***

***

Ads

Rabu, 01 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 077

Sin Liong adalah seorang anak yang luar biasa sekali. Wataknya keras dan dia tidak pernah mengenal takut. Kalau orang bersikap baik dan halus kepadanya, dia akan menjadi lunak dan tunduk. Akan tetapi kalau ada orang bersikap keras kepadanya, biar dia diancam maut, biar dia disiksa, dia tidak akan sudi tunduk. Maka, mendengar ucapan itu, matanya yang bersinar tajam itu memandang dengan mendelik, dan mulutnya tersenyum mengejek.

“Aku tidak sudi mengatakan!”

Padahal, tentu saja dia sendiripun tidak tahu dimana adanya ayah kandungnya itu, akan tetapi dia memang sengaja ingin membikin panas hati wanita pembunuh ibunya ini.

Dan memang Kim Hong Liu-nio menjadi marah sekali. Kini dia yakin bahwa anak itu tentu tahu dimana adanya Cia Bun Houw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk memaksa anak ini memberi tahu dimana adanya musuh besarnya itu.

“Katakan dimana Cia Bun Houw!” kembali dia membentak sambil mencengkeram tengkuk Sin Liong.

“Tidak sudi!” anak itu balas membentak.

“Hemm, kau agaknya ingin kusiksa sampai setengah mati!”

“Huh, apa artinya siksaanmu? Dahulupun kau meracuni tubuhku, dan aku tidak takut!”

Ucapan ini mengingatkan Kim Hong Liu-nio dan cepat dia memeriksa tubuh anak itu, meraba pergelangan tangannya dan dadanya. Mata wanita itu terbelalak heran. Anak itu sudah bebas sama sekali dari Hui-tok-san!

“Siapa yang mengobatimu? Ayahmu itu?”

Sin Liong yang diangkat ke atas sehingga mukanya berdekatan dengan muka wanita itu, tersenyum mengejek.

“Kau tidak akan dapat mengetahui!”

“Bress!”

Kim Hong Liu-nio membanting dan untuk ketiga kalinya tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah.

“Hayo katakan, dimana ayahmu itu! Dimana Cia Bun Houw!” kembali dia berteriak-teriak penuh kemarahan.

Sin Liong merasa kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit tanpa mampu bergerak. Akan tetapi nyalinya tidak pernah berkurang besarnya. Dia memandang wanita itu dan berkata,

“Hemmm, kau ternyata lebih curang daripada seekor ular, lebih ganas daripada seekor serigala dan lebih jahat daripada ketua Jeng-hwa-pang atau iblis sekalipun!”






“Hayo katakan dimana ayahmu!”

“Tidak sudi! Kau mau apa?”

“Keparat, hendak kulihat apakah engkau masih tetap akan membandel!”

Dengan marah Kim Hong Liu-nio, menyambar tubuh Sin Liong, yang dibawanya kepada sebatang pohon dan dia menggunakan akar pohon untuk mengikatnya pada batang pohon itu, diikat dari kaki sampai ke leher. Setelah itu, dia lalu membebaskan totokan di tubuh anak itu agar Sin Liong merasakan sepenuhnya siksaan itu.

“Kau mau bunuh sekalipun jangan harap aku akan sudi mengaku kepada orang jahat macam engkau!” Sin Liong memanaskan hati wanita itu.

“Aku tidak akan membunuhmu. Kau lihat burung-burung itu? Nah, merekalah yang akan membunuhmu perlahan-lahan, mencabik-cabik dagingmu sedikit demi sedikit. Aku tidak akan pergi jauh, dan kalau kau berteriak memanggilku apabila engkau sudah mengubah sikap kepala batumu itu, tentu aku akan mendengarmu!”

Setelah berkata demikian, Kim Hong Liu-nio tersenyum, senyum yang manis sekali, akan tetapi senyum yang membuat Sin Liong bergidik karena anak ini sudah mulai mengenal musuhnya yang dapat melakukan hal yang teramat keji. Dengan sekali berkelebat saja, wanita itu lenyap dari situ, meninggalkan Sin Liong terikat pada batang pohon dengan muka menghadap ke matahari yang sudah mulai naik agak tinggi dan sinarnya yang terik itu sepenuhnya menimpa muka dan tubuh Sin Liong.

“Gaooookkk...!”

Seekor burung gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas batu dimana tadi Kim Hong Liu-nio duduk. Burung itu memandang ke arah Sin Liong, kepalanya dimiringkan ke kanan kiri seperti hendak memandang lebih teliti atau mendengarkan sesuatu. Tak lama kemudian, nampak bayangan hitam menyambar turun dari atas dan seekor burung gagak lain telah hinggap di atas tanah, di depan Sin Liong.

Anak itu memandang tajam, heran melihat burung-burung itu berani mendekatinya dan dia belum mengerti apa maksudnya Kim Hong Liu-nio meninggalkannya terikat di situ. Dia tidak tahu bahwa burung-burung ini adalah burung-burung pemakan bangkai yang sudah kelaparan karena sudah lama tidak makan, dan betapa mereka itu sudah tidak sabar menanti adanya bangkai yang boleh mereka makan.

Agaknya burung-burung lain tertarik oleh dua ekor burung yang berkaok-kaok di dekat Sin Liong itu karena kini banyak burung melayang turun dan mengurung tempat di mana Sin Liong diikat pada batang pohon itu. Sin Liong masih belum tahu akan datangnya bahaya mengerikan mengancamnya, bahkan dia memandang tanpa bergerak-gerak. Inilah salahnya. Kalau saja dia bergerak atau mengeluarkan suara, tentu burung-burung itu akan menjadi takut.

Tiba-tiba seekor burung gagak terbang dan hinggap di atas pundak kiri Sin Liong. Anak ini barulah merasa terkejut, apalagi karena kuku-kuku jari kaki burung yang mencengkeram pundaknya itu menembus baju melukai kulitnya.

“Hehhh....!”

Dia membentak dan burung itu terbang dengan kaget, akan tetapi segera hinggap di atas tanah karena melihat anak itu tidak dapat bergerak. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan leher Sin Liong. Kini dia memandang dengan mata terbelalak kepada burung-burung yang bergerak-gerak di depannya dan bagi pandang matanya, burung-burung itu seperti berubah menjadi iblis-iblis hitam yang menakutkan.

Kembali ada dua ekor burung terbang atau meloncat dan mereka ini menerkam. Sin Liong membentak lagi dan dua ekor burung itu terbang turun, hanya untuk mengulang kembali perbuatan mereka. Sin Liong membentak-bentak, akan tetapi dua ekor burung yang hinggap di pundak dan lengannya tidak mau pergi bahkan kini mereka mulai mematuk-matuk ke arah mata Sin Liong!

Anak itu terkejut dan ngeri, cepat dia memejamkan mata, akan tetapi tidak mampu mengelak karena lehernya tercekik kalau dia menggerakkan kepalanya. Dia mendengus-dengus dan agaknya suaranya inilah yang membuat dua ekor burung itu meragu dan tidak mematuknya, hanya sayap mereka yang bergerak-gerak dan mengibas-ngibas, sedangkan paruh mereka itu mengeluarkan bunyi berkaok yang terdengar nyaring sekali di dekat telinga Sin Liong!

Sin Liong tidak berani membuka matanya dan hanya mendengus-dengus sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk mengusir burung-burung itu. Namun dua ekor burung gagak itu tidak mau pergi, sungguhpun mereka belum menyerang karena mereka masih meragu dan agaknya hendak menanti sampai calon mangsa mereka itu sama sekali tidak mampu bergerak.

Sin Liong merasa ngeri bukan main. Baru sekarang dia merasakan kengerian yang mencekiknya, lebih mengerikan daripada ketika dia dilempar ke dalam sumur ular oleh ketua Jeng-hwa-pang. Hampir dia berteriak minta tolong, akan tetapi kalau dia teringat kepada wanita yang membunuh ibunya itu, dia tidak jadi berteriak bahkan dia mengatupkan mulutnya dan mengambil keputusan untuk tidak sudi berteriak sampai mati. Lebih baik mati dicabik-cabik burung-burung ini daripada dia berteriak, mengaku kalah dan tunduk kepada iblis betina itu, demikian tekad hatinya.

Matahari naik makin tinggi. Sinarnya makin panas dan hampir Sin Liong tidak kuat untuk menahannya lagi. Anak ini merasa bahwa kalau sampai dia pingsan dan tidak bergerak, tentu burung-burung ini akan menyerangnya. Maka, biarpun panasnya membuat dia hampir tidak kuat bertahan, kepalanya pening dan matanya yang dipejamkan itu melihat warna merah, lehernya seperti dicekik oleh kehausan, namun dia mempertahankan diri sekuatnya. Dia merasa tubuhnya kering sama sekali, diperas habis airnya yang menguap menjadi peluh.

Dari jauh, Kim Hong Liu-nio mengintai. Wanita ini merasa kagum bukan main. Kembali timbul rasa sayangnya kepada anak itu di balik kebenciannya. Anak itu benar-benar hebat sekali! Selama ini, hanya kepada sutenya sajalah dia kagum dan menganggap sutenya seorang anak laki-laki yang paling hebat.

Akan tetapi, melihat sikap Sin Liong, dia benar-benar merasa heran dan kagum dan harus mengakui bahwa anak itu benar-benar luar biasa, lebih hebat daripada sutenya. Akan tetapi, rasa sayang ini diusirnya dengan ingatan bahwa anak itu adalah putera Cia Bun Houw, musuhnya yang terbesar.

“Gaoookkkk...!”

Kembali burung yang hinggap di pundak kanan anak itu mengeluarkan bunyi tak sabar lagi. Kim Hong Liu-nio melihat betapa burung itu menggerakkan paruhnya, mematuk ke arah mata kanan yang terpejam itu. Akan tetapi, pada saat itu, ada debu mengebul dari sebelah kanan anak itu dan ketika dia memandang, ternyata tiga ekor burung yang tadi hinggap di kedua pundak dan lengan, kini telah jatuh dan mati di dekat kaki Sin Liong yang masih memejamkan matanya!

Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main dan cepat dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia meloncat dan lari ke tempat itu. Juga Sin Liong yang merasa betapa di pundaknya tidak ada lagi burung yang mencengkeramnya, membuka mata dan terheranlah dia melihat bangkai tiga ekor burung di dekat kakinya.

Akan tetapi pandang matanya berkunang ketika dia membuka mata, dan dia melihat wanita itu datang berlari-lari. Habislah harapannya dan dia memejamkan matanya kembali. Akan tetapi, Sin Liong terkejut dan merasa heran ketika mendengar suara Kim Hong Liu-nio membentak marah.

“Iblis dari mana yang berani bermain gila dengan Kim Hong Liu-nio?”

Mendengar ini, Sin Liong cepat membuka matanya dan dia mengusir kepeningannya dan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya itu dengan goyangan kepalanya. Akhirnya dia melihat seorang kakek tua berjalan perlahan menuju ke tempat itu.

Seperti juga Kim Hong Liu-nio, Sin Liong membuka matanya lebar-lebar dan memandang kakek yang mendatangi itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sin Liong masih tidak tahu bagaimana burung-burung itu mati secara aneh. Tadinya dia menyangka bahwa Kim Hong Liu-nio yang membunuh binatang-binatang rakus itu, akan tetapi melihat munculnya kakek ini, dia meragu dan hatinya tertarik sekali.

Sebaliknya, Kim Hong Liu-nio juga memandang penuh selidik dan hatinya menduga-duga. Benar kakek inikah yang membunuhi tiga ekor burung gagak secara aneh itu? Dia masih belum tahu bagaimana burung-burung itu mati. Melihat adanya debu mengebul, tentu orang telah mempergunakan pukulan jarak jauh, akan tetapi burung-burung itu hinggap di tubuh Sin Liong dan memukul mati burung-burung itu dengan hawa pukulan jarak jauh tanpa mengenai anak itu sendiri, sungguh merupakan ilmu yang luar biasa. Dia masih meragu dan memandang tajam penuh selidik.

Kakek itu sudah tua sekali, sedikitnya tentu sudah tujuh puluh lima tahun usianya. Rambutnya yang halus dan terpelihara rapi dan bersih, sudah putih semua dan digelung ke atas dengan rapi, diikat dengan kain kuning yang bersih. Pakaiannya sederhana sekali, seperti pakaian petani, akan tetapi pakaiannya juga bersih. Wajah itu dihias kumis dan jenggot yang halus dan sudah putih pula. Namun, wajah kakek ini masih kelihatan sehat dan segar kemerahan, keriput di pipinya hampir tidak nampak. Wajah yang manis budi dan sabar, akan tetapi sinar matanya membayangkan wibawa dan kekerasan hati seorang pendekar! Kakek ini berpakaian polos, agaknya tidak membawa senjata apapun.

Setelah tiba di tempat itu, kakek yang mendatangi dengan langkah ringan dan perlahan, sejenak memandang kepada Sin Liong, kemudian dia menoleh dan memandang kepada wanita cantik itu.

Kim Hong Liu-nio merasa betapa jantungnya berdebar tegang ketika melihat sepasang mata tua itu menyambar ke arahnya dengan ketajaman pandangan yang menyeramkan. Lalu terdengar suara kakek itu, halus dan lembut akan tetapi mengandung teguran dan wibawa.

“Mengganggu orang yang tidak mampu melawan merupakan perbuatan yang pengecut, apalagi menyiksa seorang bocah yang tak dapat melawan merupakan perbuatan keji. Bagaimanakah seorang wanita muda dan cantik seperti engkau ini dapat melakukan perbuatan keji dan pengecut?”

Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan dia tidak pernah mengenal takut. Biarpun dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang yang pandai, namun tentu saja dia sama sekali tidak merasa jerih dan kini mendengar kakek itu mencelanya, tentu saja dia menjadi marah sekali.

“Kakek yang lancang tangan dan lancang mulut! Apakah orang setua engkau ini masih belum tahu bahwa mencampuri urusan orang lain adalah perbuatan hina yang takkan dilakukan oleh seorang kang-ouw?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: