***

***

Ads

Senin, 27 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 069

Perkumpulan Hwa-i Kai-pang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggautanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kai-pang.

Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari di kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggauta yang tersebar luas itu. Tentu saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kai-pang yang bertingkat yaitu yang bertingkat lima ke atas.

Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dengan Kim Hong Liu-nio yang berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi, maka para tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka mereka mulai melakukan penjagaan dan mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan.

Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw.

Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan orang muda itu sebagai musuh. Dia menyesal mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Dan dia juga merasa heran mangapa orang muda yang segagah itu demikian mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan pukulan Ta-houw-sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum mengenai tubuh lawan!

Betapapun juga, ketua Hwa-i Kai-pang ini tidak merasa bersalah! Kalau putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu adalah karena salahnya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kai-pang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio? Dia sebagai ketua Hwa-i Kai-pang hanya mempunyal permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggauta pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun!

Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kai-pang tidak akan berdaya banyak, dan adalah berbahaya kalau sampai Hwa-i Kai-pang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah.

Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kai-pang memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi. Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kai-pang.

Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang diam-diam melakukan penjagaan, mengikuti gerak-gerik dua orang ini dengan penuh perhatian.






Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan juga mencurigakan. Hanya pakaian dan gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi selain perbedaan kelamin ini, wajah kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang agak kebiruan!

Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama dan adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kai-pang!

Tidaklah sukar bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh geram kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kai-pang!

Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka akan kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, kakek pengemis kurus tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum kedua orang muda ini tiba di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata.

“Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kai-pang minta dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini.”

Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang, lalu Kwi Beng yang berkata kepada kakek pengemis yang dia tahu adalah tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu, melihat dari buntalan di atas punggungnya. Lalu Kwi Beng yang mewakili adiknya menjawab,

“Memang kami berdua hendak memasuki sarang Hwa-i Kai-pang, mengapa harus mengambil jalan lain?”

Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima sampai tingkat tiga, ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biarpun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Ahh, begitukah?”

Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya memandang penuh selidik. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apalagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang dipergunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka adalah pakaian orang berkabung!

“Siapakah kalian berdua? Dan ada keperluan apakah kalian memasuki sarang Hwa-i Kai-pang?”

Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu.
“Kami melihat bahwa engkau adalah seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kai-pang. Ketahuilah bahwa kami datang bukan untuk berurusan dengan Hwa-i Kai-pang, melainkan dengan pangcu dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kai-pangcu!”

Lo-thian Sin-kai memandang tajam dan menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang kembar ini!

“Siapakah kalian berdua? Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami?”

“Tidak akan kuberitahukan kepada siapapun, kecuali ketua Hwa-i Kai-pang si jahanam keparat!” Tiba-tiba Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak dengan marah sekali.

“Ahh...!” Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul. “Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio...?”

“Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti? Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, harus membayarnya sekarang juga!” Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan. “Dan kalau pangcu kalian terlalu pengecut untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya sampai dapat!”

“Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kai-pang tidak mencampuri karena urusan ini adalah urusan pribadi!” sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.

“Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!”

Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kai-pang sendiri.

Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini dan melihat betapa semua tokoh Hwa-i Kai-pang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. Maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek ini adalah Hwa-i Kai-pangcu, musuh besarnya yang telah membunuh suaminya. Tak terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang memandang dengan penuh dendam dan kebencian.

“Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun?” Kwi Eng bertanya, suara menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.

Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kai-pang dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu nyawa dengan dia!

“Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin?” tanyanya dengan suara halus.

“Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kau bunuh tanpa dosa itu. Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!”

“Dan orang muda ini siapa?”

“Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan akupun menyediakan selembar nyawaku untuk membalas dendam ini!”

“Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas? Karena dia membantu Panglima Lee Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami. Dan sesungguhnya, aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap dapat tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!”

Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang hati kalau sudah diracuni dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apapun yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu salah!

“Keparat keji, tua bangka sombong!”

Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya.

“Ah, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir panjang!” ketua Hwa-i Kai-pang itu berkata penuh sesal sambil menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang.

Dia sudah kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam suatu pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu dan kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok maka dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat!

Dua orang kakak beradik kembar itu adalah putera-puteri dari pendekar wanita sakti Souw Li Hwa, akan tetapi mereka berdua itu tidak memiliki bakat yang terlalu baik sehingga kepandaian silatnya tidak menonjol. Sedangkan mendiang Tio Sun saja yang lebih lihai dari isterinya dan adik iparnya masih belum mampu menandingi kakek yang amat lihai ini, apalagi kakak beradik kembar itu! Maka dalam dua puluh jurus lebih saja, pedang mereka telah dibikin terpental oleh kakek sakti itu yang masih merasa segan dan tidak tega untuk membunuh mereka!

Melihat kelihaian kakek itu dan karena pedangnya sudah terpental, dua orang kakak beradik ini maklum bahwa lawan mereka terlalu tangguh, maka sambil berteriak nyaring Kwi Eng lalu mengeluarkan hui-to (pisau terbang) yang menjadi kepandaiannya yang istimewa, dan berkelebatanlah hui-to yang dilepasnya, beterbangan cepat menyambar ke arah tubuh ketua Hwa-i Kai-pang. Melihat ini, Kwi Beng tidak mau tinggal diam dan diapun lalu melepaskan pisau-pisau terbangnya.

“Hemmm...!”

Hwa-i Sin-kai berseru keras dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga tongkat itu berbentuk sinar yang bergulung-gulung sehingga merupakan benteng sinar yang melindungi tubuhnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau terbang itu terlempar ke kanan kiri dan kesemuanya runtuh oleh tangkisan sinar tongkat itu. Sampai habis seluruh pisau-pisau di kantung kedua orang kakak beradik itu, namun tidak ada sebatang pisaupun yang mengenai sasaran.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: