***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 061

Wanita cantik itu melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara. Para penjaga di pintu gerbang itu cepat berdiri dengan sikap menghormat ketika wanita itu berjalan keluar dari pintu gerbang. Bahkan komandan jaga yang bertubuh tinggi besar itu memberi hormat dan berkata,

“Selamat jalan, lihiap!”

Wanita itu bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio. Semenjak terjadi peristiwa pemberontakan di dalam istana yang bermaksud membunuh pangeran mahkota dan kaisar dan usaha jahat itu digagalkan oleh Kim Hong Liu-nio dan Ceng Han Houw, wanita ini menjadi seorang tokoh yang terkenal di kota raja, terutama di lingkungan istana dan diantara para pengawal. Oleh karena itu, ketika dia keluar dari pintu gerbang, semua penjaga memberi hormat, bahkan komandan jaga menghaturkan selamat jalan.

Seperti kita ketahui, Kim Hong Liu-nio terpaksa berangkat pulang ke utara seorang diri saja, meninggalkan sutenya di istana karena Pangeran Mahkota Ceng Hwa, calon kaisar, atau juga saudara tiri dari Han Houw, menahan pemuda tanggung itu untuk tidak meninggalkan istana sampai hari penobatannya sebagai kaisar.

Maka Kim Hong Liu-nio pulang seorang diri untuk melaporkan semua peristiwa yang dialami oleh sutenya itu kepada Raja Sabutai dan Permaisuri Khamila, dan selain itu juga menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada Raja Sabutai untuk menghadiri hari penobatannya sebagai kaisar pengganti ayahnya.

Hati Kim Hong Liu-nio lega karena sutenya itu berada dalam keadaan aman, maka dia melakukan perjalanan cepat, tidak memperdulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran.

Siapa orangnya tidak akan terheran-heran melihat seorang wanita cantik berjalan sedemikian cepatnya seperti terbang saja? Sebentar saja dia sudah keluar dari pintu gerbang itu diikuti oleh pandang mata semua penjaga sampai bayangannya lenyap.

Akan tetapi ketika dia tiba di padang rumput di sebelah utara pintu gerbang utara kota raja itu, tiba-tiba dia memandang ke depan dengan alis berkerut karena jauh di depannya dia melihat banyak orang sudah berdiri menghadangnya dan dari jauh saja dapat dilihat pakaian mereka yang berkembang-kembang dan tangan mereka yang memegang tongkat dengan punggung memanggul buntalan-buntalan kuning. Orang-orang Hwa-i Kai-pang!

Dan setelah agak dekat Kim Hong Liu-nio melihat bahwa di antara mereka terdapat mereka yang memanggul buntalan sedikit saja. Ada dua orang yang memanggul tiga buah buntalan kuning, bahkan ada seorang yang memanggul dua buntalan, berarti bahwa diantara mereka itu ada dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga dan bahkan ada seorang tokoh tingkat dua!

Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar tegang. Dia maklum bahwa yang menghadangnya adalah tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tinggi! Dan selain tiga orang tokoh yang tinggi tingkatnya itu, dia melihat tokoh-tokoh tingkat empat dan lima yang jumlahnya ada tujuh belas orang!

Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio adalah murid terkasih dari Hek-hiat Mo-li, dan dia sama sekali tidak pernah mengenal arti takut. Dengan sikap tenang penuh kewaspadaan dia berjalan terus dengan cepat tanpa mengurangi pengerahan gin-kangnya dan sebentar saja dia sudah berhadapan dengan belasan orang yang sengaja menghadang memenuhi jalan itu.






Terpaksa Kim Hong Liu-nio berhenti dan memandang mereka dengan sinar mata mengejek, tidak memperdulikan pandang mata belasan orang itu yang ditujukan kepadanya dengan penuh kemarahan.

Yang menjadi perhatian Kim Hong Liu-nio adalah tiga orang kakek di depan itu, yaitu dua orang tokoh tingkat tiga dan seorang yang bertingkat dua, karena dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang bertingkat empat dan lima.

“Perlahan dulu, nona!” berkata pengemis baju kembang yang memanggul dua buah buntalan kuning di punggungnya.

Pengemis ini usianya tentu mendekati enam puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti cecak mati saking kurusnya sehingga tubuh yang tingginya biasa saja itu kelihatan jangkung. Pakaiannya sederhana, akan tetapi bersih dan berpakaian tambal-tambalan dari kain-kain berkembang dan berwarna itu nampak lucu karena banyak merahnya, mungkin menjadi tanda bahwa pemakainya memang mempunyai kesukaan akan warna merah.

“Hemm, kulihat kalian ini tentulah tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang,” jawab Kim Hong Liu-nio sambil mengerling ke arah tiga orang kakek pengemis yang pernah dikalahkannya tempo hari, yaitu mereka yang bertingkat lima. “Apakah kini orang-orang Hwa-i Kai-pang yang tersohor itu telah berubah menjadi segerombolan perampok yang suka menghadang orang lewat di jalan raya?”

Kakek kurus kering itu tersenyum lebar. Biarpun dia marah sekali, akan tetapi kakek ini dapat menguasai kemarahannya dan menghadapi wanita yang dia dengar amat lihai itu dengan tenang.

“Andaikata kami menjadi perampok sekalipun, kami tidak akan merampok nyawa orang yang tidak berdosa seperti yang telah kau lakukan kepada seorang pengemis she Tio di kota Huai-lai.”

Kim Hong Liu-nio sudah tahu mengapa para pengemis itu menghadangnya, maka dengan jujur dan penuh keberanian dia berkata,

“Memang aku telah membunuh pengemis she Tio itu.”

Mendengar jawaban yang berani itu, para pengemis kelihatan makin marah dan terdengar mereka mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi bising, akan tetapi Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Kenapa?” bentak tokoh kedua Hwa-i Kai-pang. Kakek ini berjuluk Lo-thian Sin-kai (Pengemis Sakti Pengacau Langit). “Setiap orang merasa kasihan kepada seorang pengemis yang hidup serba kekurangan, akan tetapi kenapa engkau membunuh pengemis tidak berdosa itu?”

“Karena dia she Tio! Baik dia pengemis maupun seorang raja, karena dia she Tio, maka berjumpa dengan aku dia harus mati! Dia yang she Tio atau yang she Cia dan yang she Yap!” kata Kim Hong Liu-nio dan dia sudah mengeluarkan papan kayu salib yang bertuliskan nama keluarga Tio, Yap, dan Cia itu.

“Apa?” Lo-thian Sin-kai terbelalak. “Kau hendak membunuh semua orang yang memiliki she seperti itu? Jadi engkau membunuh pengemis she Tio itu tanpa ada permusuhan pribadi sama sekali?”

“Kenalpun tidak aku kepadanya, hanya aku mendengar dia she Tio maka dia harus mati.”

“Iblis betina keji!”

Terdengar bentakan marah dan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat tiga yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahan mereka dan kini mereka berdua sudah menerjang maju, menggerakkan tongkat mereka dari kanan dan kiri menyerang Kim Hong Liu-nio. Yang memaki itu adalah kakek pengemis yang punggungnya agak bongkok.

“Hutang nyawa bayar nyawa!” bentak kakek pengemis ke dua yang mukanya hitam sekali, agaknya hitam karena bekas penyakit karena melihat leher dan tangannya, sebetulnya dia berkulit putih.

Kakek bongkok dan kakek muka hitam ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Yang punggungnya bongkok itu terkenal dengan julukannya Tiat-ciang Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Besi), sedangkan yang bermuka hitam berjuluk Hek-bin Mo-kai (Pengemis Iblis Muka Hitam).

Karena mereka berdua maklum dan mendengar dari tiga orang pengemis tingkat lima betapa lihainya wanita itu, maka mereka maju berbareng dan serentak telah menyerang dengan senjata tongkat mereka.

Melihat cara menyambarnya tongkat-tongkat itu maklumlah Kim Hong Liu-nio bahwa dia menghadapi lawan yang cukup tangguh dan cepat dia menggerakkan tubuhnya mengelak ke belakang. Dua sinar hitam dari tongkat itu menyambar dahsyat di dekat tubuhnya.

“Wuuut! Wuuutt!”

Ujung-ujung tongkat itu sebelum menyentuh tanah, telah ditahan oleh para pemegangnya dan kelihatan ujung tongkat itu menggetar hebat sampai mengeluarkan suara “wrrrrr!” saking kerasnya sambaran itu dan kini ditahan oleh dua orang kakek pengemis. Kemudian tongkat itu menyambar lagi dan Kim Hong Liu-nio sudah didesak dan dihujani serangan bertubi-tubi yang kesemuanya mengandung tenaga kuat sekali.

“Hemm, kalian mencari penyakit!” bentak wanita itu dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar merah yang panjang bergulung-gulung dan ternyata wanita ini dengan tenang namun cepat bukan main telah menggerakkan sabuk merahnya dan sambil mengelak dia telah balas menyerang!

“Wirrrr... syuuuuttt... plakk!”

Sabuk merah itu hebat bukan main, menyambar dahsyat menyilaukan mata dan hampir saja leher Hek-bin Mo-kai kena totok. Untung dia dapat menangkis dengan cepat dan kini tongkatnya terlibat ujung sabuk merah yang bergerak seperti ular itu. Selagi Hek-bin Mo-kai bersitegang untuk melepaskan tongkat dari libatan sabuk, Tiat-ciang Sin-kai sudah menghantamkan tongkatnya dari samping ke arah kepala wanita itu.

“Cringgg...!”

Tiat-ciang Sin-kai terkejut bukan main. Tongkatnya yang menghantam kepala itu ditangkis oleh lengan kecil halus yang bergelang kerincing. Anehnya lengan kecil dan gelang-gelang emas kecil itu tidak saja mampu menangkis tongkatnya, malah dia sendiri sampai terhuyung ke belakang saking kuatnya tangkisan itu! Dengan marah dia lalu mengatur keseimbangan tubuhnya dan menubruk lagi, kini tongkatnya menusuk ke arah lambung dari sebelah kanan wanita itu.

Pada saat itu, ujung sabuk merah masih melibat ujung tongkat di tangan Hek-bin Mo-kai dan agaknya Kim Hong Liu-nio tidak akan dapat menghindarkan diri dari tusukan tongkat kakek pengemis bongkok.

Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mengeluarkan bentakan nyaring dan bentakan ini disusul teriakan Hek-bin Mo-kai yang tidak dapat menguasai tongkatnya lagi. Tongkatnya yang terlibat itu terbetot sehingga dia tidak mampu mempertahankan ketika tongkatnya itu bergerak ke kiri.

“Takkkkk...!”

Keras sekali pertemuan antara tongkat Hek-bin Mo-kai itu yang menangkis tongkat Tiat-ciang Sin-kai yang menusuk tadi sehingga keduanya merasa betapa telapak tangan mereka nyeri dan senjata mereka itu hampir terlepas dari tangan. Keduanya memang memiliki tenaga yang seimbang dan tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga, yang seorang ingin menarik kembali tongkatnya sedangkan yang ke dua sedang menyerang.

“Wuuuttt...!”

Baru saja kedua tongkat itu bertemu tiba-tiba sinar merah menyambar dan tahu-tahu ujung sabuk telah melibat kedua batang tongkat itu dengan eratnya!

“Iblis jahat...!”

Tiat-ciang Sin-kai berseru marah dan dia menerjang maju dengan tangan kanannya, mengirim pukulan yang dahsyat. Kakek bongkok ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) maka tentu saja dia memiliki tangan gemblengan yang amat hebat, kuat seperti besi dan ketika dia melancarkan pukulan itu tangannya berubah agak kehitaman!

Akan tetapi, melihat datangya pukulan itu, Kim Hong Liu-nio sama sekali tidak mengelak, bahkan dia lalu mengangkat tangan kirinya menerima pukulan itu dengan tangkisan, gerakannya seenaknya saja seolah-olah dia tidak tahu bahwa pukulan itu adalah pukulan ampuh, bukan sembarang pukulan. Melihat ini, giranglah kakek pengemis bongkok itu. Remuk tulang tanganmu sekarang, pikirnya girang, dan dia mengerahkan seluruh tenaga Tiat-ciang-kang ke dalam tangannya itu.

“Desss...!”

Hebat sekali pertemuan ke dua tangan itu dan terdengar Tiat-ciang Sin-kai berteriak kesakitan dan tubunya terhuyung ke belakang, dia melepaskan tongkatnya yang masih terlibat menjadi satu dengan tongkat Hek-bin Mo-kai dan pada saat yang sama, Kim Hong Liu-nio membetot sabuknya dengan kuat dan ketika Hek-bin Mo-kai mempertahankan, tiba-tiba dia melepaskan libatan sabuknya sehingga si muka hitam inipun terhuyung seperti temannya!

Tiat-ciang Sin-kai menyeringai karena tangan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti patah-patah rasa tulang-tulang tangannya. Dia tidak tahu bahwa wanita cantik yang tadi telah melindungi tangannya yang kecil berkulit halus itu dengan sarung tangannya yang istimewa, yaitu sarung tangan halus dengan warna sama dengan kulitnya. Sarung tangan ini dapat dipakai untuk menyambut senjata tajam, apalagi hanya pukulan tangan kosong, biarpun tangan itu sama kerasnya dengan besi!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: