***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 065

Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja.

Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang lihai sekali. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya.

Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang mengantuk selalu, akan tetapi dari balik mata sipit itu bersinar pandang mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.

Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi dan ayahnya seorang asing, yaitu seorang berbangsa Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.

Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.

Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya, sedangkan dia sendiri sudah sebatangkara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai dimana ayah mertuanya tinggal dan di situ dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng.

Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun setelah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu makin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini amat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah.

Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya itu untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu.

Demikianlah, tanpa banyak ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai.

Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tidak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian.






Segala sesuatu berjalan lancar dan keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapapun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja.

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu saja biarpun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguhpun pendekar ini tidak diganggu karena dia telah menjadi seorang pedagang.

Baru tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu memperkenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!

Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk berhadapan, Lee Siang lalu berkata,

“Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukan sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap.”

Tio Sun merasa seperti pernah mengenal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga Panglima Kim-i-kwi dari istana.

“Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun.”

“Nama saya Lee Siang...”

“Ah, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin?”

“Lee Cin adalah kakak saya.”

“Ahh...!” Tio Sun tersenyum girang. “Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apakah yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini?”

“Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya.”

Tio Sun tersenyum tenang, menganggap omongan itu seperti kelakar saja.
“Aih, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun adalah seorang Panglima Kim-i-wi siapakah yang berani main-main dengan ciangkun? Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat?”

Lee Siang menarik napas panjang.
“Itulah susahnya, taihiap. Karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena kalau hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang hendak minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi.”

Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata,

“Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu? Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya.”

“Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, dan apalagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang bersama seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan?”

Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara? Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya (baca cerita Si Dewi Maut).

Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, malah bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu telah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya.

“Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun.”

Lee Siang menarik napas panjang. Mudah bicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian.

“Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio telah salah faham dengan Hwa-i Kai-pang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kai-pang kalah. Akan tetapi, fihak Hwa-i Kai-pang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... eh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kai-pang.”

Tio Sun mengangguk-angguk. Panglima ini biarpun usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita.

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun?”

“Beberapa hari yang lalu, kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya.” Lee Siang mengeluarkan sehelai surat itu dan menyerahkannya kepada Tio Sun.

Pendekar itu dengan tenang membacanya. Itu adalah surat tantangan yang ditulis oleh Hwa-i Kai-pangcu dan ditujukan kepada Kim Hong Liu-nio itu. Setelah membaca surat tantangan itu dan maklum bahwa malam nanti adalah malam ke empat yang dimaksudkan itu, Tio Sun mengerutkan alisnya dan memandang wajah panglima itu dengan tajam menyelidik.

“Saya masih belum mengerti apa hubungannya surat tantangan itu dengan saya, Lee-ciangkun.”

“Saya gelisah sekali, taihiap. Saya tidak ingin dia... dia yang saya harapkan menjadi isteri saya... melakukan sesuatu yang menggegerkan kota raja. Dan terutama sekali saya khawatir kalau dia celaka, karena saya mendengar bahwa ketua Hwa-i Kai-pang adalah seorang yang amat lihai.”

“Ciangkun, saya sudah mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio, pengawal pangeran dari utara itu berkepandaian tinggi apalagi yang perlu dikhawatirkan?”

“Saya takut kalau-kalau dia celaka dalam pertemuan itu, dan andaikata dia menang dan ketua Hwa-i Kai-pang yang tewas, juga tentu hal itu menimbulkan geger. Maka saya telah mencegah dia pergi keluar kota raja, dan saya lalu teringat kepadamu dan tergesa-gesa saya mohon pertolonganmu, taihiap.”

“Hemm, apakah yang dapat saya lakukan dalam urusan permusuhan pribadi ini?” tanya Tio Sun.

Tentu saja dia tidak dapat membantu satu fihak karena dia tidak tahu urusannya. Dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh sekali, dan belum pernah terdengar melakukan kejahatan-kejahatan di kota raja, sungguhpun di kalangan kang-ouw juga tidak mempunyai nama yang harum. Sebaliknya, dia tidak kenal sama sekali kepada wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio itu, dan kalau hanya karena wanita itu adalah kekasih Lee Siang lalu dia membantu wanita itu, sungguh hal ini sama sekali tidak mungkin.

“Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan ketua Hwa-i Kai-pang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apalagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang tak berarti itu.”

Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Tiba-tiba dia tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak berkeberatan, akan tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang menimbulkan permusuhan itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: