***

***

Ads

Sabtu, 04 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 086

“Lalu, bagaimana pendapatmu?”

Giok Keng bertanya, pertanyaan yang hanya untuk memecahkan kesunyian yang mendatangkan rasa kikuk baginya itu karena sesungguhnya, tanpa bertanyapun dia sudah tahu apa yang menjadi isi hati Kun Liong.

Mereka berdua memang saling mencinta, dan tidak ada kesenangan yang lebih besar daripada perkenan ayahnya tadi yang bahkan menganjurkan, agar mereka berdua menjadi suami isteri. Membayangkan bahwa mereka berdua akan tinggal serumah, akan selalu hidup berdampingan, akan membagi segala sesuatu yang mereka hadapi, akan bersama-sama menikmati kesenangan, bersama-sama menanggung penderitaan, benar-benar merupakan suatu hal yang amat menghibur dan membahagiakan hati.

“Kau tahu betapa akan bahagia rasa hatiku kalau kita selalu dapat saling berdekatan. Giok Keng, maukah engkau pergi bersamaku ke Leng-kok?”

Giok Keng mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu berkata,
“Sebetulnya, apakah bedanya bagi kita tinggal di Leng-kok atau di rumahku di Sin-yang? Di manapun, asal kita berdua, apa bedanya?”

Yap Kun Liong memegang tangan wanita itu dan menggenggamnya.
“Engkau benar, aku meributkan soal-soal yang kecil saja. Kalau engkau lebih suka tinggal di Sin-yang, akupun tidak akan menolak tinggal disana.”

Melihat betapa pria itu sudah memperlihatkan sikap mengalah. Giok Keng merasa tidak enak hati juga. Seolah-olah dia masih Cia Giok Keng yang dahulu, yang keras hati sehingga kekerasan hatinya itulah yang menggagalkan perjodohannya dengan Kun Liong, dan kekerasan hatinya pula yang mendatangkan atau mengakibatkan segala macam peristiwa hebat (baca Kisah Dewi Maut). Teringat akan ini, dia cepat berkata lagi.

“Tentang di mana kita tinggal, kita lihat saja nanti. Bagiku, ke manapun kau pergi dan tinggal, di situ aku merasa betah dan senang, Kun Liong. Akan tetapi, hatiku merasa tidak enak mendengar akan kepergian Ciauw Si yang mencari Bun Houw dan sampai kini belum pulang. Aku mempunyai keinginan untuk lebih dulu pergi merantau mencari anakku itu sampai dapat. Engkau tentu tahu, Seng-ji dan Ciauw Si sekarang telah menjadi anak-anak yang telah dewasa. Dalam urusan antara kita ini, adalah bijaksana kalau aku lebih dulu memberitahukan kepada mereka. Mengertikah engkau?”

Kun Liong menggenggam tangan itu dia mengangguk.
“Tepat sekali. Memang semestinya demikian, Giok Keng. Akupun akan merasa tidak enak kalau mereka tidak diberi tahu lebih dulu. Kalau begitu, aku akan membantumu mencari puterimu itu. Dan bagaimana dengan puteramu?”

“Dia akan pulang kalau sudah tamat belajar dari Kok Beng Lama. Dan kurasa kini memang sudah tiba saatnya dia akan pulang. Kalau begitu, mari kita pergi mencari Ciauw Si besok. Ayah juga sudah sembuh.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong berpamit kepada kakek Cia Keng Hong untuk pergi mencari Ciauw Si. Kakek itu segera menyatakan persetujuannya. Dan dalam kesempatan ini, Cia Bun Houw dan Yap In Hong juga berpamit untuk kembali ke selatan.

Karena merasa bahwa dia sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja, Cia Keng Hong sama sekali tidak menahan, bahkan diam-diam dia merasa girang karena kepergian kedua pasang anak-anaknya itu disertai dengan pancaran kebahagiaan di wajah mereka! Dia merasa bahagia sekali dan ketika kedua pasang pendekar itu berpamit lalu pergi, dia mengikuti bayangan mereka dengan pancaran sinar mata penuh kebahagiaan.






Sin Liong yang duduk bersila di dekatnya juga memandang dengan sinar mata sayu. Tidak seorangpun diantara mereka tahu betapa anak ini menderita tekanan batin yang cukup hebat, melihat ayah kandungnya pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadanya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia adalah anak kandungnya! Ingin dia berteriak, ingin dia mengaku sebelum ayahnya pergi akan keadaan dirinya, akan tetapi anak ini duduk bersila dan menggigit bibir untuk menahan dorongan hati yang ingin berteriak itu sampai akhirnya bayangan empat orang itu lenyap di sebuah tikungan.

“Eh, kenapa kau menangis?”

Pertanyaan ini mengejutkan hati Sin Liong. Tanpa disadarinya, ketika tadi dia melawan dorongan hatinya, menggigit bibirnya, ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya.

“Menangis? Apakah saya menangis, locianpwe?” tanyanya sambil menggerakkan tangan mengusap dua titik air mata itu.

Kakek itu tersenyum maklum. Tentu anak ini diam-diam merasa suka kepada kedua putera dan puterinya, dan kini merasa berduka melihat mereka pergi. Kasihan sekali anak ini. Hidup sebatangkara di dunia yang luas dan penuh dengan kekerasan dan kekejaman ini.

“Sin Liong, jangan khawatir. Setelah engkau memiliki sin-kang yang diwariskan oleh Kok Beng Lama kepadamu, setelah engkau memiliki Thi-khi-i-beng, dan dalam waktu dekat aku akan mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu, kelak engkau dapat menjaga diri sendiri dan dapat mengembara ke manapun sebagai seorang pendekar, seperti anak-anakku itu.”

Sin Liong tidak menjawab, melainkan segera berlutut di depan kakeknya itu. Dia kagum kepada kakeknya ini, amat menghormatnya, dan amat sayang kepada kakeknya yang dianggap merupakan seorang manusia budiman yang sangat baik kepadanya.

“Terima kasih, locianpwe, terima kasih...”

Diam-diam Cia Keng Hong merasa heran mengapa anak ini tidak pernah menyebut suhu kepadanya, akan tetapi karena dia sekarang tidak lagi mau memperdulikan tentang segala macam upacara dan sebutan, dan karena diapun tahu bahwa Sin Liong adalah seorang anak yang aneh sekali, maka diapun tidak pernah menegurnya. Baginya tidak ada bedanya apakah dia akan disebut locianpwe ataukah suhu, karena pendekar sakti yang tua ini mulai terbuka matanya bahwa segala macam upacara dan sopan santun, segala macam sebutan itu hanyalah kosong belaka, seperti kosongnya semua kata-kata yang keluar dari mulut, yang hanya merupakan permainan dari hawa dan angin kosong belaka! Yang penting baginya adalah tindakan, kenyataan, bukan segala macam sebutan dan omongan.

Pendekar sakti Cia Keng Hong memenuhi kata-katanya kepada Sin Liong. Mulai hari itu semenjak kedua orang putera dan puterinya pergi, dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Sin Liong.

Ketika dia melatih cucunya, Lie Ciauw Si, dia juga melatih dengan tekun, akan tetapi sekarang, melihat keadaan diri Sin Liong, pendekar ini menjadi kagum dan gembira bukan main. Cucunya perempuan itu hanya memiliki bakat biasa saja dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang amat sukar itu tidak mudah dikuasai oleh Ciauw Si.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Sin Liong. Anak ini benar-benar amat luar biasa sekali. Segala macam pelajaran dasar ditelannya dengan mudah, bahkan ketika kakek itu mulai mengajarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang rumit, mudah saja bagi Sin Liong untuk menguasainya. Seolah-olah sekali diberi pelajaran setiap teori ilmu silat, semua itu telah melekat di dalam benaknya dan tidak lupa lagi. Dan ketika dia mulai melatih diri, juga di dalam gerakan-gerakannya terkandung bakat yang amat besar, gerakannya tidak kaku dan seolah-olah gaya ilmu silat memang sudah mendarah daging di dalam tubuhnya. Maka semua pelajaran dapat diterimanya dengan lancar.

Cia Keng Hong merasa betapa amat sukar baginya untuk memulihkan tenaganya. Tubuhnya sudah sehat kembali, akan tetapi tenaganya tidak dapat pulih seperti sebelum dia bertanding melawan Kok Beng Lama. Hal ini dianggapnya bahwa usianya sudah sangat tua dan ini pula yang membuat dia tergesa-gesa menurunkan semua ilmu silat tinggi kepada Sin Liong.

“Pelajari dulu kauwkoat (teori silat) sampai kau hafal betul. Melatihnya boleh belakangan, Sin Liong.”

Demikianlah kakek itu berkata dan dia lalu mengajarkan teori-teori dari ilmu-ilmu silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan, seperti San-in-kun-hoat, Thai-kek-sin-kun, Siang-bhok-kiam-sut dan banyak lagi ilmu-ilmu silat yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Dan semua teori ilmu silat yang aneh-aneh itu telah dicatat oleh ingatan dalam otak Sin Liong yang luar biasa cerdasnya.

Dalam waktu kurang lebih setahun lamanya, Sin Liong telah berhasil menghafal semua teori ilmu silat yang banyak macamnya itu, dan selain hafal, juga dia telah diberi petunjuk oleh kakek itu bagaimana untuk melatih ilmu-ilmu itu seorang diri kelak.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin-ling-pai sekarang sama sekali tidak sama dengan Cin-ling-pai belasan tahun yang lalu, ketika Cin-ling-pai masih merupakan sebuah perkumpulan besar dengan tokoh-tokohnya yang terkenal sebagai Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-pai.

Akan tetapi semenjak Cap-it Ho-han tewas di tangan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa), maka Cin-ling-pai seperti kehilangan pamornya (baca cerita Dewi Maut). Apalagi setelah Cia Keng Hong kehilangan puteranya dan kematian isterinya kakek ini lalu membubarkan Cin-ling-pai sehingga semua anak murid atau anggauta Cin-ling-pai menjadi tersebar ke mana-mana. Betapapun juga, masih ada saja anak murid yang kadang-kadang naik ke Cin-ling-san untuk mengunjungi guru besar mereka itu.

Para anggauta atau lebih tepat lagi bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung, mengerti bahwa kini guru besar mereka mempunyai murid lagi, seorang pemuda aneh yang pendiam dan serius, yang jarang sekali bicara bahkan tidak menjawab sepenuhnya kalau ditanya. Juga Cia Keng Hong yang mengerti akan keanehan anak itu, tidak mau banyak bicara tentang Sin Liong, hanya samar-samar kakek ini mengatakan bahwa Sin Liong merupakan pewarisnya yang terakhir dan yang paling berbakat!

Pada suatu senja yang cerah dan indah, seperti biasa semenjak dia pulang ke Cin-ling-san bersama Sin Liong, kakek Cia Keng Hong bersamadhi seorang diri di dalam kebun di belakang pondoknya. Bersamadhi setiap matahari timbul dan matahari tenggelam merupakan pekerjaan sehari-hari kakek itu, dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak mau diganggu.

Oleh karena itu, Sin Liong dan para anggauta Cin-ling-pai tidak ada yang berani mendekati kakek itu kalau kakek Cia Keng Hong sedang berada di kebun. Dan pada senja hari itu, ada belasan orang bekas anggauta Cin-ling-pai yang datang berkunjung. Mereka ini berkumpul di ruangan besar bercakap-cakap, karena Cin-ling-san kini merupakan suatu tempat bertemu dan berkumpul antara mereka dan dalam pertemuan ini tentu saja banyak yang mereka bicarakan.

Di antara mereka terdapat beberapa orang bekas anggauta golongan tua yang memiliki kepandaian tinggi karena mereka dahulu adalah tokoh-tokoh tingkat dua, yaitu murid-murid langsung dari mendiang Cap-it Ho-han, yaitu sebelas orang pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Sin Liong sendiri yang juga maklum akan kebiasan kakeknya, tidak berani mengganggu dan dia berada di dalam kamarnya untuk melatih pernapasan seperti yang diajarkan oleh kakeknya.

Kini, anak berusia empat belas tahun ini sudah dapat menguasai hawa sin-kang yang amat kuat di tubuhnya itu, bahkan tahu cara memeliharanya dengan pengumpulan hawa murni dan mengatur pernapasan. Dia dapat pula menggerakkan hawa sin-kang itu di seluruh tubuhnya sehingga biarpun semua ilmu silat tinggi itu belum dikuasainya, namun dengan tenaganya yang dahsyat dia sudah merupakan seorang pemuda tanggung yang amat tangguh.

Kakek Cia Keng Hong duduk bersila di atas batu bulat di kebunnya, di bawah sebatang pohon yang-liu yang daunnya bergerak-gerak lembut tertiup angin senja. Dia bersamadhi dengan tenang, kedua tangannya bersilang di depan dada. Kakek ini tenggelam di dalam samadhinya, dan biarpun kini kesehatannya sudah pulih kembali, namun tenaganya jauh berkurang dibandingkan dengan dahulu. Diapun sudah tidak berminat lagi untuk memperkuat tubuhnya, hanya memperdalam ketenangan batinnya, menghentikan segala macam gangguan pikiran.

Kini tidak ada lagi kedukaan mengganggu batinnya. Dia sudah bertemu kembali dengan puteranya, bahkan telah memberi persetujuan kepada puteranya untuk berjodoh dengan wanita yang dipilihnya. Diapun sudah memberi dorongan kepada puterinya untuk menikmati kehidupan bersama pria yang dicintanya. Dan diapun merasa lega bahwa dia bertemu dengan seorang anak luar biasa seperti Sin Liong sehingga dia dapat menurunkan semua kepandaiannya.

Dalam diri Sin Liong dia melihat bakat yang ada pada dirinya sendiri, dan dibandingkan dengan puteranya, Bun Houw, bakat Sin Liong bahkan masih menang setingkat. Maka hatinya sudah puas dan kakek ini merasa sudah siap untuk meninggalkan dunia ini dengan hati tenang dan tenteram. Tidak ada lagi duka dan persoalan yang mengikat batinnya, maka samadhinya demikian mendalam, membuat dia lupa segala.

Kakek itu yang sudah bebas dari kekhawatiran, tidak tahu bahwa pada saat dia tenggelam dalam samadhinya itu tiba-tiba muncul dua orang yang mendaki puncak dan dengan gerakan yang cepat sekali memasuki taman di belakang pondoknya. Mereka adalah seorang wanita yang cantik sekali bersama seorang nenek bermuka hitam yang memegang sebatang tongkat. Mereka itu adalah Kim Hong Liu-nio dan gurunya, Hek-hiat Mo-li!

Seperti telah kita ketahui, wanita cantik jelita ini, telah berhasil menewaskan seorang di antara tiga tokoh utama yang menjadi musuh besar gurunya, yaitu Tio Sun. Sudah berkuranglah sumpahnya dan kini dia tidak perlu lagi mengejar-ngejar dan membunuhi orang-orang she Tio karena orang she Tio yang utama telah berhasil dibunuhnya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: