***

***

Ads

Rabu, 15 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 047

Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekalipun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apalagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.

Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira. Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat apabila menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain mahluk.

Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia maupun antar mahluk hidup. Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang lemah batinnya, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau mahluk lain lebih menderita daripada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam diantara manusia.

Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan dia tidak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya menegangkan dan menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.

Akan tetapi, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang.

Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari belakangnya. Cepat dia membalikkan tubuh memandang dan mengangkat obornya dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya.

Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar! Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja, akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling sahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet!

Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya “ratusan” ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia lalu membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul!

Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang digerogotinya itu, membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh ular pada lehernya makin mencekik dan dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau hangus.

Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng, merenggut tubuh yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, dan menggigit kepala ular itu.






Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh ular itu mereka robek-robek. Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-temannya.

Tak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pohon. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh.

Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya ketika dia masih bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan bebas.

Sin Liong sama sekali tidak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat!

Selama beberapa hari saja hidup di antara monyet-monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa akan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan bahagia.

Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala masalah yang langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat manusia, yang berisi kecewa, iri, benci, dendam, dan sebagainya yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.

Tak dapat disangkal pula bahwa manusia merupakan makluk yang paling pandai di antara semua makluk hidup dan sudah telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam soal kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.

Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justeru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seolah-olah menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan telah membuat manusia mundur dalam bidang rohani.

Kalau kita bandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih mempergunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan dapat terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah.

Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat! Kejahatan makin merajalela. Permusuhan antara manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia manapun juga. Mengapa demikian? Apakah justeru kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia?

Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tidak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Akan tetapi kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang kesemuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebanyak dan sebesar mungkin!

Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu makin mencengkeram kita, makin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita untuk mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justeru pengejaran kesenangan inilah yang menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!

Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan, hanya terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah!

Marilah kita membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang kesemuanya merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG. Dan selama terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik.

Karena itulah muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada kesenanganKu, oleh karena itu kalau kesenanganku sampai diganggut aku menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh! Perang!

Ingin senang! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di guha-guha, atau mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap lebih luhur!

Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin senang!

Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, karena keinginan yang dihalangi menimbulkan marah dan kebencian, keinginan yang tidak tercapai menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tidak akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.

Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat menikmati apa yang dinamakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung kita dapat menikmati keharuman bunga, mulut kita dapat menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi.

Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala kesenangan yang sebenarnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin kalau kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan!

Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri sendiri.

Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan mengenangkan segala hal yang telah lalu maupun yang akan datang. Kalau lapar mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, kalau mengantuk tidur, kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanya tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula. Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali masa lalu.

Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-laki yang tampan berkejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang menimbulkan rasa ngeri.

Tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguhpun hal ini sama sekali tidak disadarinya. Dan tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut. Namun, Sin Liong sudah tidak memperdulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan dimana terdapat pohon-pohon yang berbuah.

Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu demikian mengejutkan bagi rombongan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga mereka semua seketika berhenti bergerak dan semua dahan-dahan pohon yang tadinya bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai dan gembira itupun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin berlindung.

Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan tetapi tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia sudah meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan merekapun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik.

Biarpun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai bicara seperti manusia yang telah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi amat luas dan lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun binatang-binatang itupun mempunyai cara saling berhubungan melalui suara.

Oleh karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apapun, sudah tentu mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka. Demikian pula dengan suara-suara pekik monyet, suara itu mempunyai makna-makna tertentu dan karena sejak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna dari suara-suara monyet itu. Ketika tadi mereka mendengar pekik mengerikan dari seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan hebat, menghadapi bahaya besar, kemudian pekik-pekik selanjutnya memberi tahu kepada mereka bahwa monyet itu sedang berhadapan dengan musuh besar mereka yang amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau!

Harimau merupakan raja hutan yang amat ditakuti oleh para monyet itu, karena sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, kalau bertemu harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya.

Maka, begitu mendengar pekik itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan. Akan tetapi, tentu saja Sin Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah sering kali ditolong dan dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan timbul kesetia-kawanan besar di dalam hati anak manusia ini.

Maka, begitu rasa kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya, maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah takut menghadapi musuh besar itu, maka merekapun cepat mengejar dan mengikuti Sin Liong.

Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas menggigit. Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan keras dan meloncat ke depan, langsung menerjang harimau itu dengan penuh keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya menyambar ke arah ekor harimau yang panjang.

“Bukkk!”

Biarpun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, akan tetapi Sin Liong sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya. Harimau itu meraung, melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya.

Akan tetapi Sin Liong cukup cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya, mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah. Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, akan tetapi Sin Liong juga memekik-mekik nyaring.

Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya menarik perhatian harimau lain. Dari balik semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang!

“Aughhh...!”

Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar, bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi dengan sigap dia lalu membalikkan tubuhnya, dan menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu. Sin Liong telah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara membabi-buta.

Akan tetapi, tentu saja tendangan dan pukulannya tidak dapat merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan, berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah.

Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang sedang berada di lain tempat, mendengar suara-suara itu dan merekapun berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan terhadap dua ekor harimau itu.

Dua ekor binatang buas ini sudah menjadi ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini, akan tetapi akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah merasa ketakutan.

Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lain, diapun menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, sedangkan monyet-monyet lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri.

Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

Mungkin karena anak ini dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya daripada ilmu silat monyet yang telah ada dalam partai-partai persilatan besar. Dia dapat bergerak dengan kecepatan laksana monyet aseli, cara mengelak, cara meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan.

Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia. Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet lain, hanyalah menjaga dan memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan.

Kini dia tidak hanya dapat mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, kalau sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara kembang-kembang, kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira, dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga mereka tidak dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan, kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi.

**** 047 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: