***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 064

“Jangan...! Lee-ciangkun, jangan...!”

Katanya dan tiba-tiba wanita itu terisak! Sungguh luar biasa sekali. Semenjak menjadi murid Hek-hiat Mo-li, belum pernah Kim Hong Liu-nio menangis, dan agaknya merupakan pantangan bagi wanita dingin dan ganas itu untuk menangis, menangis terisak-isak seperti seorang perawan di malam pengantin!

“Maafkan aku, Liu-nio. Kenapakah? Bukankah kita sudah saling mencinta dan besok pagi-pagi akan kuumumkan tentang pertunangan kita, dan kita boleh cepat-cepat mengatur hari pernikahan kita. Ah, Liu-nio, kekasihku, aku menghendaki bukti dari cinta kita, aku tidak ingin gagal...”

Kembali panglima itu memeluk dengan penuh kemesraan, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menolak dengan halus.

“Ciangkun, kalau kau kasihan kepadaku, jangan...!” rintihnya.

Lee Siang memegang kedua pundak wanita itu, memaksanya menghadapinya dan mereka kini saling memandang, wanita itu masih terisak dan menggunakan saputangan di tangan kiri untuk menutupi mulut dan hidungnya, akan tetapi matanya yang basah kemerahan itu menentang wajah Lee Siang penuh permohonan.

“Kim Hong Liu-nio, katakanlah, engkau tadi telah menerima cintaku, bukankah itu berarti bahwa bukan aku saja yang cinta kepadamu, akan tetapi engkau juga cinta kepadaku, bukan?”

Wanita itu mengangguk dengan gerakan kepala tegas.

“Nah, lalu mengapa pula engkau menolak pencurahan cintaku? Liu-nio, lihatlah baik-baik. Aku bukanlah seorang muda lagi. Usiaku sudah empat puluh tahun dan aku sudah menjadi duda! Dan engkau sendiri, sungguhpun engkau kelihatan seperti seorang dara remaja, akan tetapi aku dapat menduga, bahwa engkaupun bukanlah seorang dara ingusan! Maka apa salahnya perbuatan kita ini kalau kita lakukan dengan dasar cinta dan suka sama suka, apalagi setelah kita besok akan bertunangan dan disusul dengan pernikahan? Liu-nio kekasihku, setelah kita saling cinta, apakah engkau masih tidak percaya kepadaku? Kalau aku berlaku curang dalam hubungan kita ini, apa sukarnya engkau dengan kepandaianmu yang tinggi itu membunuhku setiap waktu? Sayang marilah...”

Dan dia sudah merangkul lagi dan menciumi bibir wanita itu. Karena gelora nafsunya sendiri, untuk beberapa lamanya Kim Hong Liu-nio tidak menolak, bukan hanya menyerah, bahkan secara halus diapun menunjukkan perasaannya terhadap panglima itu dengan gerakan bibirnya yang membalas ciuman. Akan tetapi kembali dia menolak ketika panglima itu hendak bertindak lebih jauh.

“Lee-ciangkun, sabarlah dulu dan dengarkan baik-baik kata-kataku. Kalau sekarang aku menyerahkan diri kepadamu, kalau aku menuruti permintaanmu, sekali saja, berarti kau tidak akan melihat aku lagi, ciangkun, berarti aku akan mati...”

“Ehhh...!” Lee Siang terkejut bukan main sehingga tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan bangkit berdiri, memandang wanita cantik yang masih duduk di atas pembaringan dengan rambut dan pakaian kusut itu. “Apa... apa maksudmu...?”

Wajah panglima ini berubah pucat dan pandang matanya gelisah sekali. Ucapan kekasihnya itu benar-benar mengejutkan dan membuatnya cemas sekali.

“Ketahuilah, ciangkun,” kata wanita itu setelah menghapus air matanya dan dia menjadi tenang kembali. “Biarpun usiaku sekarang telah tiga puluh lima tahun, akan tetapi sesungguhnya aku masih seorang... perawan yang belum pernah dijamah seorang pria. Selama hidupku baru sekaranglah aku jatuh cinta kepada seorang pria. Dan kau lihatlah ini, apa yang terdapat di daguku ini?”






Mendengar bahwa wanita ini masih seorang perawan, biarpun begitu cantik jelita dan usianya sudah tiga puluh lima tahun, bahkan baru sekarang jatuh cinta, Lee Siang merasa bangga sekali dan dia mengelus dagu itu.

“Aku melihat sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat yang membuat engkau kelihatan lebih manis, sayang!”

“Akan tetapi titik itu adalah titik tanda maut bagiku, ciangkun!”

“Eh?” Seperti meraba api, tangan yang menjamah dagu itu cepat ditarik kembali. “Kenapa begitu?”

“Ketahuilah, titik ini adalah titik tanda keperawananku dan begitu aku menyerahkan diri kepada seorang pria, titik ini akan lenyap dan akupun akan mati di tangan subo atau di tangan suheng. Aku sudah bersumpah demikian, oleh karena itulah maka betapapun aku... aku juga cinta padamu, namun aku tetap tidak dapat menyerahkan diri kepadamu sebelum terpenuhi sumpahku. Kalau sekali saja kulanggar, biarpun aku bersembunyi di seberang lautan sekalipun, aku tidak akan mampu lolos dari tangan maut subo atau suheng.”

“Ah, sungguh penasaran sekali!” Lee Siang menepuk kepalanya sendiri dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu. “Penasaran sekali! Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Mana ada subo dan suheng sekejam itu?”

“Kau tunggu sebentar, ciangkun, akan kuambilkan barang buktinya dan kau akan mendengarnya nanti.”

Wanita itu cepat keluar dari kamar, mengambil buntalannya yang tadi ditaruh di ruangan dimana mereka makan, kemudian dengan cepat dia sudah kembali ke dalam kamar dimana Lee Siang masih kelihatan penasaran sekali. Kim Hong Liu-nio mengambil kayu papan berbentuk salib itu dan memperlihatkannya kepada Lee Siang.

“Inilah yang menjadi sumpahku.”

Lee Siang menerima kayu papan salib itu dan membaca tiga huruf Cia, Tio, dan Yap, dan melihat banyak coretan-coretan di bawah tiga huruf itu. Dia membalik-balikkan salib itu lalu memandang tidak mengerti.

“Apa artinya ini?”

Kim Hong Liu-nio menarik napas panjang dan dia lalu duduk di tepi pembaringan, bersanding dengan Lee Siang dan untuk menguatkan hatinya, dia memegang tangan panglima itu. Mereka duduk berdekatan dan saling berpegang tangan, kemudian wanita itu mulai bercerita.

“Belasan tahun yang lalu, aku adalah seorang dayang di istana Raja Sabutai, dan ketika subo dari Sri Baginda Raja Sabutai terluka dan sakit parah setelah bertanding dengan musuh-musuhnya, aku ditugaskan untuk merawat nenek itu. Agaknya nenek itu suka kepadaku maka aku lalu diambil murid. Aku tentu senang sekali karena nenek itu adalah seorang yang sakti dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, apalagi dengan menjadi muridnya berarti aku juga menjadi sumoi dari Sri Baginda Raja Sabutai sendiri.”

“Siapakah nama subomu itu?”

“Namanya Hek-hiat Mo-li...”

“Ahh...! Sudah kudengar nama itu, pernah menggemparkan ketika terjadi peristiwa penawanan kaisar dahulu. Jadi engkau adalah sumoi dari Raja Sabutai sendiri? Hebat!”

“Tidak hebat, ciangkun, karena untuk menjadi murid subo aku harus bersumpah dan sumpah itulah yang kini mengikatku, yang membuat aku terpaksa menolak keinginanmu, bahkan menekan gelora hatiku sendiri.”

Lee Siang merangkul pundaknya dan mencium pipinya.
“Aku akan memakluminya, moi-moi, cintaku kepadamu melarang aku untuk membikin susah padamu. Lanjutkan ceritamu, apakah sumpah itu?”

“Aku bersumpah bahwa aku tidak akan menikah sebelum aku membunuh tiga orang musuh dari subo dan membunuh orang-orang yang mempunyai tiga she itu. Setelah aku berhasil membunuh tiga orang musuh besar subo itu barulah aku diperbolehkan menikah. Dan titik hitam di daguku ini adalah buatan subo, sebagai tanda keperawananku. Sekali saja aku menyerahkan diriku kepada seorang pria maka tanda ini hilang dan subo tentu akan membunuhku, bahkan kalau subo sudah tidak ada, suhengku, Raja Sabutai yang telah diserahi tugas mewakili subo dan membunuhku.”

Lee Siang mengangguk-angguk.
“Pantas... pantas engkau memaksa diri menolakku tadi, moi-moi. Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau. Akan tetapi, siapakah musuh-musuh dari subomu itu? Siapa tahu barangkali aku dapat membantumu sehingga pelaksanaan sumpahmu itu dapat segera terpenuhi.”

“Mereka adalah Cia Bun Houw, Yap Kun Liong dan Tio Sun.”

Seketika wajah panglima itu menjadi pucat.
“Ahhh...?” Dia memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak.

“Kau mengenal mereka?”

“Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama pendekar-pendekar sakti itu? Cia-taihiap dan Yap-taihiap amat terkenal, tidak ada seorangpun tidak pernah mendengar nama mereka, sedangkan Tio Sun kalau tidak salah, bukankah dia itu putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas panglima pengawal di istana?”

Kim Hong Liu-nio mengangguk.
“Tahukah engkau dimana mereka tinggal?”

“Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada dimana, akan tetapi aku tahu dimana tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau dapat melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap? Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, subomu itu sendiri, tidak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!”

Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang.
“Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun.”

“Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun?”

Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin ketika membicarakan musuh-musuhnya, kini tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja,

“Koko yang baik, kau bantulah aku. Dimana mereka tinggal? Kalau aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita...”

Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.

“Dimana adanya Cia-taihiap tidak ada yang tahu, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dan keluarganya pindah ke kota raja.”

“Disini?” Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. “Bagus sekali, dimana? Biar aku ke sana sekarang juga.”

“Jangan tergesa-gesa...!”

“Mengapa tidak? Biar berkurang satu tiga orang musuh besar subo itu, tinggal mencari yang dua lagi.”

“Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya memiliki kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya?”

Kim Hong Liu-nio mengangguk.

“Tapi, jangan sekarang. Biar malam ini kau beristirahat disini, besok saja kau pergi mencari dia.” Lee Siang tetap menahannya. “Moi-moi, kalau kau pergi aku khawatir sekali...”

Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau dan surat ke dalam kamar kembali.

“Dari... dari mana pisau itu?” tanya Lee Siang.

“Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya,” jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang.

Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.

“Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!”

“Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sin-kang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh.”

Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah rumahnya ada yang berani ganggu, maka dia lalu berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.

Tak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran.

“Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikitpun juga. Eh, surat apakah itu?”

Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu.

Kim Hong Liu-nio,
Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat.

Hwa-i Kai-pangcu


“Ahhh...! Sungguh berani dia!” Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. “Akan kukerahkan pasukan untuk...”

“Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu? Sungguh mencemarkan namaku kalau begitu, koko.”

“Habis, bagaimana?”

“Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!”

“Kau kira siapa dia itu? Ketua kai-pang itu amat lihai!”

“Aku tidak takut.”

Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri.
“Ah? Kenapa tidak? Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus, kita adu domba mereka dan engkau akan dapat melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan.” Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya.

“Nanti dulu, koko.” Kim Hong Liu-nio mengelak. “Katakan dulu apa maksudmu?”

“Begini, moi-moi,” panglima itu menuntun kekasihnya dan mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. “Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, disitu kau turun tangan membunuh musuh subomu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kai-pang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat?”

Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk.
“Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko.”

Demikianlah, semalam suntuk dua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini seperti pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu. Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta.

Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, karena cengkeraman nafsunya, kini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya!

Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau memperdulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu?

**** 064 ****

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: