***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 058

“Ah, lihiap tidak tahu rupanya. Siapakah yang tidak akan bersikap bersahabat dengan para tokoh Hwa-i Kai-pang? Tadi menyaksikan kelihaian lihiap, maka saya merasa khawatir dan lancang bicara, akan tetapi saya telah cukup banyak bicara dan maafkan kalau saya lancang menasihati lihiap.”

Guru silat itu lalu menjura dan kembali ke mejanya. Tak lama kemudian empat orang yang tidak terdengar bicara lagi itu meninggalkan restoran, agaknya mereka berempat merasa jerih setelah tadi guru silat itu menasihati Kim Hong Liu-nio.

Wanita cantik ini tidak memperdulikan mereka. Wataknya memang aneh dan hatinya keras dan dingin sekali, maka sikap guru silat tadipun tidak membuatnya merasa menyesal sama sekali. Dia melanjutkan makan minum seenaknya bersama sutenya sampai mereka selesai.

“Sute, kau lihat betapa banyak bahaya di kota raja dan betapa banyaknya orang pandai. Oleh karena itu, lebih baik kita sekarang juga pergi menghadap ke istana.”

“Akan tetapi, suci, mana bisa... kalau kaisar sedang menderita sakit...”

“Kurasa malah lebih baik lagi, kita dapat menggunakan alasan untuk menengok. Biarpun kaisar, tetap saja seorang manusia dan menengok orang yang sedang sakit adalah perbuatan yang layak, tentu lebih mudah bagi kita untuk memasuki istana.”

Han Houw tidak membantah lagi dan mereka lalu meninggalkan restoran, berkemas lalu berangkatlah mereka menuju ke istana kaisar yang tentu saja dapat mudah mereka cari di kota raja itu.

Gentar juga rasa hati Kim Hong Liu-nio melihat keagungan dan kemegahan istana yang dikurung pagar tembok, dijaga ketat oleh pasukan pengawal yang amat kuat. Dari balik pintu gerbang nampak bangunan istana yang amat besar, megah dan indah, yang membayangkan keindahan, keagungan dan kekuasaan besar itu. Bukan hanya di pintu gerbang istana itu saja yang penuh dengan pasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan melakukan penjagaan ketat, akan tetapi juga nampak berkilauannya senjata dan pakaian penjaga yang melakukan penjagaan di atas tembok, dan Kim Hong Liu-nio maklum bahwa makin dalam tentu istana itu makin dijaga dengan ketat oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi.

Oleh karena itu, hanya orang gila sajalah kiranya yang akan berani memasuki istana itu tanpa ijin. Betapapun pandainya seseorang, kiranya tidak mungkin akan dapat menembus penjagaan-penjagaan yang amat ketat itu, apalagi kalau diingat bahwa di sebelah dalam lingkungan tembok istana itu tentu terdapat pengawal-pengawal yang amat tinggi ilmu kepandaiannya.

Ketika para penjaga melihat seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung, keduanya berpakaian mewah dan indah berhenti di pintu gerbang, tentu saja mereka menaruh perhatian dan sebentar saja suci dan sute itu telah dikurung oleh para penjaga!

Ketika dengan sikap tenang dan suara halus Kim Hong Liu-nio menyatakan bahwa mereka ingin menghadap kaisar, tentu saja para penjaga itu menjadi curiga sekali dan juga terheran-heran dan dengan keras keinginan itu ditolak.

“Ah, apakah dikira mudah saja hendak pergi menghadap kaisar?” kata kepala penjaga sambil memandang wajah cantik itu dengan tajam dan penuh selidik.






“Jangankan selagi sri baginda kaisar sakit dan tidak boleh diganggu sama sekali, sedangkan andaikata beliau sedang sehat sekalipun, tidak akan mudah memasuki istana menghadap beliau begitu saja tanpa tanda-tanda khusus untuk itu.”

“Kami adalah utusan dari utara, dari Sri Baginda Raja Sabutai!” kata Kim Hong Liu-nio yang mulai merasa tidak sabar.

Semua penjaga tertegun. Mereka tentu saja sudah mendengar nama Raja Sabutai di utara yang pernah menggegerkan kota raja dengan penyerbuan-penyerbuannya itu. Akan tetapi tentu saja merekapun tidak percaya bahwa raja besar yang ditakuti atau pernah ditakuti itu mengirim utusan berupa seorang wanita cantik dan seorang pemuda tanggung!

“Toanio, engkau tentu saja boleh mengaku utusan dari manapun, akan tetapi apa tandanya dan bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian adalah utusan raja? Apakah kalian mempunyai kenalan seorang pembesar di kota raja? Hanya dengan perantaraan pembesar yang memang mempunyai kekuasaan saja kami dapat mempercaya.”

“Suci, perlihatkan benda pemberian ibu itu,” tiba-tiba Han Houw berkata dalam bahasa Mongol kepada sucinya.

Diapun merasa terhina dan tidak senang. Katanya kaisar adalah ayah kandungnya, jadi dia adalah seorang pangeran, akan tetapi kini penjaga-penjaga biasa saja melarangnya untuk memasuki istana ayah kandungnya!

Kim Hong Liu-nio mengerutkan ailsnya.
“Harap kalian suka memanggil komandan pengawal agar kami dapat bicara dengan dia sendiri!”

Ketika itu, kaisar sedang sakit, semua penjaga mengalami suasana yang sunyi dan tertekan karena mereka tidak diperkenankan untuk bergembira seperti biasa. Suasana ini menegangkan dan mencekam hati, membuat mereka menjadi muram dan mudah bercuriga.

Akan tetapi melihat pakaian wanita dan pemuda tanggung itu, mereka menduga bahwa dua orang ini tentu bukan orang kang-ouw yang hendak menyelundup sebagai mata-mata atau hendak melakukan sesuatu yang tidak baik terhadap kaisar. Betapapun juga, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan setelah kini wanita cantik itu minta dihadapkan kepada komandan, seorang diantara mereka segera lari ke sebelah dalam untuk melaporkan kepada komandan jaga yang berada di dalam kantor.

Komandan jaga itu adalah seorang perwira gemuk pendek dan galak, akan tetapi di samping kegalakannya ini, dia juga mempunyai watak mata keranjang. Ketika mendengar laporan bahwa ada seorang wanita cantik yang minta menghadap kaisar, maka dia cepat-cepat menghampiri cermin, mengurut kumisnya dan membereskan pakaiannya, kemudian bergegas keluar menuju ke pintu gerbang dimana dua orang itu masih dikepung oleh anak buahnya.

Cuping hidung perwira gemuk itu kembang-kempis ketika dia melihat bahwa wanita yang datang dan hendak bertemu dengan dia benar-benar adalah seorang wanita yang cantik manis sekali! Dia menyeringai, kemudian dengan suaranya yang sudah biasa menghardik dan membentak bawahannya dia berkata,

“Minggir semua! Biarlah aku memeriksanya!”

Para anak buah pasukan penjaga lalu minggir dan mundur menjauh. Perwira gendut itu menghampiri Kim Hong Liu-nio, matanya yang berminyak itu mengamati wajah wanita itu, kemudian sinar matanya meraba-raba dari atas ke bawah seperti hendak menggerayangi wajah dan tubuh yang padat di balik pakaian yang mewah itu.

Menyaksikan sikap ini saja, diam-diam Kim Hong Liu-nio sudah merasa mendongkol bukan main. Akan tetapi dia maklum bahwa di tempat ini dia harus dapat menahan kesabarannya dan tidak boleh menimbulkan keributan. Maka dia segera berkata,

“Ciangkun, kami berdua adalah utusan dari utara, dari Raja Sabutai untuk menghadap sri baginda kaisar,”

Perwira itu agaknya baru sadar bahwa wanita itu mengajak dia bicara. Tadi dia memandang seperti orang terpesona karena memang dia tertarik sekali oleh kecantikan wanita itu.

“Apa? Ah, menghadap sri baginda kaisar? Mana bisa, beliau sedang sakit dan...”

“Justeru karena mendengar beliau sakit maka Sri Baginda Raja Sabutai mengutus kami untuk menengok dan melihat keadaan sri baginda kaisar,” jawab Kim Hong Liu-nio cepat-cepat.

Perwira itu berpikir sejenak, lalu berkata,
“Hal ini tidak dapat dilakukan secara begitu mudah dan sembarangan. Akan saya laporkan dulu ke dalam, kepada kepala pengawal dan sementara itu kalian harus menanti di dalam kantorku untuk pemeriksaan. Kalian harus diperiksa.”

“Diperiksa?” Kim Hong Liu-nio bertanya.

“Ya, diperiksa kalau-kalau kalian membawa senjata. Aku sendiri yang harus memeriksa, karena setiap orang yang ingin memasuki istana tanpa ada surat ijin atau surat perintah resmi, harus dicurigai dan diperiksa.”

“Akan tetapi, aku tidak membawa senjata dan dia ini... tentu saja dia membawa pedang karena dia adalah seorang pangeran, dia putera Sri Baginda Raja Sabutai!”

Agaknya perwira itu tidak percaya dengan keterangan ini, akan tetapi karena pikirannya sudah membayangkan betapa dia akan “memeriksa” atau menggeledah tubuh wanita ini untuk mencari senjata, padahal tentu saja maksudnya agar memperoleh kesempatan untuk menggerayangi tubuhnya dengan kedua tangannya dan kalau mungkin, siapa tahu, membujuk wanita itu agar suka melayaninya di kamar kantornya, maka dia tidak begitu menaruh perhatian.

“PANGERAN atau bukan, harus diperiksa dulu. Marilah, nona, mari ikut bersamaku ke dalam kantorku untuk digeledah, baru aku akan melaporkan ke dalam apakah kalian dapat diperkenankan masuk ataukah tidak.”

Sambil berkata demikian, tanpa ragu-ragu lagi perwira itu lalu mengulurkan tangan hendak menggandeng tangan yang kecil halus berkulit putih itu.

Akan tetapi dia tidak tahu bahwa Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang selama hidupnya belum pernah bermesraan dengan pria, belum pernah disentuh pria, maka melihat dia mengulurkan tangan hendak menggandeng, hampir saja tangannya bergerak membunuh perwira itu dengan sekali pukul. Untung bahwa dia masih teringat dan cepat dia menarik tangannya sehingga pegangan perwita itu luput dan Kim Hong Liu-nio melangkah mundur sambil mengerutkan alisnya.

“Ciangkun, kami adalah orang-orang terhormat yang tidak selayaknya digeledah. Kalau memang engkau hendak melaporkan keadaan kami ke dalam istana, silakan, kami akan menunggu disini!” kata Kim Hong Liu-nio dengan suara tegas.

“Hemm, tidak bisa! Kalian harus kugeledah. Mari, kalian ikutlah aku memasuki kantorku.”

Melihat sikap keras ini, Kim Hong Liu-nio menjadi makin marah.
“Kalau kami tidak sudi digeledah?”

“Hemm, kalau begitu kalian harus ditahan!”

“Bagus! Dengan tuduhan apa pula?”

“Tuduhan bahwa kalian mungkin sekali mata-mata musuh!”

Hampir saja Kini Hong Liu-nio tidak dapat menahan lagi kesabarannya, akan tetapi pada saat itu muncul seorang laki-laki berpakaian panglima yang datang dari dalam istana dengan langkah kaki tergesa-gesa. Panglima ini adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian sebagai panglima yang gagah, sikapnya gagah dengan wajah jantan, sepasang matanya yang lebar itu berpandangan tajam dan jujur, tubuhnya tinggi besar tegap dan kelihatan jelas bahwa dia memiliki tenaga yang besar. Seorang panglima yang benar-benar gagah perkasa, perutnya kecil, dadanya bidang, tidak seperti kebanyakan panglima yang perutnya besar-besar.

Semua orang, termasuk perwira pendek gemuk, cepat bersiap dan memberi hormat kepada panglima yang keluar ini. Panglima itu membalas penghormatan mereka dan ketika dia melihat wanita cantik berpakaian indah dan seorang pemuda tanggung berdiri di situ, dia tercengang. Apalagi ketika dia menatap wajah Han Houw, dia kelihatan terkejut dan cepat dia bertanya,

“Apakah yang terjadi disini? Siapakah adanya nona dan orang muda ini?”

Si perwira tadi cepat menjawab,
“Mereka ini adalah orang-orang mencurigakan yang katanya hendak mohon menghadap sri baginda kaisar.”

Panglima itu kelihatan kaget dan kini kembali ia memandang dua orang itu penuh perhatian, sambil dia bertanya kepada perwira gendut.

“Dan kau sudah melaporkannya ke kantor pengawal di dalam?”

“Be... belum...”

“Kenapa belum?” panglima itu menghardik.

“Karena... karena... saya curiga dan hendak menggeledah mereka dulu...”

Panglima itu kelihatan marah. Dia sudah tahu praktek-praktek kotor yang pernah didengarnya dilaksanakan oleh para penjaga pintu gerbang, gangguan-gangguan terhadap wanita cantik, uang-uang sogokan bagi mereka yang ingin masuk, dan sebagainya. Akan tetapi sebelum dia memperlihatkan kemarahannya kepada perwira gendut itu, Kim Hong Liu-nio yang melihat sikap panglima ini segera melangkah maju.

“Ciangkun, kami berdua datang dari utara, saya adalah utusan dari Sri Baginda Sabutai...”

“Ahh...!” Panglima itu terkejut sekali.

“Dan dia ini adalah pangeran dari kerajaan kami.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: