***

***

Ads

Rabu, 01 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 079

Kini kakek itu menghampiri Sin Liong yang sudah bangkit berdiri dengan bibir pecah-pecah. Biarpun anak itu lebih patut dikatakan setengah hidup dalam keadaan payah sekali, namun anak itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu dengan mata merah, mata yang tadi disiksa oleh panasnya matahari. Setelah kakek itu datang dekat, tiba-tiba Sin Liong tak dapat bertahan lagi dan dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat disambar oleh tangan kakek itu. Sin Liong roboh pingsan, hal yang ditahan-tahannya sejak tadi.

Sin Liong mengecap-ngecap bibirnya yang basah. Dia membuka mata dan melihat bahwa dia sedang rebah di bawah pohon yang teduh sedangkan kakek itu membasahi mukanya dan memberi minum air jernih yang dingin dan nikmat sekali terasa olehnya. Cepat dia bangkit duduk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

Sin Liong maklum bahwa tanpa adanya kakek ini, dia tentu sudah mati dalam keadaan mengerikan, dirobek-robek dagingnya oleh burung-burung gagak pemakan bangkai! Biarpun tadi kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, namun dia masih dapat menyaksikan betapa kakek yang sederhana ini ternyata mampu menandingi Kim Hong Liu-nio, bahkan wanita iblis itu melarikan diri! Maka Sin Liong yang cerdik mengerti bahwa kakek tua renta ini adalah seorang manusia sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Saya menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan locianpwe.”

Cia Keng Hong mengurut jenggotnya yang putih dan memandang kepada bocah itu penuh perhatian. Ketika dia merawat Sin Liong dari pingsannya tadi, kembali dia meraba-raba dan makin yakin dia akan bakat yang terpendam dalam diri anak ini.

“Anak yang baik, siapakah namamu?”

“Nama saya Sin Liong...”

Tercengang juga hati kakek itu mendengar nama yang gagah itu. Nama anak ini berarti Naga Sakti!

“Engkau she apakah, Sin Liong?”

Sin Liong tahu bahwa dia adalah she Cia. Akan tetapi dia tidak mau membawa-bawa nama ayahnya yang belum pernah dijumpainya itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,

“Locianpwe, sejak kecil saya tidak tahu apakah she saya. Saya hanya bernama Sin Liong, tanpa she.”

Cia Keng Hong tercengang, alisnya berkerut.
“Kalau begitu, siapakah ayah bundamu?”

Sin Liong menggeleng kepalanva.
“Saya hidup sebatangkara, tidak mempunyai ayah dan bunda. Saya bekerja sebagai pelayan dari Na-piauwsu yang tinggal di Kun-ting. Akan tetapi beberapa hari yang lalu Na-piauwsu serumah dibunuh orang-orang yang menjadi musuhnya. Lalu muncul wanita iblis itu yang berbalik membunuhi semua orang yang telah membasmi keluarga Na-piauwsu, akan tetapi wanita itu lalu membawa saya ke sini.”






Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan alis matanya tetap berkerut. Sungguh aneh cerita anak ini.

“Dan mengapa kau dibawanya kesini dan akan disiksanya sampai mati? Apakah dia memaksamu untuk menceritakan sesuatu?”

Sin Liong menggeleng kepala.
“Saya sendiri tidak tahu, locianpwe.”

Cia Keng Hong adalah seorang kakek bijaksana. Dia sudah mengenal seorang anak yang luar biasa dan dia menduga bahwa tentu ada rahasia di balik diri anak ini dan bahwa anak ini sengaja tidak mau menceritakan tentang dirinya. Maka diapun tidak mau mendesak. Hatinya merasa kasihan sekali dan entah mengapa, dia merasa amat tertarik kepada Sin Liong, merasa seolah-olah wajah anak ini tidak asing baginya.

“Sin Liong, setelah keluarga Na itu dibasmi orang, lalu sekarang engkau akan tinggal dimana?” tanyanya.

Sin Liong tidak mampu menjawab, akan tetapi akhirnya dia berkata,
“Locianpwe, dunia begini luas, saya tidak merasa khawatir untuk tidak kebagian tempat tinggal. Bukankah di manapun bisa ditinggali, misalnya di hutan ini sekalipun?”

Cia Keng Hong terharu. Anak ini masih wajar, masih polos dan murni, belum dikotori “kebudayaan” dunia dimana setiap orang manusia bergulat untuk memperoleh kemuliaan dan kesenangan, kalau perlu dengan jalan mendorong dan menginjak orang lain. Anak ini agaknya belum membutuhkan apa-apa!

“Sin Liong, apakah engkau suka belajar ilmu silat?”

Sejenak wajah anak itu berseri gembira.
“Tentu saja, locianpwe.”

“Bagus! Kalau begitu marilah kau turut bersamaku dan aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu.”

Sin Liong memang sudah merasa kagum dan suka sekali kepada kakek ini. Pelindungnya, Na-piauwsu telah tewas, maka tidak ada tempat lain baginya dan kakek ini ternyata jauh lebih lihai daripada Na-piauwsu, bahkan agaknya lebih lihai atau setidaknya pun tidak kalah oleh Kim Hong Liu-nio! Maka dia lalu berlutut lagi.

“Terima kasih atas kebaikan locianpwe.”

Cia Keng Hong membangunkan anak itu dengan wajah berseri. Baru sekarang semenjak dia pergi menyusul dan mencari cucunya, dia merasa girang.

“Bangunlah dan mari kita berangkat sekarang juga, Sin Liong. Aku tidak ingin terjadi banyak keributan dan kalau wanita itu kembali lagi, tentu akan terjadi keributan.”

Berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu dan Cia Keng Hong mengambil keputusan untuk kembali ke Cin-ling-san dengan jalan memutar karena dia masih ingin mendengar-dengar dan mencari jejak cucunya yang pergi meninggalkan Cin-ling-san tanpa pamit itu.

Hati Cia Keng Hong makin merasa suka kepada Sin Liong. Di sepanjang perjalanan, anak ini memperlihatkan sikap yang pendiam, tidak cerewet, tidak pernah mengeluh, kuat dan tahan uji, juga amat cerdik. Pernah dia mencobanya dengan mengajaknya berjalan semalam suntuk. Namun Sin Liong tidak pernah mengeluh, sungguhpun ketika berjalan semalam suntuk itu beberapa kali dia terhuyung dan kedua kakinya membengkak, dan ketika diajak berpuasa itu pendengaran telinga kakek pendekar yang amat tajam itu dapat menangkap bunyi perut anak itu berkeruyuk berkali-kali.

Pada suatu hari, tibalah kakek dan anak tanggung ini di sebuah batu karang. Ketika mereka tiba di kaki bukit, dari jauh saja keduanya sudah melihat serombongan orang berjalan terhuyung-huyung dan mereka semua itu luka-luka seperti serombongan pasukan kecil yang baru saja pulang dari medan pertempuran dengan menderita kekalahan.

Cia Keng Hong yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain, menggandeng tangan Sin Liong hendak diajak mengambil jalan lain karena sekelebatan saja dia tahu bahwa orang-orang itu adalah orang-orang kang-ouw atau orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan yang telah luka-luka karena pertempuran. Orang-orang seperti itu tentulah orang-orang yang selalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka mencari permusuhan dan suka mencari kekerasan, maka dia hendak menjauhkan Sin Liong dari mereka.

“Locianpwe...!”

“Ah, agaknya Thian yang menuntun ciang bunjin (ketua) dari Cin-ling-pai kesini untuk menolong kami...!”

Tiba-tiba belasan orang itu semua menjatuhkan diri berlutut di depan Cia Keng Hong! Tentu saja kakek ini menjadi kaget dan tahulah dia bahwa mereka itu telah mengenalnya sehingga tak mungkin dia menyingkir lagi. Maka diapun memandang kepada mereka penuh perhatian.

Akhirnya dia teringat bahwa dia mengenal beberapa orang diantara mereka sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan bukanlah kaum kasar, melainkan pendekar-pendekar yang suka menolong orang. Maka dengan sikap halus diapun mendekati dan bertanya kepada mereka.

“Cu-wi sicu (sekalian orang gagah) mengapa menderita luka-luka? Apakah yang telah terjadi?”

Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang pundaknya terluka, bajunya robek dan kulit pundak itu kelihatan biru dan lumpuh sebelah lengannya, segera menjawab,

“Di puncak bukit ini terdapat seorang gila yang merampas kambing, kuda, sapi, anjing dan binatang apa saja milik penduduk dusun-dusun di sekitar bukit ini untuk dibunuh dan diganyang mentah-mentah! Orang-orang dusun yang datang kepadanya semua dilukai. Kami yang mendengar ini lalu pergi untuk mengusirnya, akan tetapi ternyata orang gila itu lihai dan jahat sekali sehingga kami semuapun kalah dan terluka. Oleh karena itu, demi kepentingan para penghuni dusun di sekitar tempat ini, kami mohon kebijaksanaan dan keadilan locianpwe untuk mengusir orang gila itu dari daerah ini.”

Setelah bercerita, kakek itu bersama teman-temannya segera amat tergesa-gesa bangkit berdiri dan menjura, lalu meninggalkan tempat itu dengan terhuyung dan terpincang-pincang, seolah-olah mereka masih merasa jerih dan khawatir kalau-kalau orang gila itu mengejar mereka!

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Dia tidak tertarik untuk menguruskan orang gila! Berapa banyak sih binatang yang dapat dimakan habis oleh seorang manusia, betapa gilapun dia? Dan biasanya, seorang gila tidak akan mengganggu orang lain kalau tidak lebih dulu diganggu! Mungkin anak-anak penggembala ternak itu yang lebih dulu mengganggu si gila sehingga menjadi marah-marah. Kalau para pendekar itu tidak mendatangi si gila di atas bukit, jelas bahwa si gila itu tidak akan melukai mereka. Dia tidak boleh hanya mendengarkan laporan sefihak lalu membela mereka.

“Sin Liong, mari kita pergi...”

Dia menoleh dan pandang mata kakek itu mencari-cari. Sin Liong tidak ada lagi di tempat itu. Tadi anak itu berada di belakangnya ikut mendengarkan, akan tetapi ternyata secara diam-diam anak itu telah pergi!

“Sin Liong...!”

Dia berseru memanggil, biarpun seruannya itu tidak keras, akan tetapi karena digerakkan oleh khi-kang, maka gemanya sampai terdengar dari tempat jauh, bahkan terdengar sampai ke puncak bukit batu karang itu!

Sunyi saja tidak ada jawaban dari Sin Liong, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tertawa

“Ha-ha-ha-ha!”

Cia Keng Hong terkejut bukan main. Itu bukanlah suara ketawa biasa, melainkan suara ketawa yang juga mengandung khi-kang amat kuatnya dan suara itu datang dari atas puncak bukit itu. Dia menjadi khawatir dan pendekar sakti yang sudah tua ini cepat mendaki bukit menuju ke puncak. Setelah tiba di puncak, dia melihat hal yang membuat mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak.

Di atas puncak itu, di atas batu-batu besar yang permukaannya halus, dikelilingi oleh puncak-puncak batu karang lain yang menjulang tinggi, dia melihat Sin Liong duduk bersila, berhadapan dengan seorang kakek tua renta tinggi besar yang kepalanya gundul, kakek yang membuat pendekar sakti ini memandang bengong karena dia mengenal baik kakek itu yang bukan lain adalah Kok Beng Lama!

Para pembaca cerita Petualang Asmara dan cerita Dewi Maut tentu mengenal baik siapa adanya kakek gundul ini. Kok Beng Lama adalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang memiliki kesaktian hebat, dan dia pernah menjadi kepala dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet.

Akan tetapi, semenjak puterinya yang bernama Pek Hong Ing, yang menjadi isteri dari pendekar Yap Kun Liong, tewas dibunuh orang (baca cerita Dewi Maut), Kok Beng Lama merasa demikian marah dan dukanya sampai dia menjadi tidak waras, otaknya menjadi agak miring! Kemudian dia dapat sembuh, bahkan dia lalu mewariskan ilmu-ilmunya kepada Lie Seng, cucu dari ketua Cin-ling-pai itu, dan Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong, masih terhitung cucu tirinya sendiri karena Yap Mei Lan bukanlah anak Pek Hong Ing, melainkan anak yang lahir dari hubungan gelap antara Yap Kun Liong dan Lim Hwi Sian (baca cerita Petualang Asmara).

Akan tetapi, ketika Lie Seng dan Yap Mei Lan, dua orang muridnya yang terakhir itu sudah tamat belajar dan meninggalkan dia, Kok Beng Lama merasa kesepian dan kumat lagi gilanya, maka dia lalu merantau seperti orang gila dan akhirnya pada hari itu dia berada di atas bukit batu karang, menimbulkan geger dan sampai dia bertemu dengan Cia Keng Hong dan Sin Liong!

Cia Keng Hong memandang bengong ketika melihat kakek gundul itu duduk bersila berhadapan dengan Sin Liong sambil tertawa-tawa dan kedua orang itu ternyata sedang bercakap-cakap dengan asyiknya!

“Kakek yang baik, kenapa kau lukai orang-orang itu?” terdengar Sin Liong bertanya.

Kok Beng Lama meraba-raba kepala dan pundak Sin Liong sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, mereka itu jahat! Mereka itu hendak menghina seorang tua seperti aku. Mereka datang dengan senjata di tangan. Ha-ha, untung bertemu dengan aku yang masih mengampuni mereka. Manusia memang jahat dan palsu, tidak seperti binatang yang wajar dan lebih baik.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: