***

***

Ads

Senin, 06 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 092

“Eh, eh, kau sudah sadar...?”

Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong. Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.

“Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biarpun sudah tidak berbahaya lagi.”

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringatlah dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan. Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya,

“Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?”

Kakek itu terkekeh dan mengangguk.
“Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau disana, apa kau kira masih hidup saat ini?”

Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu makin kagum sekali.

“Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?”

Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi diapun berwatak aneh dan biasanya diapun tidak mau tunduk kepada siapapun juga.

“Aku memang mau begitu.”

“Aku tidak membutuhkan pertolonganmu.”

“Akupun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong.”

“Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai.”

“Huh, apa kau kira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya berbakti kepada kong-kongmu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai.”

“Buktinya?”

“Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu.”






Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya sakit juga. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tidak berusaha menolongnya, padahal dia telah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas.

“Betul juga, mereka tidak suka kepadaku,” katanya.

Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya.

“Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada disana dan ikut berkabung?”

Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu itu.

“Aku tidak punya ayah ibu, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!”

“Eh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?”

Sin Liong menggeleng kepalanya.
“Dia pernah menolongku dan kusebut kong-kong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku...”

“Dan beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!”

“Apa kebetulan?”

“Kau sebatangkara, aku sebatangkara, aku suka kepadamu dan...”

“Dan aku tidak suka padamu!”

“Kenapa?”

“Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kong-kong.”

“Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia sudah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa mendongkol di hatiku, apa salahnya?”

“Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh.”

“Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel dan membikin hatiku penasaran.”

“Lalu kau mau apa sekarang?” tanya Sin Liong.

“Mau apa? Mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal disana bersamaku, menjadi muridku, menjadi anakku... heh-heh, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!”

“Tidak, aku mau pergi saja!”

“Kembali ke Cin-ling-san dimana semua orang tidak suka padamu?”

“Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi kemana saja!”

“Kalau tidak karuan yang kau tuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu.”

Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek,

“Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!”

“Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, takkan mampu melawanku. Sekarangpun, kalau mereka maju satu demi satu, apa kau kira aku kalah?”

“Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kong-kong merupakan seorang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kong-kong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai dimana aku belum tahu.”

Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Lalu dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu. Sin Liong hanya mendengar suara “plak-plak!” akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang!

Sin Liong hampir tak kuat menahan ketawanya. Dia memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.

“Uh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalatpun tidak akan mati kau tampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?”

“Eh, apa engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!”

Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu. Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget karena ternyata batu itu telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Pukulan-pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata telah meremukkan batu dan mematahkan pohon di bagian dalamnya, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah.

Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kong-kongnya, namun yang dipelajarinya baru teorinya saja, karena kong-kongnya agaknya sudah dapat menduga bahwa dia akan meninggal dunia tak lama lagi, maka semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.

“Bagaimana? Kau masih memandang rendah kepadaku?” Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.

“Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?”

Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan diapun berkata,

“Akupun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kitapun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid.”

Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tidak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kong-kongnya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, setelah melihat ayah kandungnya mempunyai isteri lain dan tidak suka kepadanya sungguhpun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.

“Baik, saya mau ikut locianpwe,” katanya.

Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya lari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.

Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, setiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sin-kangnya mengobati luka di dalam dada Sin Liong.

Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sin-kang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sin-kang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat.

Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir.

Mulailah Sin Liong dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang kong-kongnya.

Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu.

Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang amat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan itu semua, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersamadhi atau merenung. Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.

“Ha-ha-ha, kiranya Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang datang berkunjung. Ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!” Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: