***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 054

“Ah, paman. Di dusun banyak juga orang yang pandai baca tulis dan saya ikut-ikut belajar. Tentang maksudku berkunjung ke selatan Tembok Besar... ah, saya ingin meluaskan pengetahuan, paman...”

Setelah berkata demikian, Sin Liong menunduk dan jelas nampak dari wajahnya bahwa dia tidak ingin banyak bicara tentang dirinya sendiri lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan mereka, menyeberangi Tembok Besar menuju ke selatan. Jantung Sin Liong berdebar penuh ketegangan ketika dia memasuki dusun pertama dari daerah selatan ini. Betapa jauh bedanya keadaan di selatan dengan di utara. Di sini mulai nampak padat dengan penduduk, dan ingatan bahwa dia makin dekat dengan ayah kandungnya, membuat dia merasa tegang dan gembira.

Dia tidak tahu atau belum dapat membayangkan bahwa dunia selatan ini amat luasnya, lebih luas daripada langit yang dapat nampak olehnya, dan betapa mencari satu orang diantara ratusan juta orang bukan merupakan hal yang mudah! Akan tetapi dia mempunyai satu keuntungan, yaitu bahwa yang dicarinya itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang pendekar yang namanya pernah menjulang tinggi sekali di dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Bahkan pada waktu itu juga, tidak ada seorangpun kang-ouw yang tidak mengenal nama Cin-ling-pai dimana kakeknya, yaitu ayah dari Cia Bun Houw, menjadi ketuanya!

Melihat kegembiraan anak itu, diam-diam Na Ceng Han merasa terharu sekali. Anak ini patut dikasihani, pikirnya. Melakukan perjalanan selama beberapa hari ini bersama Sin Liong, dia makin terkesan dan tertarik oleh anak ini yang benar-benar amat luar biasa. Pendiam, keras hati, tabah, sopan, dan amat cerdik. Apalagi anak ini telah menolongnya, bahkan kini luka di betisnya telah sembuh berkat perawatan Sin Liong yang membawa banyak daun obat untuk mengganti obat di luka itu setiap hari.

Na Ceng Han merasa berhutang budi kepada anak ini maka dia mengambil keputusan untuk melakukan apa saja bagi anak ini. Dia lalu mengajak Sin Liong singgah di kota raja, tak lain hanya untuk menyenangkan hati anak ini.

Dan Sin Liong memang senang bukan main. Dia merasa takjub melihat gedung-gedung indah, jembatan-jembatan besar yang indah, taman-taman yang seperti dalam dongeng saja di kota raja! Tiada habisnya dia mengagumi segala apa yang dilihatnya dan dia amat berterima kasih kepada Na Ceng Han.

Akhirnya tibalah mereka di kota Kun-ting. Ternyata rumah Na-piauwau cukup besar, merupakan sebuah gedung yang biarpun tidak amat mewah, akan tetapi cukup bagus karena selama bekerja puluhan tahun sebagai piawsu, Na Ceng Han dapat mengumpulkan kekayaan sekedarnya.

Kantor piauw-kiok (perusahaan ekspedisi) yang diberi nania Ui-eng-piauw-kiok. Nama Ui-eng (Garuda Kuning) berasal dari nama julukan ayah dari Na Ceng Han yang kini telah meninggal dunia. Ayah dari Na Ceng Han juga seorang piauwsu dan karena ayahnya itu suka sekali memakai pakaian kuning dan sepak terjangnya seperti seekor garuda, maka dia mendapatkan julukan Garuda Kuning. Maka ketika ayahnya itu membuka piauw-kiok, julukan ini lalu dipakai.

Maka terkenallah Ui-eng-piauw-kiok sampai menurun kepada Na Ceng Han. Bendera berlatar belakang merah dengan gambaran seekor garuda kuning amat dikenal oleh seluruh kaum liok-lim dan kang-ouw sehingga baru benderanya itu saja yang berkibar di atas gerobak pengangkut barang yang dikawal oleh Ui-eng-piauw-kiok, sudah merupakan jaminan keamanan gerobak itu.






Kedatangan Na Ceng Han disambut oleh isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh lima tahun, bersikap lemah lembut dan ramah, lalu nampak seorang anak laki-laki sebaya dengan Sin Liong. Anak ini adalah Na Tiong Pek, putera tunggal dari keluarga Na. Dan di belakang Tiong Pek ini muncul seorang perempuan yung manis sekali, yang mengingatkan Sin Liong kepada Lan Lan dan Lin Lin, akan tetapi anak perempuan ini sifatnya lemah lembut dan pendiam, bahkan agak malu-malu tidak seperti Lan Lan dan Lin Lin.

Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, memandang kepada Sin Liong dengan mata terbuka lebar keheranan. Anak ini adalah Bi Cu, puteri dari Bhe Coan yang sejak bayi dititipkan kepada Na Ceng Han. Bhe Bi Cu tidak diaku anak oleh Na Ceng Han, maka masih memakai she Bhe, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anak ini tidak dianggap orang lain oleh suami isteri Na, dianggap anak sendiri, bahkan amat disayang oleh mereka.

Betapapun juga, Bhe Bi Cu selalu “tahu diri”, merasa dia bukanlah anak mereka dan hanya seorang yang menumpang hidup! Inilah agaknya yang membuat Bi Cu selalu bersikap pendiam dan malu-malu.

Keluarga Na menyambut Na Ceng Han dengan penuh kegembiraan. Apalagi setelah piauwsu itu mengeluarkan oleh-olehnya. Kain sutera halus untuk isterinya, hiasan rambut dari emas untuk Bi Cu, dan gendewa beserta anak panahnya yang terukir dan dicat indah untuk Tiong Pek. Semua benda ini dibelinya di kota raja dan hanya di kota raja sajalah ada yang menjual benda-benda seindah itu. Tentu saja anak-anak dan isterinya itu gembira sekali dan barulah isterinya bertanya siapa adanya anak laki-laki yang ikut bersama suaminya.

Sejak tadi Sin Liong memandang pertemuan itu dengan hati perih dan pula rasa iri di dalam hatinya. Belum pernah dia mengalami pertemuan seperti itu, begitu asyik dan mesra! Belum pernah dia merasakan betapa akan gembira hatinya kalau menyambut pulangnya seorang ayah yang membawa oleh-oleh! Akan tetapi dia hanya menunduk dan membiarkan ayah dan keluarganya itu bertemu melepaskan rindu tanpa berani mengganggu, bahkan dia mundur di sudut.

“Siapakah anak itu?” tanya nyonya Na dan kini dua orang anak itupun yang tadinya bergembira dengan barang-barang mereka menoleh dan memandang kepada Sin Liong.

Karena semua mata kini memandang kepadanya, Sin Liong yang tadinya menunduk kini malah mengangkat mukanya membalas pandang mata mereka dengan tenang. Dia melihat betapa wajah nyonya itu peramah sekali, betapa sepasang mata anak laki-laki itu memandangnya penuh curiga dan anak perempuan yang manis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata terbuka lebar, agaknya terheran-heran.

Na Ceng Han tertawa, lalu menghampiri Sin Liong dan menaruh tangannya di atas pundak anak itu dan berkatalah dia kepada keluarganya.

“Anak ini bernama Sin Liong dan ketahuilah, kalau tidak ada anak ini, aku sudah tidak akan bertemu lagi dengan kalian, aku tentu telah tewas di utara sana tanpa ada yang mengetahui.”

“Ihh...?” Nyonya Na berseru dengan muka berubah pucat.

“Ahh...!” Bi Cu juga berseru dan matanya makin terbelalak memandang kepada Sin Liong.

“Ayah, apakah yang telah terjadi?” Tiong Pek juga berseru kaget.

Na Ceng Han menarik napas panjang, lalu dengan halus mendorong Sin Liong maju menghampiri keluarganya.

“Marilah kuperkenalkan dulu. Sin Liong, dia ini adalah bibimu, dan ini adalah anakku, Na Tiong Pek dan ini adalah keponakanku, Bhe Bi Cu.”

Sin Liong yang sejak kecil sudah diajar sopan santun oleh ibunya, cepat memberi hormat kepada nyonya itu sambil menyebut.

“Bibi...”

Nyonya Na cepat mengulurkan tangan memegang pundak anak itu dan berkata,
“Anak baik, duduklah.”

Mereka semua duduk mengelilingi meja dan mulailah Na Ceng Han menceritakan pengalamannya ketika dia dihadang oleh tiga orang perampok lihai dan dia sudah terluka kakinya, kemudian betapa Sin Liong muncul bersama rombongan monyet dan menyelamatkannya dari bahaya maut.

“Dia tidak hanya membantuku mengusir tiga orang itu, akan tetapi bersama teman-temannya, rombongan kera itu, dia telah mengobati luka di kakiku sampai sembuh!” Na-piauwsu mengakhiri ceritanya tanpa menyebut-nyebut tentang kematian Bhe Coan.

Nyonya dan dua orang anak itu mendengarkan dengan mata terbuka lebar, penuh perhatian dan penuh keheranan.

“Luar biasa sekali...!” seru nyonya itu sambil memandang kepada Sin Liong. “Seolah-olah Thian sendiri yang mengutus dia turun dari kahyangan untuk menolongmu, suamiku!”

Na Ceng Han tertawa.
“Ha-ha, memang tadinya aku sendiripun terheran-heran dan mengira dia seorang dewa sebangsa Lo-cia! Akan tetapi dia seorang manusia biasa yang ingin ke selatan, maka aku membawanya sampai ke sini.”

“Muncul bersama rombongan monyet?” Tiong Pek berseru heran sambil memandang kepada Sin Liong. “Apakah... apakah dia mengenal monyet-monyet itu...?”

“Ha-ha-ha, mengenal mereka? Tiong Pek, sayang kau tidak melihat sendiri betapa dia ini telah memerintahkan monyet-monyet untuk mundur ketika mereka itu salah duga dan hendak mengeroyokku, kemudian betapa dia menyuruh monyet-monyet itu mencarikan daun obat untuk mengobati luka di betisku!”

“Ah...! Benarkah itu? Kalau begitu engkau bisa bercakap-cakap dengan monyet!”

Tiong Pek bertanya kepada Sin Liong, sinar matanya penuh kagum dan Sin Liong melihat betapa anak ini memiliki watak yang jujur. Maka dia mengangguk tanpa menjawab.

“Bagus, kau harus ajari aku bicara monyet!” Tiong Pek berseru sambil memegang tangan Sin Liong. “Dan kau boleh memilih benda-benda mainanku, mana yang kau suka boleh kau ambil!” Tiong Pek lalu menarik tangan Sin Liong. “Marilah. Sin Liong, mari kita bermain di belakang!”

Sin Liong hanyut oleh kegembiraan anak itu. Anak ini berbeda dengan Siong Bu, dan biarpun tidak selucu Beng Sin, akan tetapi anak ini jujur dan terbuka, tidak seperti Beng Sin yang tidak berani terang-terangan bersikap manis kepadanya. Akan tetapi dia tidak mau bersikap kurang hormat dan dia memandang kepada Na Ceng Han.

Na-piauwsu tersenyum dan mengangguk.
“Kau bermainlah bersama Tiong Pek dulu, Sin Liong, aku hendak bicara dengan bibimu dan dengan Bi Cu.”

Maka pergilah Sin Liong, setengah ditarik oleh Tiong Pek, menuju ke ruangan belakang dari rumah yang besar itu. Bi Cu mengikuti mereka dengan pandang matanya. Agaknya diapun ingin bicara dengan Sin Liong, ingin bertanya tentang kehidupan anak itu yang aneh, yang pandai memerintah monyet-monyet, dan terutama sekali, yang datang dari utara, dari mana diapun datang ketika masih bayi.

Akan tetapi sebagai seorang anak perempuan, dia tidak mau menyatakan keinginannya itu, apalagi dia tadi mendengar bahwa pamannya hendak bicara dengan dia. Dia tahu betapa pamannya pergi ke utara untuk mengunjungi ayahnya, yang kabarnya menjadi pandai besi, ahli pembuat pedang di utara sana, maka kini dia ingin mendengar tentang ayahnya itu dari Na-piauwsu.

“Lalu sudahkah kau berjumpa dengan Saudara Bhe Coan?”

Na-hujin bertanya. Hatinya sudah merasa tidak enak karena kepergian suaminya ke utara itu adalah untuk mengunjungi sahabat suaminya itu, akan tetapi sejak tadi suaminya tidak pernah bicara tentang orang she Bhe yang menjadi ayah kandung Bi Cu itu.

Kini Bi Cu memandang kepada paman dan bibinya, lalu menatap wajah pamannya untuk mendengar tentang orang yang menjadi keluarga terdekat baginya akan tetapi yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu karena dia masih bayi ketika berpisah dari ayahnya, sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika melahirkan dia.

Na-piauwsu menarik napas panjang dan memandang kepada Bi Cu dengan penuh perasaan kasihan. Dia mencinta anak ini seperti anaknya sendiri, demikian isterinya mencinta Bi Cu seperti anak sendiri. Biarpun Bi Cu tidak pernah berdekatan dengan ayah kandungnya sehingga tentu saja tidak ada pertalian rasa kasih sayang, akan tetapi menceritakan tentang kematian ayah kandung anak itu dia merasa ragu-ragu dan tidak enak juga. Betapapun, dia tidak boleh merahasiakan hal itu dan harus dia ceritakan kepada Bi Cu.

“Ah, berita tentang saudara Bhe Coan yang kubawa amatlah buruknya...” kembali dia menarik napas panjang “...sudah lama terjadinya, sudah bertahun-tahun, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu... bahkan belum lama setelah Bi Cu berada di sini...”

“Apa yang terjadi dengan dia?” tanya Na-hujin dengan wajah berubah dan dia memandang kepada Bi Cu yang hanya mendengarkan dengan alis berkerut.

“Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, saudara Bhe Coan telah dibunuh orang...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: