***

***

Ads

Rabu, 15 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 049

Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan amat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia telah menundukkan hati ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia dan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.

Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena, akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat apapun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Dan hasilnya sungguh hebat bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam menjadi geger. Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tidak ada seorangpun yang mengetahui kemana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu dengan nyawanya!

Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, biarpun belum tentu dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya. Akan tetapi, dia tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Namun, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama sekali.

Setelah dia hampir lupa akan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar berita tentang Hok Boan, dia menganggap pemuda itu tentu telah mati, tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu kini telah hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya, memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam yang hampir padam itu bernyala kembali, luka di hati yang sudah mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.

Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki hutan.

Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia berada di daerah kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan dengan kekerasan, kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin sukar untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam.

Oleh karena itu, dia segera menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan membelok ke timur memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri dari musuh-musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya!






Semalam itu, Ciam-kauwsu menghentikan larinya, bersembunyi di dalam hutan. Dia melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor mencari-cari. Dia menyumbat mulut dua orang anak itu dengan saputangan dan menotok tubuh mereka sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melanjutkan larinya, mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu, terus ke timur.

Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, ketika dia melewati daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dari atas pohon dan ketika dia menoleh, pada saat itu ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu!

“Ehhh...!”

Ciam-kauwsu yang sedang lari mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu, tidak sempat mengelak dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu? Dia bukan lain adalah Sin Liong!

Seperti telah kita ketahui, anak ini terhindar dari bahaya maut, tertolong oleh induk monyet besar yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih bayi bersama gerombolan monyet-monyet itu. Pakaiannya sudah compang-camping, bahkan pembungkus kepalanya telah robek-robek sehingga dia membiarkan rambutnya terurai dan kadang-kadang dia menguncir rambutnya agar gerakannya menjadi leluasa. Dia hidup seperti binatang liar, seperti kera-kera itu, namun karena pikirannya menjadi bebas dan hening, dia bahkan mengalami hidup yang amat berbahagia.

Pada pagi hari itu, Sin Liong masih tidur ketika ada seekor monyet muda yang mengguncang-guncangnya. Dia terbangun, menggeliat dan menguap. Monyet itu mengeluarkan suara mencicit dan menuding-nuding ke bawah. Sin Liong maklum bahwa tentu ada sesuatu yang aneh dan tidak beres, maka dia lalu mengikuti monyet itu yang membawanya berloncatan dari dahan ke dahan.

Akhirnya, Sin Liong melihat laki-laki brewok yang mengempit dua orang anak perempuan itu. Hampir saja dia berteriak karena dia mengenal dua orang anak perempuan itu yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin!

Melihat dua orang anak perempuan itu, seolah-olah Sin Liong terseret ke dalam dunia lain, dunia lama yang sudah hampir dilupakannya dan dia tertegun sejenak. Hampir saja dia lari pergi karena hatinya merasa enggan untuk kembali ke dunia lama itu. Akan tetapi dia tidak mampu mengusir bayangan Lan Lan dan Lin Lin, dua orang anak perempuan yang selalu bersikap manis kepadanya!

Akhirnya, rasa kasihan kepada dua orang anak perempuan itulah yang menang dan dia lalu mengikuti laki-laki itu dari atas. Kemudian, setelah memperhitungkannya dengan tepat, melihat bahwa laki-laki itu tentu tidak mempunyai niat yang baik terhadap Lan Lan dan Lin Lin yang kelihatan tidak mampu bergerak itu, dia lalu meloncat, menerkam punggung kakek itu, dan langsung menggigit tengkuknya!

“IHHH...!”

Kakek itu terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh dua orang anak perempuan itu untuk melawan anak kecil yang liar dan ganas ini. Tengkuknya terasa sakit juga digigit oleh anak itu. Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terlempar ke kanan kiri sampai bergulingan akan tetapi karena terbanting itu, sumbatan mulut mereka terlepas dan tubuh mereka dapat bergerak lagi karena ternyata pengaruh totokan itu telah habis.

Lin Lin lalu merangkak mendekati kakaknya. Mereka menangis dan mengurut-urut kaki dan tangan sendiri yang terasa kaku, sambil memandang ke arah Sin Liong yang masih menggigit tengkuk kakek itu. Tadinya, mereka tidak mengenal anak yang menolong mereka itu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,

“Sin Liong...!” maka keduanya lupa akan keadaan diri sendiri yang masih belum dapat bergerak dengan leluasa.

Melihat Sin Liong masih merangkul kakek itu dari belakang dan menggigit tengkuk, Lan Lin dan Lin Lin lalu meloncat bangun, terhuyung akan tetapi mereka berdua dengan marah sudah menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka yang kecil untuk membantu Sin Liong.

“Duk! Dukkk!”

Dua orang anak perempuan itu terlempar oleh tendangan-tendangan Ciam-kauwau yang tidak bermaksud membunuh, kemudian dia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Akan tetapi anak laki-laki yang menggigit tengkuknya itu tidak terlepas, bahkan dari kerongkongannya keluar suara gerengan monyet marah!

Diam-diam Ciam-kauwsu bergidik juga. Bagaimana tiba-tiba muncul anak liar ini, pikirnya dan tangannya merenggut ke belakang, berhasil menjambak rambut Sin Liong dan memegang lengan anak itu, lalu dia mengerahkan tenaganya. Tentu saja Sin Liong kalah tenaga dan dia dapat diangkat lalu dibanting oleh kakek itu.

“Bresss!”

Tubuh Sin Liong bergulingan dan kepalanya menjadi pening. Akan tetapi dia cepat bangun kembali, menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, lalu sambil mengeluarkan pekik dahsyat dia sudah menerjang lagi, kini dengan pukulan-pukulan aneh seperti gerakan seekor monyet lincah!

“Anak liar, pergilah!”

Ciam-kauwsu menghantam dari samping, menampar ke arah pundak anak itu dengan maksud merobohkannya dan menakutkannya.

“Wuuut!”

Pukulan itu luput karena dengan mudahnya dielakkan oleh anak itu! Ciam-kauwsu terkejut dan penasaran, cepat dia maju lagi menyerang dengan tendangan kakinya. Kembali anak itu mengelak dan tendangan itu luput, bahkan Sin Liong kini mulai mainkan limu silat aneh yang dilatihnya selama ini dengan mengambil inti sari dari gerakan monyet-monyet itu.

Gerakan monyet tentu saja tidak teratur, hanya menurutkan naluri, perasaan dan ketajaman atau kepekaan tubuh sehingga membuat monyet-monyet itu dapat bergerak dengan amat cekatan. Akan tetapi Sin Liong telah mengambil inti dari gerakan-gerakan itu untuk dijadikan dasar dari gerakan silat, seperti yang pernah dia pelajari dari ibunya, maka gerakan Sin Liong bukan liar dan tidak teratur seperti gerakan monyet. Dia meloncat, mengelak sambil menyerang, dan membalas dengan pukulan seperti pukulan manusia, mencakar seperti monyet, dan juga menendang.

Ketika beberapa kali tamparan dan tendangannya luput, bahkan anak itu dapat membalas dengan serangan yang aneh, kakek itu menjadi makin heran dan terkejut.

“Kau anak liar, pergilah jangan mencampuri urusanku!” bentaknya berkali-kali.

Kakek Ciam ini bukan seorang yang berhati kejam. Dia tidak ingin membunuh anak liar yang tidak dikenalnya itu. Dan kalau dia berhati kejam, tentu sudah dibunuhnya dua orang anak perempuan kembar yang menjadi anak musuh besarnya itu. Tidak, dia tidak tega membunuh orang apalagi membunuh anak-anak. Dia hanya ingin memisahkan dua orang anak itu dari Kui Hok Boan, membalas dengan mendatangkan kedukaan dan kehilangan kepada musuh besarnya itu.

Kalau bertemu Hok Boan, mungkin saja dendamnya membuat dia akan sampai hati membunuh musuh itu, kalau dia dapat tentu saja. Akan tetapi membunuh anak-anak yang tidak bersalah apa-apa, sungguh tak dapat dia lakukan.

Kini menghadapi serangan anak kecil yang gerakannya aneh, liar namun cekatan sekali itu, Ciam-kauwsu menjadi marah akan tetapi dia membujuk anak ini agar tidak mencampuri urusannya. Namun Sin Liong tentu saja sama sekali tidak ada niat untuk mundur. Dia harus membela dan melindungi Lan Lan dan Lin Lin dengan nyawanya! Dua orang anak perempuan itu amat baik kepadanya, merupakan sahabat-sahabatnya yang manis budi, bahkan tidak begitu saja sekarang. Dua orang anak perempuan itu adalah adik-adiknya sendiri! Adik seibu berlainan ayah!

“Grrrr...!”

Sin Liong menggereng dan menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang memberi isyarat memanggil kawan-kawannya!

Ciam-kauwsu marah, dia membiarkan pundaknya dicengkeram oleh anak itu, lalu membarengi dengan tamparan dari samping.

“Brettt... plakkk!”

Baju Ciam-kauwsu di pundak robek oleh cengkeraman tangan Sin Liong, akan tetapi anak itu kena ditampar pipinya sehingga terpelanting! Kembali Sin Liong kepalanya pening, akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan pada saat itu terdengar gerengan-gerengan menyeramkan dan belasan ekor monyet berloncatan turun dari atas pohon, dipimpin oleh seekor biang monyet yang besar, yaitu monyet betina tua yang memandang Sin Liong sebagai anaknya! Monyet betina inilah yang mendahului teman-temannya menubruk kakek Ciam dengan ganasnya ketika melihat betapa “anaknya” itu ditampar sampai terpelanting tadi.

“Ehhh...!”

Kakek Ciam terkejut bukan main melihat datangnya banyak monyet besar, apalagi ketika seekor induk monyet telah menyerangnya. Dia maklum bahwa terdapat keanehan pada diri anak liar itu, yang ternyata kini dibantu oleh monyet-monyet besar dan dia melihat adanya bahaya. Maka cepat kakek itu mencabut pedangnya, mengelak dari terkaman induk monyet sambil menusukkan pedang dari samping.

“Crotttt...!”

Pedang itu mengenai lambung induk monyet sampai tembus, ketika dicabut, darah muncrat dan induk monyet itu terguling roboh sambil mengeluarkan suara yang memilukan.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: