***

***

Ads

Sabtu, 04 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 090

Kita tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu.

Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Dia telah memperlihatkan kepada semua keluarga musuhnya, juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya bahwa hari ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu dari ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah terkejut dan kagum sekali ketika bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya itu. Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apalagi menangis!

Setiap kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, dan wajah yang sedikitpun tidak kelihatan takut atau khawatir! Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong kalau merasa betapa anak itu sudah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan lumpuh.

Setelah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itupun memandangnya dengan sinar mata berapi-api.

“Ha-ha-ha, mengapa engkau melotot kepadaku?”

Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk menutupi kemendongkolan hatinya. Dia ingin melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, akan tetapi ternyata setelah dia memiliki kepandaian, musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya.

“Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!”

Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu saja kalau menghadapi musuh! Apalagi jahat, dia malah menentang kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.

“Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau sombong, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?”

“Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuh aku, kakek tua bangka yang berhati curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!”






Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.

“Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Kalau aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!”

Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi.

Setelah hari menjadi gelap, kakek itu telah mendaki sebuah puncak bukit yang penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan luas. Sambil terkekeh senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.

“Kau tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?”

Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu tiba-tiba dia meludah,

“Cuhh! Daripada minta ampun kepadamu, lebih baik aku mati seribu kali!”

Ouwyang Bu Sek berjingkrak, berloncatan saking marahnya. Sudah gatal-gatal kedua tangannya hendak menghantam anak itu dan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan mati.

“Begitu, ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!” teriak kakek itu dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu salib dengan kedua lengan terpentang itu.

Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang menyeramkan, apalagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua iblis dan setan berkeliaran di tempat itu.

Malam makin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makluk-makluk aneh dan berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu seperti berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah bentuknya. Bukan main indahnya

Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia telah berkorban untuk kong-kongnya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biarpun dia akan mati karenanya, dia merasa puas.

Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada seorangpun diantara mereka yang memperdulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka!

Tiba-tiba, di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di sekelilingnya, terdengar suara aneh. Suara melengking nyaring yang makin lama makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tidak mampu bergerak karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tiba-tiba matanya terbelalak.

Dia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan yang mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana mungkin ada mahluk lain seperti ini?

Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan sebentar saja rasa kaget dan ngerinya telah mereda, bahkan kini dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa mahluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil bersepatu dan tiba-tiba dia tersenyum,

“Kakek cebol tolol! Kau kira aku takut dengan permainanmu ini?”

Mendengar ucapan itu, mahluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa dan sekali berkelebat mahluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali. Sin Liong menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Hemm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh, minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu.

Demikianlah watak Sin Liong, makin ditekan dia, makin melawan dia. Makin dihimpit, makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan.

Tiba-tiba dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia melihat bayangan sebuah kerangka manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat tajam itu melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu dan dia tertawa.

“Ha-ha-ha, kakek tolol. Kau kira aku anak kecil yang mudah kau takut-takuti begitu saja? Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut padamu?”

Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya. Memang, rasa takut itu hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang telah kita kenal, baik kita kenal melalui pengalaman kita sendiri, maupun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar atau baca dalam buku.

Orang yang takut setan tentu pernah mengenal setan itu melalui cerita orang atau dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut. Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut terhadap setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tidak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi.

Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita khawatir kalau-kalau kita akan diganggu setan, maka timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu di masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut.

Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.

Dengan membuka mata memandang semua ini, timbullah pengertian bahwa yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita kira mungkin akan terjadi menimpa diri kita. Oleh karena itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah ada lagi rasa takut di dalam batin kita?

Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andaikata ada setan muncul pada suatu waktu di depan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat!

Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?

Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu! Memang luar biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah!

Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu makin penasaran karena dia ingat bahwa anak ini adalah cucu dari musuh besarnya.

“Hendak kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang mengerikan,” katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.

Salak dan gonggong anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, melainkan srigala!

Srigala-srigala yang liar dan buas! Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah lapar betul dan ingin menikmati daging manusia muda itu!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: