuh ancaman dan tangan kanannya meraba gagang pedang di pinggangnya.

Wanita itu tersenyum mengejek.
“Hemm, kau maksudkan bahwa aku telah membunuh isterimu dan keluarganya, sekarang engkau hendak membunuhku?”

“Itu sudah merupakan kepantasan!” jawab ketua Jeng-hwa-pang.

Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk.
“Memang pantas! Seorang suami tentu harus membalas kematian isterinya, atau mengikuti isterinya ke alam baka. Soalnya, engkau mampu membunuh aku ataukah sebaliknya. Dan apakah kau hendak mengandalkan pengeroyokan untuk membunuhku, pangcu?”

Diejek demikian, makin marahlah Gak Song Kam. Kalau dia tidak ingat bahwa tempat itu telah dikurung oleh seribu lebih pasukan, tentu dia akan menggerakkan anak buahnya untuk membunuh iblis betina ini.

“Ataukah engkau akan bersikap pengecut dan curang, mempergunakan racun-racunmu?” kembali wanita itu mengejek.

“Apakah engkau takut?” ketua Jeng-hwa-pang itu berkesempatan balas mengejek.

Wanita itu tersenyum, manis sekali sehingga diam-diam Gak Song Kam merasa heran dan juga sayang mengapa wanita secantik itu berhati kejam seperti iblis dan harus dibunuhnya untuk membalas kematian isterinya dan sembilan orang keluarga isterinya.

“Racun-racunmu hanya permainan kanak-kanak, siapa takut? Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan pengeroyokan anak buahmu, terpaksa akupun akan menggerakkan pasukanku.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: