***

***

Ads

Rabu, 01 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 074

Ui-eng-piauwkiok dengan tandanya berupa bendera piauwkiok yang dasarnya merah dengan lukisan seekor burung garuda kuning sudah amat terkenal di seluruh Propinsi Ho-pei sebagai perusahaan ekspedisi yang boleh dipercaya.

Tentu saja setiap perusahaan apapun dapat maju atau mundur, jatuh atau bangun tergantung dari kebijaksanaan sang pimpinan. Dan dalam hal ini, Na Ceng Han termasuk seorang yang pandai berusaha di samping kejujuran dan kegagahannya yang membuat perusahaan ekspedisinya sampai terkenal dan dipercaya orang. Na-piauwsu memang pandai bergaul dan hubungannya luas sekali dengan para tokoh dunia persilatan, baik dengan golongan pendekar atau golongan putih maupun dengan golongan hitam atau kaum perampok dan bajak.

Karena hubungannya yang luas inilah maka barang-barang yang dikawal oleh perusahaannya tidak pernah diganggu penjahat karena hampir semua golongan liok-lim dan kang-ouw merasa enggan untuk mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu yang mereka kenal sebagai seorang yang ringan tangan dan suka membantu itu, selain ini, juga setiap orang pendekar tentu akan membantu kalau mendengar betapa piauwsu ini diganggu orang.

Akan tetapi, biarpun Na Ceng Han tidak pernah memusuhi orang lain, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada orang lain yang memusuhinya! Kita ini hidup di dalam dunia dimana masyarakat telah diracuni oleh iri hati! Di segala lapangan nampak jelas iri hati ini yang hampir mengotori setiap orang manusia.

Na Ceng Han tidak terluput dari incaran mata orang lain yang mengandung iri hati seperti itu, bahkan juga mengandung dendam. Yang mengincar dari jauh itu adalah mata Ciok Khun, juga seorang piauwsu yang tinggal di kota Kun-ting itu. Ciok Khun adalah piauwsu yang membuka piauwkiok yang bernama Gin-to-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Golok Perak). Nama ini diambil dari senjatanya yang terkenal, yaitu sebatang golok dari perak. Bendera piauwkioknya berdasar hitam dengan lukisan sebatang golok putih.

Sudah menjadi penyakit umum di antara manusia untuk saling bersaing di dalam kehidupan. Penyakit ini memang sudah dipupuk sejak kecil. Di waktu manusia masih menjadi kanak-kanakpun para orang tua dan gurunya sudah selalu menekankan agar dia “tidak kalah” dari orang lain, penekanan yang memupuk jiwa persaingan itulah, yang dilakukan oleh kita semua tanpa kita sadari bahwa kita telah menanamkan benih-benih yang menimbulkan sengketa dan kekerasan dalam diri anak-anak kita!

Sejak kecil, setiap orang anak telah dirangsang oleh orang tua, guru-guru, dan masyarakat yang menerima hal itu sebagai kehormatan dan kebudayaan, untuk menonjolkan dirinya sendiri, agar tidak kalah oleh siapapun juga. Di dalam kelas saja sudah terdapat penekanan ini berupa angka-angka tertinggi untuk nilai-nilai kepandaian, pujian bagi yang pintar dan celaan-celaan bagi yang bodoh, penghormatan-penghormatan bagi yang kaya dan penghinaan-penghinaan bagi yang miskin, memandang tinggi bagi yang berkedudukan tinggi dan memandang rendah kepada yang berkedudukan rendah. Inilah, yang membentuk jiwa seseorang sehingga seperti keadaan kita sekarang ini!

Kita bersaing dalam apapun juga. Dalam perdagangan, dalam perusahaan, dalam kedudukan, dalam olah raga, dalam semua kehidupan kita. Persaingan ini, dalam bentuk apapun juga, tidak mungkin tidak menimbulkan kekerasan dan konflik, biarpun dengan seribu macam alasan kita mau memperhalus persaingan dengan tambahan kata “sehat”. Persaingan sehat! Mana mungkin ini? Persaingan itu sendiri adalah sama sekali tidak sehat!

Keinginan menonjolkan diri agar “tidak kalah” oleh orang lain ini menimbulkan persaingan, menimbulkan konflik, menimbulkan iri hati. Iri hati timbul karena perbandingan, kalau kita membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, dan segala macam lebih lagi.






Hidup akan menjadi sesuatu yang lain sama sekali dari pada sekarang ini kalau tidak ada perbandingan, tidak ada persaingan, tidak ada keinginan menonjolkan diri. Dapatkah kita hidup bebas dari persaingan? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita harus menghayatinya, bukan hanya sekedar memikirkan dan berteori lalu berbantahan dengan kata-kata kosong belaka. Penghayatan dapat dilakukan kalau kita mengenal diri sendiri setiap saat, mengenal iri hati diri sendiri, mengenal keinginan menonjolkan diri sendiri, mengenal kesukaan diri sendiri untuk bersaing dan menang!

Demikianlah, tanpa disadari sendiri oleh Na Ceng Han, diam-diam terdapat seorang yang amat membencinya, bukan hanya terdorong oleh iri hati dan persaingan dalam perusahaan yang sama sifatnya, melainkan juga kebencian yang terdorong oleh dendam dan sakit hati!

Ciok Khun ini sebelum menjadi piauwsu, tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tentu saja hubungannya dengan para penjahat di dunia liok-lim lebih erat dibandingkan dengan hubungan Na-piauwsu dengan mereka. Dan setelah Ciok Khun menjadi piauwsu, dia melihat kesempatan-kesempatan baik. Bukan hanya dia dapat mengawal barang-barang dengan aman karena tidak akan diganggu teman-temannya, atau, bekas rekan-rekannya, melainkan juga dia dapat bersekongkol dengan para penjahat itu untuk memeras para pengirim barang yang dipercayakan kepadanya!

Beberapa kali sudah terjadi apabila ada kiriman barang-barang berharga yang dikawalnya, Ciok Khun bersekutu dengan teman-temannya dan di tengah jalan teman-temannya itu mengganggu dan merampas barang-barang yang berharga di bawah pengetahuan si pemilik barang sendiri. Kalau sudah begitu, Ciok Khun menawarkan jasa-jasa baiknya dan barang-barang itu tentu akan dapat diambilnya kembali asal si pemilik barang suka “menyogok” para perampok yang dikenalnya itu. Padahal, yang mengatur kesemuanya itu tentu saja adalah Ciok Khun sendiri!

Praktek-praktek pemerasan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang seperti Ciok Khun yang memang tadinya adalah seorang perampok, melainkan dilakukan oleh kebanyakan orang yang memiliki kedudukan atau juga yang memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya. Betapa banyaknya dapat dilihat, semenjak jaman kuno sampai sekarang, orang-orang yang bertugas menjadi penjaga dan pelindung keselamatan, bahkan melakukan pemerasan kepada mereka yang dijaga atau dilindungi keselamatannya!

Justeru penjagaan atau perlindungan itulah yang dijadikan sebagai jalan untuk melakukan pemerasan. Keadaan seperti ini sungguh amat mengherankan dan menyedihkan namun kenyataannya memang demikianlah. Dan kesemuanya itu, seperti juga bentuk kemaksiatan atau kejahatan apapun juga, didorong oleh keinginan manusia untuk mencari kesenangan sendiri. Jadi sumbernya adalah pada diri kita sendiri! Kitalah yang harus berubah, bukan keadaannya, bukan sekeliling kita, bukan masyarakat, bukan dunia, melainkan kita sendirilah, masing-masing harus berubah seketika!

Tanpa adanya perubahan dalam diri masing-masing jangan mengharapkan keadaan sekeliling atau masyarakat akan dapat berubah. Biarpun diatur bagaimana juga, selama diri kita tidak berubah, maka peraturan itu hanya akan menjadi alat baru untuk saling memperebutkan kesenangan bagi kita sendiri dan karenanya pasti timbul pelbagai bentuk kemaksiatan dan kejahatan baru. Kalau kita sudah berubah, maka akan terjadilah perubahan dalam segala hal. Harta, kedudukan, pendeknya segala macam antar hubungan akan mempunyai arti yang lain sama sekali.

Mengapa Ciok Khun menaruh dendam dan sakit hati terhadap Na-piauwsu? Kalau dia merasa iri hati, hal itu sudah jelas karena dalam hal persaingan pekerjaan sebagai piauwsu, Ciok Khun kalah jauh. Para pedagang besar dan para pembesar lebih suka mengirimkan barang-barang berharga mereka di bawah lindungan bendera Ui-eng-piauwkiok daripada dilindungi oleh bendera Gin-to-piauwkiok.

Akan tetapi, dendam dan sakit hati di hati Ciok Khun timbul karena urusan pribadi, yaitu karena pernah Na-piauwsu menentang praktek-prakteknya yang memeras seorang pedagang yang mengirim barangnya di bawah perlindungannya. Na-piauwsu yang menghentikan pemerasan itu dan yang dengan terang-terangan mendatanginya dan menegurnya karena pedagang itu adalah seorang kenalan baik dari Na-piauwsu yang datang menceritakan pemerasan yang ditimpakan kepadanya itu.

Ciok Khun tidak berani menentang secara berterang dan pada lahirnya dia menurut, akan tetapi diam-diam timbul ganjalan di dalam hatinya, melahirkan dendam dan setiap hari dia mencari kesempatan untuk dapat membalas kepada Na-piauwsu yang dianggapnya musuh besarnya itu. Hanya karena dia tahu bahwa dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak akan mampu menandingi Na-piauwsu, maka dia masih belum turun tangan dan menanti saat sampai bertahun-tahun lamanya.

Kesempatan yang dinanti-nantikan itu akhirnyapun tibalah. Dia berkenalan dengan seorang yang bernama Lu Seng Ok, seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang memiliki kepandaian tinggi. Lu Seng Ok ini adalah seorang bekas tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang karena ketahuan telah melakukan kejahatan dengan jalan minta-minta secara paksa kepada para penghuni sebuah dusun.

Hwa-i Kai-pang, biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi memiliki peraturan keras terhadap para anggautanya. Mereka dilarang untuk melakukan pencurian atau perampokan, maka perbuatan Lu Seng Ok yang menjadi tokoh tingkat tiga itu dianggap perampokan dan diapun dikeluarkan dari Hwa-i Kai-pang oleh ketua Hwa-i Kai-pang sendiri. Setelah keluar dari perkumpulan itu, tentu saja Lu Seng Ok menjadi seorang penjahat yang suka mempergunakan kekerasan dan ilmu silatnya yang tinggi. Akhirnya, bertemulah Lu Seng Ok dengan Ciok Khun dan menjadi sahabat baik.

Pada suatu malam yang gelap dan sunyi. Hujan turun sejak sore tadi, dan biarpun kini hujan tinggal rintik-rintik kecil, namun hawa yang dingin membuat orang merasa enggan untuk keluar dari pintu, apalagi air hujan membuat jalan di luar rumah menjadi becek dan berlumpur. Toko-toko sudah tutup sejak tadi ketika hujan turun deras karena dibukapun percuma saja, tidak ada pembeli, bahkan jalan-jalan sunyi tidak ada orang lewat.

Hawa udara yang sejuk nyaman membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar mereka, dan membuat orang merasa betah tinggal di rumah. Di rumah keluarga Na juga sudah sepi sekali. Na Ceng Han dan isterinya sudah memasuki kamar, bercakap-cakap dan mereka berdua membicarakan tentang diri Sin Liong yang sudah satu setengah tahun berada di rumah mereka.

Suami isteri ini merasa suka kepada Sin Liong yang tahu diri dan rajin membantu pekerjaan rumah dan juga rajin sekali berlatih silat dan belajar membaca dan menulis, mendalami kitab-kitab kuno, dan selain kerajinan ini, juga Sin Liong adalah seorang anak yang patuh dan tidak banyak bicara.

Para pembantu rumah tangga, juga para piauwsu yang berada di kantor, semua sudah beristirahat di tempat masing-masing. Bhe Bi Cu sudah tidur di dalam kamarnya, sedangkan Na Tiong Pek, putera tunggal Na-piauwsu, sejak sore tadi memanggil Sin Liong ke dalam kamarnya dan mengajak anak itu bermain catur.

Kini, Tiong Pek sudah rebah di atas pembaringan sedangkan Sin Liong masih membaca kitab di kamar Tiong Pek. Suasana amat sunyi dan dari celah-celah jendela kamar itu dapat terdengar hembusan angin malam yang kadang-kadang mengeluarkan bunyi yang menyeramkan, seperti iblis meniup-niup di luar rumah, di antara pohon-pohon yang gelap.

Dan kalau saja pada saat itu ada penghuni rumah keluarga Na yang mengintai keluar, mungkin dia akan dapat melihat keadaan yang menyeramkan di sekitar rumah keluarga Na itu. Beberapa bayangan orang berkelebat cepat dan sebentar saja ada bayangan tujuh orang berada di sekitar tempat itu, menyelinap diantara pohon-pohon dan bayangan-bayangan gelap.

Suara angin yang bertiup keras pada daun-daun pohon di luar rumah menyelimuti suara golok seorang di antara mereka yang mencokel daun pintu sehingga terbuka dan bagaikan bayangan-bayangan iblis mereka itu berloncatan masuk dari pintu samping yang telah mereka bongkar. Ternyata bahwa mereka itu adalah tujuh orang laki-laki yang bermuka bengis dan di tangan mereka tampak golok atau pedang yang berkilauan tertimpa sinar api lampu yang tergantung di tempat itu.

Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bermuka bengis, dengan alis tebal dan dia memegang sebatang golok yang berkilauan putih. Inilah Si Golok Perak Ciok Khun sendiri yang memimpin penyerbuan diam-diam itu. Di sebelahnya berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, mukanya kecil seperti tikus dan orang ini memegang sebatang toya baja yang kelihatan berat sekali, orangnya tinggi kurus dan mukanya seperti tikus dengan sepasang mata yang agak menjuling itu sudah membayangkan adanya watak yang culas dan curang. Orang ini bukan lain adalah Lu Seng Ok, bekas tokoh tingkat tiga dari Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah dikeluarkan dari perkumpulan itu.

Adapun lima orang lainnya adalah para pembantu Ciok Khun, yaitu para piauwsu dari Gin-to-piauwkiok. Mereka ini ada yang memegang golok, akan tetapi ada pula yang berpedang, sesuai dengan kepandaian masing-masing.

Malam itu memang dipergunakan oleh Ciok Khun untuk melaksanakan niatnya yang sudah ditahan-tahan sampai bertahun-tahun, yaitu melampiaskan dendamnya kepada Na Ceng Han! Dan tentu saja dia dibantu oleh sahabat barunya, yaitu Lu Seng Ok yang diandalkannya untuk dapat menandingi Na-piauwsu yang lihai.

“Lepaskan api sekarang!” bisik Ciok Khun setelah mereka semua berhasil membongkar daun pintu dan menyelinap masuk.

Sebelumnya memang telah mereka rencanakan untuk melepaskan api agar mengacaukan keadaan dan memancing keluar Na Ceng Han, juga untuk membuat bingung dan berpencaran para piauwsu yang berada di situ. Dua orang anak buahnya yang bertugas untuk melepas api mengangguk lalu berpencar ke kanan kiri dan mereka lalu mengeluarkan alat-alat untuk menimbulkan kebakaran, yaitu minyak, kain dan api. Sebentar saja terjadilah kebakaran di kanan kiri. Api menjilat-jilat dan asap mengepul tinggi.

“Api...! Kebakaran...!” Terdengar teriakan seorang pelayan yang lebih dulu melihat api.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: