***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 053

“Bagus! Kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku ke selatan, anak baik.”

“Akan tetapi, saya tidak mau terikat kepada paman...”

Tiba-tiba Na Ceng Han tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, engkau seorang anak berjiwa gagah, akan tetapi agaknya belum tahu siapa orang yang boleh dipercaya dan siapa tidak. Aku selamanya tidak mau mengikat orang, anakku. Marilah!”

Dia membalik dan hendak berjalan, akan tetapi mengeluh dan hampir saja jatuh terguling kalau Sin Liong tidak cepat menangkap tangan kakek itu.

“Paman, engkau terluka!”

“Ah, keparat itu...!”

Na Ceng Han memaki dan cepat dia duduk di atas tanah dan merobek celananya di bagian betis kiri. Disitu nampak tanda membiru dan lapat-lapat masih nampak ujung sebatang jarum yang menancap sampai dalam.

“Celaka! Engkau telah terkena jarum rahasia yang beracun, paman!”

Sekali pandang saja Na Ceng Han memang sudah menduga bahwa jarum yang mengenai betisnya itu beracun, akan tetapi dia heran bagaimana anak itu bisa tahu. Tanpa berkata apa-apa dia lalu mencabut pedangnya yang tadi telah disarungkan dan hendak membuka kulit betis yang terluka itu dengan pedang.

“Paman, pergunakanlah ini saja!”

Sin Liong segera mengeluarkan pisaunya, pemberian Siong Bu karena menggunakan pedang yang panjang itu untuk membedah betis tentu saja amat canggung.

“Terima kasih, kau baik sekali!” kata Na Ceng Han dan dia menerima pisau yang baru dan mengkilap tajam tanpa karat sedikitpun itu, lalu tanpa ragu-ragu lagi kakek ini merobek kulit betis yang terluka dengan pisau itu.

Sin Liong memandang dan diam-diam anak ini juga kagum sekali akan kegagahan kakek itu yang berkejappun tidak ketika pisau itu ditusukkan ke dalam dagingnya dan merobeknya, membukanya sampai darah mengucur keluar. Dan memang benar dugaan Sin Liong, darah yang keluar itu berwarna agak kehijauan!

“Darahnya harus disedot keluar, paman,” kata pula Sin Liong dan karena agaknya tidak mungkin bagi orang itu untuk menyedot sendiri betisnya, maka dia melanjutkan dengan cepat, “Biar kulakukan itu, paman!”






Na Ceng Han terkejut bukan main dan hendak mencegah, akan tetapi anak itu telah memegang betisnya dan tanpa ragu-ragu telah menempelkan mulutnya pada betis yang terluka lalu menyedotnya kuat-kuat. Sin Liong meludahkan darah yang disedotnya, lalu menyedot lagi sampai berulang lima kali dan baru setelah yang keluar berwarna merah, dia berhenti menyedot.

Na Ceng Han lalu memegang pundak anak itu yang membersihkan mulutnya dengan ujung lengan bajunya. Dia terharu bukan main. Anak ini tidak dikenalnya sama sekali, baru saja bertemu telah menyelamatkan nyawanya dan dengan nekat membantu dia mengundurkan para perampok lihai tadi, dan kini, dengan suka rela anak ini telah menyedot racun dari luka di betisnya! Bukan main anak ini! Kedua mata orang tua itu menjadi basah karena hampir dia tidak percaya bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini.

“Sin Liong, apa yang kau lakukan ini takkan dapat kulupakan selama hidupku!” katanya.

Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera menghampiri monyet-monyet besar dan dengan suara memekik-mekik dia minta kepada para monyet itu untuk mencarikan daun obat luka untuk Na Ceng Han.

Kembali Na Ceng Han terbelalak memandang dan melihat para monyet itu berloncatan pergi dan tak lama kemudian datang membawa semacam daun berwarna kecoklatan. Sin Liong lalu mencuci daun-daun itu dengan air jernih yang mengalir tidak jauh dari situ, lalu dia meremas-remas daun-daun itu perlahan sampai daun-daun itu menjadi lunak dan mengeluarkan lendir.

Dengan hati-hati dia lalu menutupkan daun-daun itu sampai lima enam tumpuk di atas luka di betis Na Ceng Han, kemudian membalut luka yang ditutupi daun-daun obat itu dengan sehelai saputangan. Na Ceng Han merasa betapa luka yang tadinya panas itu kini menjadi dingin sekali.

“Sin Liong, sungguh engkau seorang anak ajaib sekali! Bagaimana kau dapat berhubungan dengan monyet-monyet itu dan dapat memerintahkan mereka?” tanya Na Ceng Han dengan pandang mata penuh kagum.

“Tidak ada yang aneh, paman. Sejak kecil saya sudah bergaul dengan mereka dan tahu akan cara hidup mereka, bahkan aku pernah luka-luka akibat cakaran dan gigitan harimau, dan mereka itulah yang mengobatiku, menjilati luka-lukaku dan menaruhkan daun obat ini.”

“Bukan main! Dan bagaimana kau tahu bahwa aku terkena jarum beracun? Memang tadi ketika tiga orang lihai itu muncul, mereka menyerangku dengan jarum-jarum dan agaknya ada sebatang yang mengenai betisku. Aku hanya merasa agak kaku di kaki ini akan tetapi tidak sempat memeriksanya karena mereka sudah mengepung dan menyerangku.”

Sin Liong tidak ingin menceritakan keadaan dirinya secara selengkapnya karena dengan demikian dia harus mengaku siapa orang tuanya dan mengaku pula tentang Istana Lembah Naga, maka dia hanya berkata,

“Saya dapat menduganya setelah melihat luka itu, karena saya mengenal tiga orang tadi, paman. Mereka itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang dan sudah tentu saja mereka menggunakan racun dalam senjata rahasia mereka.”

Akan tetapi ucapannya itu bahkan amat mengejutkan Na Ceng Han sampai dia terlonjak dan bangkit berdiri, tidak merasakan kenyerian betisnya ketika dia berdiri saking kagetnya. Bahkan, wajahnyapun berubah, persis seperti keadaan Kui Hok Boan ketika untuk pertama kali mendengar disebutnya Jeng-hwa-pang.

“Jeng-hwa-pang...?” Kakek ini bertanya, suara agak menggetar karena ngeri dan jerih. “Mereka... mereka orang-orang Jeng-hwa-pang? Ah, Sin Liong, bagaimana kau bisa tahu?”

“Saya... saya pernah melihat dan mendengar mereka dari atas pohon ketika mereka lewat dan bercakap-cakap, paman.”

“Kalau benar demikian, mari kita cepat pergi dari sini, Sin Liong!”

Sin Liong mengangguk dan pergilah dua orang itu menuju ke selatan. Biarpun agak terpincang, akan tetapi Na Ceng Han tidak lagi merasakan kakinya kaku seperti tadi, maka mereka dapat melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa ke selatan.

Sebetulnya kita tidak perlu khawatir dan tergesa-gesa, pikir Sin Liong, karena Jeng-hwa-pang sudah dibasmi oleh Kim Hong Liu-nio, dan mungkin tiga orang tadi hanya sisanya saja. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia dapat bertemu dengan kakek ini karena kalau dia harus melakukan perjalanan seorang diri, mungkin dia akan sesat jalan dan akan makan waktu lebih lama untuk melewati Tembok Besar. Sebaliknya Na Ceng Han melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa dan dengan hati diliputi kekhawatiran besar.

Seperti juga lain orang yang sudah banyak merantau dan banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, tentu saja Na Ceng Han pernah mendengar nama perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu, maka ketika mendengar tiga orang penyerangnya tadi adalah orang-orang Jeng-hwa-pang, dia terkejut sekali dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena takut kalau-kalau orang-orang Jeng-hwa-pang akan mengejarnya.

Dia masih merasa heran dan tidak mengerti mengapa secara tiba-tiba orang-orang Jeng-hwa-pang memusuhinya tanpa bertanya-tanya, padahal tiga orang itu tadinya disangkanya hanya perampok-perampok biasa saja. Pantas kepandaian mereka begitu hebat! Dan diam-diam diapun dapat menduga bahwa di dalam diri anak yang berjalan dengan gagahnya di sampingnya itu tentu tersembunyi rahasia yang amat hebat. Tak mungkin ada anak biasa saja seperti Sin Liong ini.

Mengakunya hidup sebatangkara di dalam hutan, akan tetapi memiliki pakaian yang cukup baik, mengenal tata susila dan sopan santun seperti anak kota yang terpelajar, dan jelas memiliki kepandaian silat yang aneh, keberanian luar biasa dan pandai memerintah monyet-monyet, mengenal orang-orang Jeng-hwa-pang dan tahu tentang jarum-jarum beracun!

Diam-diam hatinya girang juga bahwa dia bertemu dengan seorang anak seperti ini, apalagi ketika mendapat kenyataan betapa selama melakukan perjalanan dari pagi sampai sore ini anak itu tidak pernah mengeluh, sungguhpun keringatnya telah membasahi seluruh badan dan napasnya agak memburu. Tidak minta minum, tidak mengeluh sama sekali. Benar-benar anak ajaib!

Na Ceng Han adalah seorang piauwsu yang cukup terkenal di kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia bukan saja terkenal sebagai seorang yang pandai ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali terkenal sebagai seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) yang amat jujur, setia dan boleh dipercaya.

Sudah puluhan tahun Na-piauwsu ini bekerja sebagai piauwsu dan belum pernah barang yang dikawalnya itu tidak sampai di tempatnya dengan selamat. Dia melindungi barang kiriman yang dipercayakan kepadanya dengan taruhan nyawanya. Akan tetapi yang membuatnya selalu berhasil dalam melaksanakan tugasnya adalah karena hubungannya yang amat luas, baik dengan golongan para pendekar, maupun dengan golongan hitam.

Dia tidak segan-segan untuk membagi hasil jerih payahnya mengawal barang itu dengan fihak-fihak kaum sesat yang berkuasa di sepanjang jalan sehingga fihak kaum sesat juga merasa segan karena Na-piauwsu ini lihai dan banyak sekali sahabatnya di antara pendekar-pendekar ternama, juga karena Na-piauwsu bersahabat baik dengan banyak tokoh kaum sesat.

Seperti pernah diceriterakan di bagian depan, pandai besi ahli pembuat pedang Bhe Coan yang tinggal di dusun di kaki Pegunungan Khing-an-san, juga termasuk seorang sahabat baik Na Ceng Han. Sebelum Bhe Coan menikah dengan janda Leng Ci yang genit, dia telah kematian isterinya yang melahirkan seorang anak perempuan. Setelah menikah dengan janda genit dan cantik itu, si janda membujuknya untuk menyingkirkan anaknya, maka dia teringat kepada sahabatnya itu dan dia lalu memberikan anaknya perempuan itu kepada Na Ceng Han.

Na-piauwsu menerimanya dengan senang, bukan hanya karena Bhe Coan adalah seorang sahabat baiknya, akan tetapi juga karena dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja dan mereka berdua memang ingin sekali mempunyai seorang anak perempuan.

Pada hari itu, ketika pekerjaannya agak sepi, yang ada hanya barang-barang kiriman yang tidak begitu penting sehingga cukup diantar dan dikawal oleh para pembantunya saja, Na-piauwsu teringat akan sahabat baiknya itu. Dia ingin mengunjunginya, bukan hanya karena sudah merasa rindu dan ingin tahu bagaimana keadaan sahabatnya yang dia tahu amat jujur dan agak bodoh, akan tetapi amat ahli dalam pembuatan pedang itu, akan tetapi juga untuk mengabarkan tentang keadaan Bi Cu, yaitu puteri dari sahabatnya itu, dan untuk minta dibuatkan sebatang pedang yang baik untuk Bi Cu!

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan dukanya ketika dia mendengar bahwa Bhe Coan sahabatnya itu telah tewas bersama isteri barunya, tewas dibunuh orang tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya! Bahkan dia mendengar dari para tetangga betapa banyak orang gagah yang datang untuk memesan pedang, juga terkejut dan marah, ingin tahu siapa pembunuhnya. Akan tetapi sampai sekian lamanya tidak ada yang pernah mengetahuinya karena memang tidak ada orang yang menyaksikan pembunuhan atas diri suami isteri itu.

Demikianlah, dalam perjalanannya pulang dari tempat tinggal sahabatnya, tanpa disangka-sangkanya Na Ceng Han bertemu dengan Sin Liong dan kini dia melakukan perjalanan pulang bersama Sin Liong.

Di tengah perjalanan, beberapa kali Na Ceng Han memancing kepada anak itu untuk menceritakan riwayatnya. Akan tetapi Sin Liong lebih banyak tutup mulut daripada bicara dan bagaimanapun didesak, tetap saja Sin Liong mengatakan bahwa namanya Sin Liong dan dia tidak tahu siapa nama ayahnya dan siapa ibunya. Dia mengatakan bahwa sejak kecil dia hidup di antara monyet-monyet yang merawatnya.

“Akan tetapi engkau memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya. Dari siapakah engkau mempelajari itu, Sin Liong?” tanya Na Ceng Han ketika pada suatu malam mereka berhenti melewatkan malam di Tembok Besar.

“Saya hanya ikut-ikut latihan dengan anak-anak dusun, paman dan saya meniru-niru gerakan monyet-monyet kalau berkelahi,” jawab Sin Liong secara singkat.

Melihat anak itu memang pendiam sifatnya dan kelihatannya amat keras hati, Na Ceng Han tidak mau mendesak lagi, sungguhpun keterangan itu tidak dipercaya sepenuhnya.

“Maafkan aku kalau aku cerewet, Sin Liong. Akan tetapi aku amat tertarik kepadamu, dan sekarang aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi harap kau suka jawab sejujurnya. Engkau yang hidup di dalam hutan, tanpa sanak kadang tanpa keluarga, mengapa engkau secara tiba-tiba saja hendak pergi ke selatan? Engkau tahu akan sopan santun, agaknya engkau tahu pula baca tulis, siapakah yang mengajarkan itu semua dan dari siapa kau tahu bahwa di sebelah sana Tembok Besar terdapat dunia yang amat luas?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: