***

***

Ads

Kamis, 23 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 060

Kita tinggalkan dulu keadaan Ceng Han Houw yang tinggal di istana, dan Kim Hong Liu-nio yang melakukan perjalanan kembali ke utara, dan mari kita menengok keadaan Sin Liong untuk memperlancar jalannya cerita.

Seperti kita ketahui, Sin Liong kini tinggal di rumah Na-piauwsu, yaitu Na Ceng Han yang gagah perkasa dan ramah sekali itu. Pada waktu itu, tanpa terasa lagi, Sin Liong sudah hampir satu tahun tinggal di dalam rumah keluarga Na. Setiap hari dia berlatih ilmu silat dari Na Ceng Han, bersama-sama dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dia bersahabat akrab sekali dengan dua orang yang disebut sumoi dan suheng itu. Usia Sin Liong kini telah empat belas tahun, sebaya dengan Tiong Pek, sedangkan Bi Cu telah berusia dua belas tahun.

Bi Cu memang manis sekali. Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun jelas nampak sudah bahwa dia merupakan seorang dara yang amat manis. Dan Sin Liong dapat melihat betapa Tiong Pek selalu bersikap manis kepada Bi Cu, agak berlebih malah, membuktikan bahwa pemuda tanggung itu agaknya amat suka dan mencinta sumoi mereka! Bahkan kadang-kadang nampak Tiong Pek bermanis-manis muka, membujuk rayu, sehingga kalau melihat hal ini, Sin Liong cepat menjauhkan diri karena dia merasa malu sendiri.

Diakuinya bahwa Tiong Pek amat ramah dan baik, akan tetapi dia melihat bahwa sikap Tiong Pek terhadap Bi Cu agaknya terlalu mendesak dan selalu mencoba untuk mengambil hati anak perempuan itu. Dan dia melihat betapa Bi Cu selalu bersikap hormat dan manis kepada Tiong Pek, bahkan demikianlah sikap Bi Cu kepada seisi rumah keluarga Na. Hal ini dimengerti oleh Sin Liong karena tentu dara kecil itu merasa betapa dia adalah seorang yang menumpang hidup di dalam rumah keluarga Na!

Diam-diam Sin Liong merasa kasihan kepada anak perempuan ini karena merasa betapa mereka berdua mempunyai nasib yang hampir mirip. Memang benar bahwa dia tidak seperti Bi Cu, hanya ditinggal mati ibu dan masih mempunyai seorang ayah, akan tetapi dia tidak tahu dimana ayahnya berada dan selamanya belum pernah bertemu dengan ayahnya, sehingga dibandingkan dengan Bi Cu yang kematian ayahnya, agaknya tidaklah begitu banyak bedanya.

Pada suatu hari, Sin Liong yang sudah selesai melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah itu, ingin sekali berlatih silat dan dia lalu mencari-cari dua orang suheng dan sumoinya itu. Rumah itu nampak kosong karena keluarga wanita sibuk di belakang, di dapur, sedangkan Na-piauwsu sedang pergi ke luar kota untuk mengawal sendiri barang kiriman yang penting. Maka rumah itu kelihatan sunyi.

Sin Liong merasa heran mengapa suheng dan sumoinya itu tidak nampak. Padahal, tadi mereka masih kelihatan di ruangan depan. Dia tidak berani memanggil-manggil, karena takut menimbulkan bising dan mengganggu seorang bibi keluarga yang tidur di kamarnya karena bibi tua ini sedang tidak enak badan. Maka dia terus mencari dan akhirnya dia pergi mencari ke kamar Bi Cu.

Ketika dia tiba di luar kamar itu, dia mendengar sesuatu di dalam kamar. Dia mendekati pintu kamar dan mendengarkan.

“Jangan... suheng...” terdengar Bi Cu berkata lirih dan menahan tangis.

“Sumoi, kenapa kau tidak mau bersikap manis kepadaku? Kurang baik apakan aku kepadamu? Kurang banyakkah budi yang dilimpahkan oleh kami sekeluarga kepadamu?”

Terdengar Bi Cu terisak.
“Aku berterima kasih... uh-uhh... aku berterima kasih kepada kalian... tapi... tapi...”






“Aku tidak akan mengganggumu, aku tidak ingin menyakitimu, aku ingin engkau tahu bahwa aku suka sekali kepadamu, sumoi...”

Sin Liong tidak dapat menahan lagi ketegangan hatinya dan dia mendorong pintu kamar itu dengan keras. Dia melihat Tiong Pek memegangi kedua tangan Bi Cu dan hendak memaksa untuk merangkul dara cilik itu, sedangkan Bi Cu kelihatan menolak halus. Mereka bersitegang sampai Bi Cu jatuh berlutut di atas lantai dan Tiong Pek berusaha untuk mendekatkan mukanya, untuk mencium wajah yang manis akan tetapi agak pucat ketakutan itu.

“Tiong Pek!”

Sin Liong membentak dan mencengkeram baju pundak Tiong Pek sambil menariknya ke belakang.

Memang Sin Liong tidak pernah menyebut suheng dan sumoi kepada Tiong Pek dan Bi Cu, karena memang dia tidak dianggap sebagai murid oleh Na Ceng Han, sungguhpun dia dilatih ilmu silat dan dia selalu berlatih bersama dengan dua orang anak itu. Mereka bertiga itu seperti teman-teman baik, bukan seperti kakak beradik seperguruan.

Tiong Pek terkejut sekali dan menengok dengan alis berkerut. Dia melepaskan kedua lengan tangan Bi Cu yang tadi dipegangnya, lalu dia menggerakkan tangan kanannya menangkis ke belakang.

“Dukk!”

Tangan itu menyampok tangan Sin Liong yang mencengkeram baju pundaknya sehingga terlepas dan bajunya robek. Tiong Pek meloncat bangun dan berdiri dengan muka merah menandakan bahwa dia marah sekali. Akan tetapi Sin Liong juga sudah menentang pandang matanya dengan bengis.

“Sin Liong!” Tiong Pek berseru marah sekali. “Engkau berani lancang mencampuri urusan orang lain? Sungguh tidak tahu malu engkau hendak menghalangi cinta orang? Apakah engkau merasa iri hati?”

Diserang dengan kata-kata seperti itu, tiba-tiba saja muka Sin Liong menjadi merah dan dia menjadi bingung.

“Akan tetapi kau... kau...”

Sukar baginya untuk melanjutkan karena hatinya masih menilai-nilai apakah artinya perbuatan yang dilakukan Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi.

“Aku cinta kepada Bi Cu sumoi, kau mau apa? Aku siap untuk bertanding melawan siapapun juga untuk memperebutkan sumoi! Hayo, apakah kau ingin memperebutkan sumoi dengan aku?” Pemuda tanggung itu mengepal tinju dan siap untuk berkelahi!

Sin Liong menjadi semakin bingung. Kalau tadi dia bersikap kasar terhadap Tiong Pek adalah karena dia melihat seolah-olah Tiong Pek hendak melakukan pemaksaan terhadap Bi Cu, akan tetapi sekarang dia menjadi bingung ketika ditantang dan ditanya apakah dia hendak memperebutkan Bi Cu dengan pemuda itu!

“Ah, siapa yang akan memperebutkan siapa?” katanya masih bingung, akan tetapi dia dapat menekan dan menenangkan perasaannya, lalu memandang kepada Tiong Pek dengan sikap lebih tenang, sungguhpun kemarahannya belum mereda karena dia melihat Bi Cu kini berdiri dengan kepala menunduk dan masih kadang-kadang menahan isak. “Tiong Pek, Bi Cu bukanlah sebuah benda yang boleh diperebutkan siapapun juga. Dalam hal rasa suka... hal itu Bi Cu berhak menentukan sendiri, jangan kau memaksa-maksanya seperti itu.”

“Bi Cu juga cinta kepadaku! Kau mau apa?”

Tiong Pek yang masih marah itu menyerang lagi dengan kata-katanya yang penuh tantangan. Dia memang marah sekali karena merasa terganggu. Kalau Sin Liong tidak datang mengganggu, tentu dia sudah dapat mencium Bi Cu, hal yang sudah sering kali direnungkan dan diimpikan itu!

Mendengar ucapan ini, Sin Liong memandang kepada Bi Cu penuh keraguan. Benarkah itu? Kalau Bi Cu benar mencinta Tiong Pek, kenapa tadi bersikap seperti menentang? Dan apa gerangan yang hendak dilakukah oleh Tiong Pek terhadap Bi Cu tadi? Sin Liong sudah berusia empat belas tahun, atau hampir, akan tetapi dia belum tahu benar tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Melihat Bi Cu menunduk dan kini mukanya tidak sepucat tadi, bahkan menjadi agak kemerahan, dia lalu melangkah menghampiri.

“Bi Cu, apakah Tiong Pek... eh hendak berlaku jahat kepadamu?” Dia tidak tahu bagaimana harus menanyakan urusan tadi.

Bi Cu mengangkat muka dan ketika dia bertemu pandang dengan Sin Liong, dia cepat menunduk kembali, jari-jari tangannya bermain dengan ujung rambutnya yang panjang terurai, lalu kepalanya digelengkannya sebagai jawaban pertanyaan Sin Liong tadi.

“Dan kau... kau... cinta kepada Tiong Pek?”

Bi Cu menjadi merah sekali mukanya dan kepalanya makin menunduk. Sekali ini dia sama sekali tidak mau menjawab.

“Bagaimana, Bi Cu? Jawablah, apakah kau cinta kepada Tiong Pek?” Sin Liong mendesak.

Dara cilik itu mengangkat muka dengan gugup, memandang kepada Sin Liong sebentar, lalu memandang kepada Tiong Pek, dan menunduk kembali tanpa menjawab, hanya ada dua titik air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya yang merah.

Melihat ini, kembali timbul rasa kasihan di dalam hati Sin Liong dan teringatlah dia akan percakapan yang didengarnya tadi. Dia kembali menghadapi Tiong Pek dan berkata dengan alis berkerut,

“Tiong Pek, sungguh tidak patut sekali kalau engkau hendak menggunakan kekerasan. Apakah kau ingin menjadi penjahat hina? Aku tadi mendengar engkau membujuk dan melihat engkau menggunakan kekerasan. Engkau menonjolkan jasa-jasa dan budi keluargamu yang kau limpahkan kepada Bi Cu. Apakah itu kebaikan namanya kalau kau tonjolkan dan kalau engkau minta imbalan dari pertolongan yang kalian berikan kepada Bi Cu?”

“Sin Liong, kau ini siapa bermulut selancang ini?”

Tiong Pek marah sekali dan dia menerjang dengan pukulan ke arah mulut Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong cepat mengelak dan ketika Tiong Pek menerjang lagi, dia menangkis dan bersiap untuk melawan.

Akan tetapi, sambil menangis Bi Cu cepat melerai dengan meloncat di tengah-tengah antara mereka,

“Jangan berkelahi... ah, harap jangan berkelahi...!”

Tentu saja Sin Liong cepat meloncat mundur, dan Tiong Pek juga tidak mendesak setelah melihat Bi Cu menangis sambil melerai itu. Kedua orang pemuda tanggung itu kini memandang kepada Bi Cu yang menangis sesenggukan di tengah-tengah antara mereka, menutupi muka dengan kedua tangannya. Mereka berdua menjadi bingung.

“Sumoi, jangan menangis, sumoi. Maafkan kalau aku bersalah...” akhirnya terdengar Tiong Pek berkata halus. “Aku tadi hanya ingin menciummu... jahatkah perbuatan itu... padahal aku hanya ingin membuktikan cintaku...?”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Sin Liong menjadi jengah dan juga terheran-heran bagaimana Tiong Pek berani bicara terang-terangan seperti itu!

Bi Cu menahan isaknya dan tangisnya agar mereda, kemudian terdengar kata-katanya lirih di antara isaknya,

“Aku tidak tahu... aku tidak tahu apa itu cinta! Aku... aku suka kepada suheng karena suheng baik sekali, dan seluruh keluarga suheng baik kepadaku, menganggap aku seperti keluarga sendiri. Aku berhutang budi besar sekali kepada suheng sekeluarga, akan tetapi... aku tidak tahu tentang cinta, dan aku tidak tahu... jahat atau tidak di... dicium, akan tetapi aku takut sekali...”

Diam-diam Sin Liong tersenyum. Biarpun usia mereka berdua ini sebaya dengan dia, Bi Cu berusia dua belas tahun dan Tiong Pek empat belas tahun, namun mereka berdua ini seperti anak-anak yang masih kecil saja! Anak-anak kecil yang ingin memasuki permainan orang-orang dewasa!

“Tiong Pek, kalau engkau tahu bahwa Bi Cu takut, kenapa kau hendak memaksanya? Kalau engkau memang kasihan dan suka kepadanya, tidak mungkin engkau main paksa membikin dia takut dan menangis...”

Tiong Pek menarik napas panjang, kini dia melihat bahwa dia telah benar-benar membuat Bi Cu berduka, takut dan malu. Baru sekarang dia merasa seolah-olah sadar, setelah gairah aneh yang membuat seluruh tubuhnya panas, membuat dia ingin sekali mencium Bi Cu itu kini mendingin dan lenyap. Baru dia tahu bahwa dia memang bersalah.

“Maafkan aku, Bi Cu. Kau benar, Sin Liong, aku memang layak dipukul karena telah membikin sumoi ketakutan dan menangis. Sumoi, sekali lagi, kau maafkanlah aku.”

Bi Cu menghapus air matanya dan kini baru dia dapat memandang suhengnya itu dengan senyum yang mulai berkembang mengusir kedukaannya.

“Tidak mengapa, suheng, kita lupakan saja hal tadi.”

“Seorang yang dapat menyadari kesalahannya sendiri barulah patut disebut orang gagah, Tiong Pek,” kata Sin Liong.

“Ah, benarkah itu?” Tiong Pek berkata girang, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kenakalan.

“Akan tetapi jangan hal itu membuat engkau keenakan dan setiap kali ingin menjadi orang gagah lalu melakukan kesalahan lebih dulu untuk kemudian disadari!” sambung Sin Liong.

Tiong Pek tertawa, Bi Cu juga tertawa dan mereka berbaik kembali. Lenyaplah semua dendam dan kemarahan.

“Eh, kalau kalian berdua benar-benar sudah memaafkan aku, harus kalian buktikan!” tiba-tiba Tiong Pek berkata.

“Buktikan bagaimana?”

Sin Liong menuntut dan memandang tajam. Jangan-jangan bocah nakal ini minta bukti aneh-aneh, seperti cium dari Bi Cu misalnya! Kalau begitu dia tentu tidak akan ragu-ragu untuk menjotosnya!

“Buktinya adalah bahwa kalian tidak akan mengatakan sesuatu tentang urusan tadi kepada ayah.”

“Kau tahu bahwa aku tidak akan berkata apa-apa kepada paman, suheng,” kata Bi Cu cepat.

“Akan tetapi aku hanya mau berjanji tidak akan menyampaikan kepada paman Na asal engkaupun berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sesat tadi!” kata Sin Liong.

“Sesat? Ah, memang salah akan tetapi jangan namakan itu sesat, Sin Liong. Baiklah, dengarkan kalian. Aku berjanji tidak akan mencoba untuk mencium Bi Cu kecuali kalau memang sumoi Bi Cu mau kucium!”

Tentu saja mendengar janji yang seperti itu, seketika wajah Bi Cu kembali menjadi merah sekali.

“Dasar engkau setan!”

Sin Liong menegur sambil tertawa dan Tiong Pek juga tertawa. Bi Cu terpaksa ikut pula tertawa dan ketiga orang anak itu lalu memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih sliat) dimana mereka berlatih silat dengan tekunnya.

**** 060 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: