***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 066

“Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang?”

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak terkejut juga. Akan tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu diapun sudah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata,

“Aahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka bertemu dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio lalu mengusirnya. Akan tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka.

Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban. Pengemis itu roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio lalu mengajak sang pangeran cepat-cepat ke kota raja, mengira bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi karena pengemis itu tidak memakai pakaian sebagai anggauta Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang mengejar dan membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah lagi pertempuran dan tiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat tantangan itu.”

Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semua didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dan isterinya, biarpun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.

Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata,
“Bagaimana, taihiap? Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami.”

“Lee-ciangkun, sebenarnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi kalau hanya menjadi orang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kai-pang itu, tidak mau didamaikan?”

“Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ketika dikeroyok. Saya tidak mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi saya dengan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak.”

Tio Sun tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, ciangkun.”

Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera membalasnya.

“Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap setelah lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya) sekalipun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya malu...”






“Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun.”

Panglima itu lalu berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lalu memondong puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya mengomel,

“Ih, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!”

“Ah, Pek Lian tidak manja, ya? Ayah menggendong karena sayang, bukan memanjakan!”

Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya.
“Aku tidak minta dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh?”

Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia bertanya,

“Siapa sih orang tadi? Kulihat dia bukan seorang pedagang langganan atau kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!”

“Oh, dia? Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kwi-i-wi Lee Cin. Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin?”

“Ah, Panglima? Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi kita?”

Kwi Eng bertanya dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara demikian serius?

Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata,

“Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kai-pang dan minta kepadaku untuk mendamaikan urusan itu.”

“Ketua Hwa-i Kai-pang? Ihh, perkumpulan itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan apakah yang perlu kau damaikan itu?”

Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus, dan tidak ada gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu betapa ketua Hwa-i Kai-pang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang telah menolong seorang musuh Hwa-i Kai-pang ketika para pengemis di luar pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-pang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang penengah.

“Mengapa justeru kau yang dimintainya tolong? Bukankah dia itu panglima dan banyak mengenal orang pandai di sini?”

“Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Kukira tidak ada jahatnya kalau hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan kecil ini tidak perlu kau khawatirkan.” hatinya lega karena isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang keladi urusan itu.

Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.

Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu telah menanti di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya sengaja dikosongkan, dan disitu hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku untuk mereka berdua.

Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makam malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak.

“Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!” kata panglima itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.

Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur,
”Tenanglah, ciangkun, mengapa gelisah? Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan? Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini?”

“Saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir agar percakapan kita nanti tidak sampai terdengar orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan kekerasan. Akan tetapi taihiap berjanji akan melindungi saya, bukan?”

Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, lalu meminumnya.

“Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tidak akan menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... eh, mana dia wanita pengawal dari utara itu? Bukankah dia yang dicari?”

“Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Kalau melihat dia, salah-salah urusan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dulu dua orang yang saling marah dan mendendam, bukan?”

Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang kelihatan selalu gelisah itu lalu hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan dahulu, di waktu Tio Sun masih terjun di dunia kang-ouw, bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain.

Secara cerdik dan sepintas lalu seolah-olah tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu. Mula-mula dia menanyakan tentang pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dia dengan hati-hati menanyakan dimana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong!

“Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang Cia-taihiap, entah dia berada dimana. Semenjak kembali dari utara, dia menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada dimana.”

Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapat keterangan dimana adanya Yap Kun Liong, seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh kekasihnya! Dan pada saat itu, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya sambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca inderanya ditujukan ke atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam daripada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar.

Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio Sun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang gagah berani, juga seorang Panglima Kim-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya! Dan pada saat itu, terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara!

Akan tetapi Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khi-kang, dengan tenaga sakti di dalam pusar telah mendorong keluar suara menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biarpun hanya diucapkan dengan lirih!

“Kim Hong Liu-nio, keluarlah dan jangan bersembunyi di balik perlindungan seorang panglima!”

Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan ada nada mengejek di dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama! Akan tetapi dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai dan menengahi, kalau mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa.

TIBA-TIBA terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa ketegangan dan kegelisahannya yang tadi,

“Apakah yang datang itu adalah Hwa-i Kai-pangcu?” Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang berada di atas.

Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh kewibawaan,
“Kami adalah ketua Hwa-i Kai-pang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!”

Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata nyaring.

“Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini! Marilah kita bicara!”

Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan galak, bahkan seperti orang menantang sehingga Tio Sun kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang panglima itu kelihatan begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya datang dan telah mendemonstrasikan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu diri!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: