***

***

Ads

Sabtu, 04 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 085

Cia Keng Hong tersenyum.
“Memang dia aneh. Dia tidak tahu siapa ayah bundanya, dan dia hanya ingat bahwa dia bekerja sebagai kacung pada keluarga Na-piauwsu. Akan tetapi, untuk bertanya tentang asal-usul anak ini kepada keluarga Na-piauwsu juga tidak mungkin karena keluarga Na itu dibunuh oleh musuh-musuhnya. Anak ini dibawa oleh seorang wanita kejam yang bernama Kim Hong Liu-nio, seorang wanita yang benar-benar memiliki kepandaian yang mengejutkan dan entah mengapa wanita iblis itu demikian bencinya kepada Sin Liong sehingga menyiksanya dan aku telah membebaskannya dari tangan wanita itu.”

“Sin Liong, siapakah wanita itu?” tanya Yap Kun Liong yang merasa tertarik karena diapun tidak mengenal tokoh kang-ouw bernama Kim Hong Liu-nio itu.

Kalau ada seseorang tokoh sampai dipuji kepandaiannya oleh Cia Keng Hong, sudah pasti bahwa tokoh itu bukan orang sembarangan dan kepandaiannya tidak boleh dibuat main-main.

Sin Liong memang tidak ingin menceritakan banyak-banyak tentang dirinya, akan tetapi karena semua orang memandang kepadanya dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka itu ingin sekali mendengar tentang Kim Hong Liu-nio, dia teringat akan tantangannya terhadap Kim Hong Liu-nio dan dengan lantang dia lalu berkata,

“Saya tidak mengenalnya. Ketika keluarga Na-piauwsu diserbu musuh dan dibunuh, dia muncul dan dia membunuh semua musuh keluarga Na itu lalu menangkap saya dan membawa saya pergi ke hutan dimana Cia locianpwe menolong saya. Akan tetapi, saya mendengar dia berkata-kata seorang diri bahwa dia akan membunuh semua orang yang she Cia, Yap dan Tio.”

“Ehhh?”

“Ahhh?”

“Heiii...?”

Seruan-seruan itu keluar dari mulut Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Mereka saling pandang, lalu memandang kembali kepada anak itu. Sin Liong merasa senang melihat mereka terkejut. Kalau benar mereka ini adalah pendekar-pendekar besar, ingin dia melihat wanita iblis yang lihai itu berhadapan dengan mereka.

“Sungguh aneh sekali! Mengapa justeru she-she dari kita yang dimusuhinya?” tanya Cia Bun Houw sambil memandang Yap In Hong.

“DAN she Tio itu bukanlah ada hubungannya dengan Tio Sun twako?” tanya pula Yap In Hong.

“Ahhh, sekarang aku ingat...!” Tiba-tiba kakek ketua Cin-ling-pai itu berkata. “Ya, benar. Tadinya aku merasa heran mengapa aku sampai tidak mengenal dasar ilmu silatnya. Kini, setelah mendengar bahwa dia memusuhi kita dan juga Tio Sun, teringatlah aku. Sudah tentu wanita itu ada hubungannya dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Benar, ilmu silatnya memang mempunyai dasar ilmu silat dua orang iblis tua itu!”






“Akan tetapi mereka itu sudah mati!” kata Yap In Hong. “Pek-hiat Mo-ko telah tewas olehmu dan Hek-hiat Mo-li terluka parah olehku.” Dia bicara kepada Bun Houw.

Bun Houw mengangguk-angguk.
“Kalau memang ada hubungannya dengan mereka, tentu ada hubungannya dengan Hek-hiat Mo-li. Pek-hiat Mo-ko jelas telah mati, akan tetapi Hek-hiat Mo-li belum tewas biarpun terluka parah akan tetapi dia diselamatkan dengan datangnya Raja Sabutai. Mungkin dia itu murid dari Hek-hiat Mo-li yang masih selalu menaruh dendam kepada kita.”

Bun Houw mengerutkan alisnya dan teringatlah akan peristiwa belasan tahun yang lalu ketika dia dan In Hong mengalahkan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dalam pertandingan mati-matian.

Cia Keng Hong juga mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.
“Kiranya begitu... ilmunya lihai sekali dan setelah menggunakan Thi-khi-i-beng baru aku berhasil menundukkannya. Akan tetapi dia segera mengenal ilmu itu dan mengenalku, lalu pergi. Agaknya tentu Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakangnya. Hemmm, musuh sudah mulai keluar dari sarang dan mencari gara-gara, harap kalian suka berhati-hati,” katanya sambil memandang kepada dua pasang pendekar itu.

Empat orang pendekar itu tinggal di Cin-ling-san sampai kakek itu sembuh dari luka-lukanya. Dalam kesempatan itu, Cia Keng Hong secara bergiliran bicara berdua saja dengan dua orang anaknya. Dengan hati terharu dia mendengar dari Bun Houw ketika dia bertanya mengapa puteranya itu belum mempunyai keturunan, dan pengakuan puteranya itu yang bicara dengan nada suara duka mengejutkannya.

“Ayah, sebelum ayah memberi restu kepada kami untuk menikah, mana mungkin kami berdua dapat menjadi suami isteri dan mempunyai anak?”

Cia Keng Hong memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak.
“Apa katamu? Engkau dan In Hong... kalian... belum menjadi suami isteri?”

Bun Houw mengangkat mukanya memandang kepada ayahnya, sepasang matanya jernih akan tetapi wajahnya agak pucat.

“Ayah, kami berdua saling mencinta, saling menghormat, maka bagaimana mungkin kami saling merendahkan dengan jalan melakukan hubungan jina? Biarpun kami telah hidup bersama selama belasan tahun ini, akan tetapi selama ayah masih ada, tanpa perkenan dari ayah atas perjodohan kami, mana berani kami melakukan hubungan yang akan menjadi perjinaan?”

Sepasang mata yang terbelalak memandang itu kini menjadi sayu, bibir tua itu gemetar dan hati pendekar itu seperti ditusuk pedang rasanya. Terbukalah kini matanya dan tahulah dia betapa dahulu dia terlalu menuruti hati, terlalu mempertahankan kehendaknya sendiri sehingga dia mengorbankan puteranya yang menderita karena keangkuhannya. Dia memeluk puteranya, merangkul dan berbisik.

“Houw-ji... kau maafkan aku... ah, mendiang ibumu benar, aku terlalu keras kepala... aku telah membuatmu hidup menderita, kau maafkanlah aku, anakku...”

Dua titik air mata membasahi mata pendekar sakti itu, hal yang luar biasa sekali, dan menandakan bahwa hati pendekar itu luar biasa sakitnya, tertindih oleh rasa sesal dan haru.

“Tidak, ayah, sebaliknya akulah yang selama ini merasa berdosa dan membikin susah hati ayah,” jawab Bun Houw lirih.

“Aku yang bodoh, anakku, lupa akan keadaanku sendiri ketika masih muda. Ah, aku seperti buta dan lupa bahwa tak mungkin mengatur hati orang lain, dan aku bangga sekali mendengar betapa murni cinta antara kalian. Bun Houw, lekas kaupanggil In Hong ke sini!”

Bun Houw cepat pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan In Hong. Melihat gadis itu, Cia Keng Hong makin terharu. Dia memegang tangan In Hong, memandang tajam dan berkata,

“In Hong, kau maafkanlah aku, orang tua tak tahu diri yang kukuh sehingga aku telah membuat kalian berdua menderita. Kalau... kalau kalian masih mau menganggap dan mau menerima, biarlah detik ini aku menyatakan bahwa aku girang sekali kalian saling berjodoh! Kuharap kalian suka menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Aku... aku... ingin sekali dapat melihat cucuku, putera dari kalian sebelum aku mati...”

“Gak-hu...!” In Hong yang biasa menyebut locianpwe itu kini menyebut “ayah mertua” dan menjatuhkan diri berlutut sambil meneteskan beberapa titik air mata.

Keadaan tiga orang ini sungguh mengharukan, akan tetapi di dalam keharuan ini muncul sinar yang amat membahagiakan mereka bertiga, terutama di dalam hati Bun Houw dan In Hong sehingga dalam pertemuan pandang mata mereka, selain kasih sayang seperti biasanya, terdapat pula sinar yang membayangkan kegirangan dan juga perasaan malu-malu.

Bun Houw juga berlutut di samping isterinya dan berkata,
“Kami menghaturkan terima kasih kepada ayah atas kebijaksanaan ayah.”

Ucapan itu malah makin menusuk perasaan Cia Keng Hong, sungguhpun Bun Houw tidak bermaksud demikian. Dengan mata basah pendekar sakti yang sudah tua ini menggunakan kedua tangan meraba kepala putera dan mantunya, seperti hendak memberi berkah.

“Ayahmu bersalah, ayahmu terlalu mementingkan perasaan dan keinginan hati sendiri sehingga kalian menderita dan menjadi korban selama belasan tahun. Ah, anak-anakku, hendaknya peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kalian sehingga kelak kalian tidak melakukan kebodohan seperti yang telah kulakukan ini, dan tidak membikin anak-anak kalian menderita...”

Selain mendatangkan kebahagiaan dalam hati dua orang yang saling mencinta itu, menjodohkan mereka sehingga mereka dapat menjadi suami isteri secara sah oleh persetujuan orang tua, dapat menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya, juga pendekar sakti tua Cia Keng Hong mengadakan pertemuan bertiga saja dengan puterinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Juga kepada dua orang yang sesungguhnya saling mencinta ini, Cia Keng Hong memberi “lampu hijau”. Antara lain dia berkata dengan nada suara sungguh-sungguh dan yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan muka menunduk.

“Aku tahu bahwa kalian berdua saling mencinta, Kun Liong dan Giok Keng. Dan kalian adalah orang-orang bebas, seorang duda dan seorang janda. Oleh karena itu, yakinlah hati kalian bahwa aku akan merasa ikut berbahagia, apabila kalian berdua dapat mengisi kekosongan hidup masing-masing dan menjadi suami isteri. Kalian masih cukup muda untuk menikmati hidup, dan sudah selayaknyalah kalau saling mengisi dan saling menghibur. Nah, legalah kini hatiku, karena aku telah menyatakan isi hatiku. Tentu saja pelaksanaannya terserah kepada kalian berdua.”

Di depan kakek tua renta itu, tentu saja Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng merasa malu untuk menjawab, akan tetapi terdapat sinar lain dalam pandang mata mereka ketika mereka saling bertemu pandang. Dan sinar-sinar mata inipun dapat ditangkap oleh kakek Cia Keng Hong yang membuatnya tersenyum penuh kelegaan hati, seperti kelegaan hati seorang ayah yang melihat anak-anaknya hidup bahagia.

Dua pasang pendekar itu tinggal di puncak Cin-ling-san, merawat Cia Keng Hong sampai kakek pendekar ini sembuh dari sakitnya. Selama beberapa hari itu, ada beberapa orang anggauta Cin-ling-pai yang datang pula untuk menjenguk sehingga terjadilah pertemuan-pertemuan yang menggembirakan. Dalam kesempatan itu, Cia Giok Keng mengusulkan kepada ayahnya apakah tidak sebaiknya kalau Cin-ling-pai dibangun kembali dan memanggil para anggauta yang kini tinggal terpisah-pisah.

Kakek itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Tidak, Keng-ji. Tidak ada gunanya sama sekali. Kini nampak benar olehku betapa pendirian sebuah perkumpulan hanya berarti memisahkan diri dari orang-orang lain saja. Sebaiknya kalau kita menganggap dunia manusia adalah anggautanya! Dengan demikian, setiap orang manusia sebagai anggauta perkumpulan besar itu akan selalu menjaga dunia, dan saling setia, saling mencinta antara manusia sebagai rekan hidup. Sebaliknya, mendirikan perkumpulan-perkumpulan terpisah-pisah hanya akan mendatangkan lebih banyak permusuhan dan persaingan belaka. Tidak, biarlah Cin-ling-pai bubar saja, lebih baik begini...!”

Diam-diam Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw melihat betapa ayah mereka telah berubah sama sekali. Dahulu, ayah mereka amat mementingkan nama dan kehormatan sehingga ayah mereka itu menentang perjodohan Bun Houw dengan In Hong karena hendak menjaga nama dan kehormatan pula. Sekarang, ayah mereka telah menjadi lunak dan memiliki pandangan yang amat luas dan sama sekali tidak kukuh lagi.

Dua pasang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu hampir setiap hari menjenguk makam ibu mereka, nyonya Cia Keng Hong. Pada suatu pagi Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berdua saja bersembahyang di depan kuburan itu. Setelah selesai bersembahyang, mereka berdua lalu berjalan dan tanpa disadari mereka saling bergandengan tangan menuju ke tepi jurang yang ditumbuhi rumput hijau yang gemuk.

Mereka tidak mengucapkan sepatah kata, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling berpegang itu sudah bicara banyak. Mereka lalu duduk, saling berhadapan di atas rumput hijau di tepi jurang, saling memandang, kemudian Cia Giok Keng menundukkan mukanya ketika dia mulai bicara, seolah-olah dia tidak dapat menatap wajah pria yang dicintanya itu.

“Kun Liong, apa yang kau pikirkan?”

Kun Liong memandang wajah yang menunduk itu. Baginya, wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun itu masih nampak seperti dulu, seperti ketika masih gadis remaja, masih tetap cantik menarik.

“Giok Keng, agaknya apa yang berada dalam pikiranku tidak jauh bedanya dengan apa yang sedang kau pikirkan. Aku teringat akan pesanan ayahmu.”

Wajah yang memang masih jelas memperlihatkan raut yang cantik itu menjadi agak kemerahan, akan tetapi dengan berani Giok Keng mengangkat mukanya memandang. Kembali dua pasang mata bertemu dan melekat. Memang, di saat seperti itu, kata-kata dari mulut tidak lagi banyak artinya, bahkan terasa janggal dan kaku karena sinar mata lebih lancar menyatakan perasaan hati.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: