***

***

Ads

Sabtu, 04 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 087

Ketika dia sedang menyiksa Sin Liong yang diketahuinya sebagai putera Cia Bun Houw menurut pengakuan anak itu sendiri, dia bertemu dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan dia terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek tua itu. Memang sudah lama dia mendengar tentang ketua Cin-ling-pai itu dari gurunya, akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang tadinya terlalu mengandalkan kehebatan ilmu kepandaiannya sendiri, mula-mula memandang rendah.

Baru setelah dia bentrok dengan Cia Keng Hong, dia terkejut setengah mati dan merasa jerih, meninggalkan kakek itu dan cepat-cepat dia mencari gurunya yang memang sudah hendak turun tangan sendiri, meninggalkan utara, dan kini Hek-hiat Mo-li sudah berada tidak jauh dari tempat itu. Maka Kim Hong Liu-nio lalu menceritakan kepada gurunya tentang pertemuannya dengan pendekar tua Cia Keng Hong dan mengatakan pula betapa lihainya pendekar tua itu.

Mendengar ini, Hek-hiat Mo-li lalu mengajak muridnya untuk melatih diri dan memperkuat diri sebelum mereka berdua turun tangan. Sampai beberapa bulan lamanya guru dan murid ini melatih diri dan setelah merasa diri mereka benar-benar kuat, keduanya lalu pergi mendaki Bukit Cin-ling-san dan pada senja hari itu mereka memasuki kebun dimana pendekar tua Cia Keng Hong sedang duduk bersamadhi seorang diri.

Ketika Kim Hong Liu-nio yang berjalan di depan dengan langkah ringan sekali itu melihat betapa dari kepala kakek yang sedang duduk bersamadhi itu mengepul uap putih yang tebal, dia terkejut dan tertegun, merasa makin jerih.

Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa girang sekali melihat uap putih itu dan dia tahu bahwa saat itu musuh besarnya sedang dalam keadaan “kosong”, maka dengan mukanya yang hitam berubah beringas, nenek ini lalu meloncat dan menggerakkan tongkatnya ke arah punggung kakek itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang sepenuhnya. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi berani dan diapun meloncat dan dengan tangan kanannya dia memukul pula ke arah tengkuk kakek itu.

“Blukk! Plakkk!”

Hantaman tongkat dan tamparan tangan itu tepat mengenai punggung dan tengkuk Cia Keng Hong hampir berbareng akan tetapi kedua orang penyerang gelap itu terkejut setengah mati. Tongkat di tangan Hek-hiat Mo-li patah menjadi dua potong sedangkan Kim Hong Liu-nio merasa betapa telapak tangan kanannya panas dan nyeri bukan main. Mereka terkejut dan meloncat mundur.

Ketika menerima pukulan-pukulan tadi, Cia Keng Hong dalam keadaan samadhi yang amat mendalam, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya sudah amat tinggi, apalagi karena dia telah menguasai Thi-khi-i-beng dengan sempurna, maka tubuhnya dapat secara otomatis menjaga diri dan begitu pukulan-pukulan itu tiba, tenaga sin-kangnya sudah bergerak dan menolak dan mengejutkan kedua orang lawannya, namun sesungguhnya dia telah menderita luka-luka yang hebat di dalam tubuhnya!

Pukulan tongkat dan hantaman tangan guru dan murid tadi hebat bukan main dan takkan dapat tertahan oleh seorang ahli yang bagaimana kuatpun. Jangankan pukulan itu diterima oleh Cia Keng Hong dalam keadaan tidak sadar, bahkan andaikata diterimanya dalam keadaan sadar sekalipun, tentu dia akan terluka hebat.

Akan tetapi hal ini tidak diketahui oleh Kim Hong Liu-nio dan gurunya, maka mereka berdua terkejut bukan main. Kim Hong Liu-nio menjadi makin jerih, akan tetapi Hek-hiat Mo-li yang sudah marah bertemu dengan seorang di antara musuh-musuh utamanya itu, kini sudah menerjang maju lagi dengan tongkatnya.






Tubuh Cia Keng Hong yang masih bersila tadi, kini melayang turun dari atas batu dan dengan dorongan-dorongan kedua tangannya, dia membuat guru dan murid itu terhuyung ke belakang. Pendekar tua itu memaksa dirinya untuk menggunakan sin-kang yang hebat, dan hal ini makin membuat luka-lukanya di dalam tubuh menjadi parah.

Dia maklum akan hal ini, akan tetapi dia tahu pula bahwa tanpa memamerkan kekuatan sin-kangnya dia tidak akan dapat membikin jerih dua orang lawan tangguh ini, dan untuk mengadu silat, dia merasa bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama dengan luka-luka hebat itu. Untuk menambah kekuatannya, Cia Keng Hong mengeluarkan suara melengking dahsyat dan kembali kedua tangannya mendorong ke arah dua orang lawannya dan kembali guru dan murid itu terhuyung ke belakang, biarpun mereka sudah mencoba untuk mempertahankan diri.

Suara melengking itu mengejutkan belasan orang anggauta Cin-ling-pai yang sedang berkunjung dan berkumpul di dalam ruangan besar, juga terdengar pula oleh Sin Liong. Mereka semua menjadi terkejut dan cepat-cepat mereka berlarian menuju ke kebun di belakang.

Ketika melihat betapa ketua Cin-ling-pai itu sedang bertanding dan dikeroyok oleh seorang wanita cantik dan seorang nenek tua bermuka hitam, mereka terkejut sekali dan tidak berani sembarangan turun tangan tanpa ada perintah dari guru besar itu. Akan tetapi, selagi belasan orang tokoh Cin-ling-pai itu tertegun dan meragu, tiba-tiba terdengar gerengan seperti suara seekor monyet besar atau seekor harimau marah dan sesosok bayangan berkelebat dan bayangan itu langsung menerjang Kim Hong Liu-nio dengan terkaman dahsyat dan dengan pukulan kedua tangannya.

Semenjak dia kecil, Sin Liong sudah sering kali melihat orang-orang yang disayangnya dibunuh orang tanpa dia mampu membantu atau mencegah kejadian itu. Pertama-tama dia melihat ibu kandungnya dibunuh orang, biang monyet yang memeliharanya dibunuh orang, kemudian melihat Na-piawsu dibunuh orang. Kini, melihat kakek yang amat disayangnya itu diserang oleh dua orang ini, apalagi mengenal bahwa seorang di antara mereka yang menyerang kakeknya adalah Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan hanya telah membunuh ibu kandungnya akan tetapi yang sudah sering menyiksanya, dia menjadi marah sekali dan timbullah sifat liarnya.

Dia menyerang seperti seekor binatang buas dan kemarahan yang hebat ini mendorong keluar semua tenaga sin-kang yang mengeram di dalam tubuhnya.

Melihat Sin Liong, wanita itu mengenalnya dan tentu saja memandang rendah, bahkan menyambut terjangan Sin Liong itu dengan hantaman tangan kirinya.

“Desss...! Ihhhh...!”

Tubuh Kim Hong Liu-nio terlempar dan bergulingan, lalu dia meloncat bangun, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Tak disangkanya betapa pertemuan tenaga dengan anak berusia empat belas tahun itu membuat dia terlempar, dan hampir saja dia celaka!

Melihat betapa anak itu berani turun tangan membantu guru besar mereka, para anggauta Cin-ling-pai juga lalu menerjang maju. Sementara itu, nenek Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran karena hantaman tongkatnya tadi tidak menewaskan Cia Keng Hong, kini membentak keras dan tubuhnya melayang ke depan, menyerang Cia Keng Hong.

Pendekar ini menanti sampai nenek itu datang dekat, kemudian dengan gerakan istimewa dia menangkis hantaman nenek itu, dan membarengi dengan tamparan tangan kirinya. Itulah gerakan dari jurus Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun yang tidak disangka-sangka oleh Hek-hiat Mo-li, maka tanpa dapat dicegah lagi pundaknya kena ditampar sehingga diapun terlempar dan jatuh bergulingan seperti halnya Kim Hong Liu-nio tadi.

Akan tetapi baik nenek muka hitam ini maupun Kim Hong Liu-nio, telah memiliki kekebalan yang luar biasa, kekebalan yang bukan hanya dapat menghadapi pukulan kosong bahkan mampu bertahan terhadap pukulan sakti dan pukulan senjata tajam! Kekebalan inilah yang dahulu membuat mendiang kakek Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li amat sukar dilawan dan barulah pendekar Cia Bun Houw berhasil membunuh Pek-hiat Mo-ko dan Yap In Hong berhasil melukai Hek-hiat Mo-li setelah mereka berdua ini mengetahui rahasia kelemahan kakek dan nenek itu (baca cerita Dewi Maut).

Cia Keng Hong sudah mendengar dari puteranya bahwa nenek ini memiliki kelemahan di telapak kakinya, akan tetapi karena dia sendiri sudah terluka hebat, maka tidak mudah baginya untuk menyerang tempat berbahaya lawan ini. Apalagi hantaman-hantaman yang dilakukannya tadi menggunakan sin-kang pula sehingga keadaannya menjadi makin parah dan hampir saja dia tidak kuat berdiri lagi. Hanya dengan paksaan dan pengerahan tenaga terakhir dia masih mampu menghadapi lawan.

Kini para anggauta Cin-ling-pai sudah mengeroyok nenek dan wanita cantik itu, dan Sin Liong yang terutama sekali menerjang dan mendesak Kim Hong Liu-nio yang dibencinya.

Melihat betapa kakek Cia Keng Hong benar-benar lihai bukan main, kini ditambah pula oleh orang-orang Cin-ling-pai, nenek dan muridnya itu mulai merasa gentar. Mereka mengamuk dan ada empat orang anggauta Cin-ling-pai yang roboh dan tewas, sedangkan Sin Liong yang baru menguasai teori-teori belaka dari ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja dalam ilmu silat masih kalah jauh dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio sehingga berkali-kali dia kena dihantam sampai bergulingan.

Akan tetapi diam-diam Kim Hong Liu-nio bergidik karena bukan saja anak itu tidak sampai tewas atau terluka oleh hantamannya, bahkan sering kali tangannya melekat dan tenaganya tersedot oleh ilmu Thi-khi-i-beng yang amat ditakutinya itu. Kalau saja dia tidak memperoleh latihan khusus dari gurunya untuk melepaskan diri terhadap ilmu mujijat itu, tentu dia sudah kena ditempel dan disedot sampai tehaganya habis oleh anak ini!

Setelah berhasil merobohkan empat orang, Hek-hiat Mo-li maklum bahwa dia dan muridnya takkan berhasil, bahkan kalau tokoh-tokoh lain seperti putera Cin-ling-pai itu, dan wanita perkasa Yap In Hong muncul, juga kakak wanita itu yang bernama Yap Kun Liong tentu dia dan muridnya akan celaka.

“Mari kita pergi!” bentaknya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang jauh, pergi dari situ. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio juga meloncat pergi menyusul gurunya.

Sin Liong yang marah sekali sudah bergerak hendak mengejar, juga para anggauta Cin-ling-pai, akan tetapi terdengar suara lemah kakek itu mencegah,

“Jangan kejar...!”

Sampai lama Sin Liong dan para anak buah Cin-ling-pai berdiri memandang ke arah lenyapnya dua orang musuh itu, kemudian para bekas anggauta Cin-ling-pai itu sibuk merawat mereka yang luka dan tewas dalam pertempuran itu.

“Kong-kong...!”

Teriakan itu mengejutkan semua orang. Mereka menengok dan melihat Sin Liong menangis di depan kakek yang telah duduk bersila kembali di atas batu itu. Semua bekas anggauta Cin-ling-pai berlari menghampiri dan terkejut bukan main melihat bahwa guru besar mereka itu ternyata telah tak bernapas lagi! Kiranya setelah mencegah semua orang mengejar musuh-musuh yang amat lihai itu, Cia Keng Hong kembali duduk bersila dan kakek ini melepaskan napas terakhir sambil duduk bersila.

Pukulan-pukulan dua orang lawan yang amat lihai itu tadi telah mengguncangkan jantung dan melukai isi dada dan perutnya. Hanya karena semangatnya yang luar biasa saja kakek tua renta ini tadi masih mampu melawan, bahkan membikin jerih hati musuh-musuhnya.

Akan tetapi justeru perlawanannya itu membutuhkan pengerahan tenaga dan dalam keadaan luka hebat dia mengerahkan tenaga, maka hal ini tentu saja membuat luka-lukanya menjadi makin parah dan yang mencabut nyawanya setelah dia duduk bersila.

Sin Liong yang pertama kali melihat keadaan kakek itu, menjerit dan dalam kedukaannya dia sampai lupa diri dan menyebut kakek itu “kong-kong” karena dia memang merasa amat sayang kepada kong-kongnya (kakeknya) itu. Melihat kakeknya mati, dia berteriak lalu menangis mengguguk seperti anak kecil.

Belum pernah selamanya dia menangis seperti itu. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis dan setelah berhenti menangis, dia hanya diam saja seperti patung, ketika melihat para bekas anak buah Cin-ling-pai sambil menangis lalu mengangkat jenazah itu, bersama empat orang anggauta Cin-ling-pai lainnya, membawanya masuk ke dalam pondok.

Sampai semua jenazah dimasukkan peti dan dijajarkan di ruangan depan dengan peti jenazah bekas ketua Cin-ling-pai itu di depan dan empat buah peti jenazah para anggauta itu di belakang, Sin Liong tidak pernah menangis lagi, juga tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Akan tetapi dia hanya duduk bersila di dekat peti jenazah kongkongnya itu, tak pernah makan tak pernah tidur, hanya duduk bersila seperti sebuah arca.

Setiap kali terdengar orang menangis dan berkabung, para keluarga empat orang anggauta Cin-ling-pai itu. Bekas anak buah Cin-ling-pai berbondong-bondong datang dan menangis. Berita secepatnya dikirim melalui dunia kang-ouw dan beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah Cia Bun Houw dan Yap In Hong, lalu Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng yang datang bersama. Riuh rendah tangis mereka di depan peti mati.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda itu, Yap Mei Lan, Lie Seng, Souw Kwi Eng dan Souw Kwi Beng, datang ke Cin-ling-pai untuk mengabarkan tentang kematian Tio Sun di tangan ketua Hwa-i Kai-pang yang kenal baik dengan ketua Cin-ling-pai, kong-kong dari Lie Seng. Akan tetapi, ketika mereka akhirnya tiba di Cin-ling-san, mereka hanya mendapatkan bahwa ketua Cin-ling-pai telah tewas.

Setelah bertangis-tangisan dan berkabung, Bun Houw dan isterinya bercakap-cakap dengan empat orang itu. Sebenarnya, kalau saja tidak terjadi hal yang menyedihkan berhubung dengan kematian kakek Cia Keng Hong, tentu pertemuan itu akan menggembirakan sekali, Yap Mei Lan adalah keponakan dari In Hong, dan Lie Seng adalah keponakan dari Bun Houw. Bahkar, Souw Kwi Eng pernah ditunangkan dengan Cia Bun Houw (baca Dewi Maut)!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: