***

***

Ads

Rabu, 01 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 073

Akan tetapi, setelah bertanding selama hampir tiga puluh jurus kakek itu menjadi terheran-heran dan kaget setengah mati melihat betapa gadis itu benar-benar luar biasa sekali!

Gin-kang dari gadis itu membuat tubuh si gadis ini seperti dapat menghilang saja, bahkan dapat berkelebatan di antara sinar-sinar tongkatnya yang telah mengurung rapat. Dan lebih hebat lagi, gadis itu berani dan kuat menangkis pukulan Ta-houw-sin-ciang! Bukan hanya berani dan kuat, bahkan dapat membuat dia merasakan hawa panas yang luar biasa menyerang lengannya. Padahal seingatnya, belum pernah ada tokoh persilatan yang dapat menghadapi Ta-houw-sin-ciang seperti ini!

Diam-diam kakek ini menjadi bingung dan khawatir karena tidak pernah mengira bahwa di dunia persilatan akan muncul seorang gadis yang begini lihai bersama adiknya atau sutenya yang juga lihai bukan main! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh seorang gadis muda seperti ini. Kekalahan itu tentu akan menghancurkan nama besarnya.

Biarpun dia dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun dibandingkan dengan sucinya, Lie Seng menghadapi lawan yang lebih lunak. Dengan enaknya pemuda ini menghadapi serbuan-serbuan itu seperti seekor kucing mempermainkan tiga ekor tikus. Dia hanya kadang-kadang mendorong dan membuat tiga orang pengeroyoknya terhuyung atau terpelanting, tanpa menjatuhkan tangan keras untuk melukai mereka, apalagi membunuh mereka.

Akan tetapi, begitu dia melihat sucinya sudah bertanding melawan ketua Hwa-i Kai-pang dan mendapat kenyataan betapa kakek itu amat lihai, Lie Seng ingin berjaga-jaga dan kalau perlu melindungi sucinya, maka dia lalu berseru keras, dan gerakannya berubah menjadi cepat bukan main.

Pada saat itu, dia baru saja menghindar dari sambaran tongkat Lo-thian Sin-kai yang jauh lebih lihai daripada dua orang kakek pengemis yang lain. Begitu tongkat itu luput, kakek tingkat dua ini sudah menghantam dengan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang dahsyat. Akan tetapi Lie Seng yang ingin cepat menyelesaikan pertempuran itu tidak lagi mengelak, melainkan menggerakkan tangannya, dengan sengaja dia memapaki hantaman itu dengan sambutan tangan kanannya.

“Plakkk...!”

Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lo-thian Sin-kai terguling dan kakek ini roboh lemas, tidak dapat bangkit kembali karena tubuhnya terasa lumpuh semua.

Dua orang kakek tingkat tiga yang melihat ini menjadi terkejut dan menubruk dari kanan kiri, namun Lie Seng memapaki mereka dengan tamparan-tamparan yang ampuh sehingga dua orang inipun terpelanting dan tidak mampu bangun kembali karena sekali ini Lie Seng mempergunakan tenaga yang agak besar sehingga mereka yang kena ditampar itu roboh pingsan!

Biarpun tubuhnya seperti lumpuh, Lo-thian Sin-kai masih dapat berseru kepada para pengemis lainnya,

“Maju semua! Keroyok dia...!”

Dan bergeraklah semua anggauta Hwa-i Kai-pang maju menyerbu dan mengeroyok Lie Seng!

“Hemm, kalian benar-benar jahat!”






Lie Seng berseru dan pemuda ini lalu mengamuk, merobohkan para pengeroyok dengan tamparan tangan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng juga tidak mau tinggal diam, mereka ini lalu mengamuk pula, tidak memperdulikan tubuh mereka yang sudah sakit-sakit karena dihajar oleh ketua Hwa-i Kai-pang tadi. Kini mereka dapat melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka kepada anggauta kai-pang itu, bertempur bahu-membahu dengan Lie Seng yang gagah perkasa.

Sementara itu, pertempuran antara Mei Lan dan Hwa-i Sin-kai juga makin hebat. Melihat betapa sutenya dan dua orang saudara kembar itu dikeroyok oleh para anggauta Hwa-i Kai-pang, Mei Lan berkata mengejek,

“Jembel-jembel busuk benar-benar tak malu!”

Dan diapun lalu menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan lenyaplah bentuk tubuh dara ini, berubah menjadi bayangan yang banyak dan yang mengeluarkan angin menyambar-nyambar ke arah kakek ketua kai-pang itu. Inilah Pat-hong Sin-kun, ilmu silat tangan kosong yang amat sakti dari mendiang Bun Hoat Tosu!

Hwa-i Sin-kai terkejut bukan main, mengenal ilmu silat yang amat tinggi dan biarpun dia sudah memutar tongkatnya dengan cepat dan kuat, tetap saja angin menyambar ke arah lehernya dan dia cepat miringkan tubuhnya.

“Brettt...!” angin itu masih menyambar leher bajunya yang menjadi robek seketika!

“Uhhh...!”

Kakek itu meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran, akan terjadi pertempuran adu nyawa dengan dara yang ternyata luar biasa lihainya itu. Dia tidak mau memperpanjang urusan dan permusuhan, apalagi tadi dia mendengar bahwa pemuda itu adalah cucu luar dari ketua Cin-ling-pai! Dan kini dia melihat betapa anak buahnya sudah kocar-kacir dan dihajar habis-habisan oleh pemuda perkasa itu yang dibantu oleh sepasang saudara kembar. Dia merasa menyesal sekali dan cepat kakek ini berseru nyaring,

“Semua saudara pengemis, mundur!” Dan dia mendahului meloncat dan melarikan diri.

Mendengar seruan ini, para pengemis terkejut. Belum pernah selama mereka menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, ada perintah mundur dari ketua mereka, apalagi melihat ketua mereka melarikan diri. Tentu saja hal ini membuat nyali mereka menjadi kecil dan tanpa diperintah dua kali, para pengemis itu lalu meninggalkan gelanggang pertempuran, melarikan diri sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang terluka atau pingsan.

Sebentar saja sunyilah di depan kuil kosong itu, tidak nampak seorangpun pengemis. Banyak pengemis yang roboh oleh amukan Lie Seng, namun tidak seorangpun tewas karena pemuda ini tidak membunuh, hanya merobohkan mereka sehingga ada yang patah tulang, salah urat dan pingsan karena pening.

Setelah semua pengemis pergi, Kwi Eng teringat kepada suaminya dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis. Melihat keadaan adiknya ini, Kwi Beng cepat menghampiri akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terguling roboh dan pingsan!

“Ahh...!”

Mei Lan dengan sekali loncatan saja sudah menyambar tubuh pemuda itu sehingga kepala Kwi Beng tidak sampal terbanting. Cepat Mei Lan merebahkan tubuh Kwi Beng dan memeriksa luka-lukanya. Memang keadaan pemuda ini lebih parah daripada adiknya, akan tetapi dengan hati lega Mei Lan mendapat kenyataan bahwa luka-luka itu hanyalah luka-luka luar saja dan tidak ada yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya.

Diam-diam Mei Lan mengakui bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu bukanlah seorang yang kejam karena kalau memang dikehendakinya tentu dengan mudah kakek itu dapat membunuh dua orang kakak beradik kembar itu.

Dengan bantuan Lie Seng, Mei Lan lalu mengobati kakak beradik kembar itu dan perlahan-lahan Kwi Beng siuman. Ketika dia melihat dirinya sendiri rebah terlentang dan di dekatnya nampak gadis cantik dan gagah perkasa tadi sedang berlutut, Kwi Beng memandang.

Dua pasang mata bertemu, bertaut dan melekat penuh dengan macam perasaan haru. Akhirnya, Mei Lan menundukkan mukanya dan Kwi Beng merasa mukanya agak panas. Dia tidak tahu betapa mukanya menjadi merah sekali dan dia lalu bangkit duduk memegangi kepalanya.

“Bagaimana rasanya kepalamu?” tanya Mei Lan.

Gadis ini biasanya lincah jenaka dan tidak pernah sungkan terhadap siapapun, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti mengapa kini setelah berhadapan dengan pemuda yang bermata biru dan rambutnya agak menguning keemasan ini, dia merasakan suatu hal yang luar biasa, yang membuatnya merasa agak malu-malu.

“Tidak apa-apa... agak pening sedikit. Agaknya engkau telah menolongku ketika aku roboh pingsan, adik Mei Lan. Ah, seperti baru kemarin saja engkau menolongku, melepaskan aku dari ikatan di Lembah Naga dahulu itu...”

“Kalian berdua sungguh terlalu berani menentang Hwa-i Kai-pang.” Mei Lan menegur. “Pangcu itu lihai sekali. Sebetulnya apakah yang telah terjadi dan bagaimana saaudara Tio Sun sampai tewas di tangan mereka?”

Mendengar pertanyaan ini, Kwi Eng menangis dan Kwi Beng menarik napas panjang berulang kali. Kemudian Kwi Beng yang mewakili adiknya yang tidak mampu bicara karena menangis dan berduka itu, bercerita kepada Lie Seng dan Mei Lan.

“Kami sendiri tidak tahu bagaimana asal mulanya. Iparku itu hanya berpamit kepada isterinya untuk pergi mengunjungi Panglima Kim-i-wi yang bernama Lee Siang, katanya dimintai tolong oleh panglima itu untuk menjadi orang penengah atau pendamai. Akan tetapi, tahu-tahu dia telah diantar pulang oleh panglima itu, sudah tewas dan menurut cerita Panglima Lee, iparku dibunuh oleh pangcu Hwa-i Kai-pang tanpa sebab, diserang setelah iparku berusaha untuk mendamaikan mereka. Demikianlah penuturan dari Panglima Lee Siang.”

Kwi Beng berhenti bercerita dan menarik napas panjang, berduka teringat akan kematian iparnya sehingga adiknya yang masih muda telah menjadi janda.

“Lalu kalian mendatangi ketua Hwa-i Kai-pang dan menantangnya?” Mei Lan bertanya.

Kwi Beng mengangguk.
“Tentu saja kami berdua tidak mau menerima begitu saja. Sepanjang pengetahuan kami, keluarga kami tidak pernah bermusuhan dengan Hwa-i Kai-pang, dan iparku itu bukannya membela Panglima Lee, melainkan hendak menjadi orang penengah yang mendamaikan. Ketika kami bertemu dengan ketua Hwa-i Kai-pang, dia berkata bahwa dia tidak bermusuhan dengan iparku, tidak sengaja membunuhnya, dan dia bertempur dengan iparku karena iparku hendak melindungi Kim Hong Liu-nio yang dibela oleh Panglima Lee Siang. Dan dia mengatakan bahwa kalau ada yang menuntut balas, dia siap untuk melayani karena dia merasa tidak bersalah.”

Mei Lan mengerutkan alisnya.
“Hemm, kurasa dia tidak berbohong.”

Kakak beradik kembar itu mengangkat muka memandang dengan heran.
“Tidak berbohong? Jembel tua itu...!” Kwi Eng berseru, penasaran.

Mei Lan membuat gerakan dengan tangan menyabarkan.
“Harap kalian berdua ingat bahwa kalau kakek itu mempunyai niat jahat, tentu kalian berdua sudah dibunuhnya. Apa sukarnya bagi ketua itu yang dibantu oleh anak buahnya? Tidak, dia tidak membunuh kalian, dan ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak bermaksud buruk, tidak berniat memusuhi keluargamu dan karena itu maka kematian saudara Tio Sun perlu diselidiki lebih lanjut lagi. Yang menjadi biang keladi adalah panglima she Lee itu, dan siapakah gerangan wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio, yang dimusuhi oleh ketua Hwa-i Kai-pang itu?”

Kwi Eng menjawab,
“Menurut penuturan suamiku yang mendengar dari Panglima Lee, wanita itu adalah seorang yang berjasa besar terhadap kaisar, bahkan penyelamat nyawa kaisar ketika terjadi pemberontakan. Dia adalah utusan dari Raja Sabutai.”

Kwi Eng lalu bercerita tentang Kim Hong Liu-nio seperti yang didengarnya dari penuturan suaminya.

“Ahh...!” Mei Lan terkejut sekali mendengar semua itu, lalu dia mengangguk-angguk. “Urusan menjadi makin berbelit. Dan mengapa pula Kim Hong Liu-nio bermusuhan dengan pangcu dari Hwa-i Kai-pang?”

“Kabarnya, wanita itu telah bentrok dengan seorang anggauta Hwa-i Kai-pang sehingga anggauta perkumpulan itu tewas, kemudian dia mengalahkan beberapa orang tokoh Hwa-i Kai-pang sehingga pada suatu hari dia dikepung oleh semua anggauta Hwa-i Kai-pang di luar pintu gerbang di utara. Pada waktu itulah Lee-ciangkun menyelamatkannya,” kata pula Kwi Eng.

“Hemm, urusan dendam-mendendam!” Mei Lan kembali mengangguk-angguk. “Kini kita mengerti bahwa agaknya saudara Tio terlibat dalam urusan dendam pribadi antara pangcu Hwa-i Kai-pang dan Kim Hong Liu-nio. Dia dimintai tolong untuk melerai akan tetapi timbul kesalah-fahaman dan terjadi pertempuran sehingga saudara Tio tewas di tangan pangcu itu. Tewas dalam suatu pertempuran yang adil memang menjadi resiko orang gagah, dan sesungguhnya tidak ada yang patut dibuat sakit hati.”

“Akan tetapi, jembel tua itu telah membikin sengsara kehidupan adikku yang kehilangan suaminya dan keponakanku yang kehilangan ayahnya. Bagaimana mungkin kami dapat mendiamkannya saja?” bantah Kwi Beng penasaran. “Dan iparku tewas bukan karena urusan pribadi, melainkan sebagai seorang penengah yang mendamaikan. Bukankah itu menimbulkan penasaran sekali?”

Mei Lan yang merupakan seorang gadis muda berusia dua puluh lima tahun itu menarik napas panjang dan keluarlah kata-kata yang padat dan penuh pengertian,

“Penasaran selalu timbul kepada fihak yang merasa dirugikan, akan tetapi orang bijaksana memandang persoalan sebagaimana kenyataannya tanpa dipengaruhi oleh rugi untung bagi dirinya sendiri. Urusan ini menyangkut fihak-fihak yang berpengaruh, Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan besar yang berpengaruh sekali dan tentu mempunyai banyak sekutunya. Di lain fihak, kalau benar Kim Hong Liu-nio itu adalah utusan Raja Sabutai bahkan penyelamat jiwa kaisar, maka tentu saja diapun memiliki kedudukan yang kuat dan pengaruhnya besar. Maka, jika kalian berdua tidak berkeberatan, marilah kalian ikut bersama kami ke Cin-ling-san. Kami hendak menghadap Cia-locianpwe, kongkong dari sute Lie Seng dan mengingat bahwa Cia-locianpwe mengenal pula ketua Hwa-i Kai-pang, maka tentu nasihat beliau amat berharga untuk dipertimbangkan.”

“Baik, aku setuju. Mari kita ikut pergi ke Cin-ling-san, Eng-moi,” kata Kwi Beng seketika.

Dengan cepat seperti tanpa dipikirkannya lagi dia sudah menyetujui, karena memang hatinya membisikkan bahwa dia tidak ingin berpisah dengan gadis cantik yang amat lihai itu, yang sejak tadi telah begitu menarik hatinya!

Di lain fihak, setelah mendengar ajakannya sendiri, Mei Lan juga terheran dan bahkan terkejut mengapa dia mengajak kedua orang kembar itu untuk melakukan perjalanan bersamanya ke Cin-ling-san! Mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia merasakan hal seperti ini, dan dia tahu bahwa dia tidak ingin berjauhan dari pemuda tampan dan gagah yang mengagumkan hatinya itu!

Berangkatlah empat orang muda yang gagah perkasa itu menuju ke Cin-ling-san, dan di dalam perjalanan ini tumbuh perasaan yang mesra di dalam dada Kwi Beng dan Mei Lan. Hal ini tentu saja dimengerti pula oleh Kwi Eng yang diam-diam, dalam kedukaannya kehilangan suami tercinta, merasa girang dan senang sekali kalau kakak kembarnya itu mungkin dapat berjodoh dengan seorang gadis seperti Yap Mei Lan yang demikian gagah perkasa.

Lie Seng yang juga sudah cukup dewasa itupun dapat merasakan adanya kemesraan antara sucinya dan pemuda bermata kebiruan dan berambut kekuningan itu, akan tetapi karena dia seorang pendiam yang tentu saja merasa sungkan kepada sucinya, dia pura-pura tidak tahu saja.

**** 073 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: