***

***

Ads

Senin, 06 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 094

“Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Ben Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlalu tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu dan engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini.”

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas lalu membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang amat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Akan tetapi kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.

“Aku telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini.”

Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam guha, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi guha rahasia itu.

“Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?” tanyanya.

“Ha-ha, itu akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan biarpun orang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak.”

“Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?”

“Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!” kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar guha di depan batu dan kakek itu berkata, “Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi membimbing agar sute dapat mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil.”

Sin Liong hanya meniru saja ketika suhengnya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.

“Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute.”

Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhunya merasa senang dan lain-lain?






“Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya.”

“Heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia.”

“Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku tentang suhu itu.” Sin Liong merasa tertarik sekali.

Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di depannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.

“Guru kita, yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang sudah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi,” kakek itu mulai bercerita dengan suara sungguh-sungguh. “Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puneak Pegunungan Himalaya...”

“Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?”

Kakek itu mengangguk.
“Ya, sampai sekarang.”

Sepasang mata Sin Liong terbelalak.
“Tidak mati?”

Kakek itu tersenyum.
“Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Tapi dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah memiliki tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Kalau sudah ada kontak, biar di sinipun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke manapun dalam sekejap mata.”

“Bagaimana caranya?”

“Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan.”

Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu. Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar, hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain daripada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini!

Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta, kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini, sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam.

Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi di waktu kita bernapas, di waktu jantung kita berdenyut, di waktu rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggauta tubuh kita hidup. Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam sinar matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita!

Kita sudah buta akan semua itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.

Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan memang mungkin saja terjadi. Apapun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terwujud, sungguhpun ujud itu bukan merupakan kenyataan melainkan hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan daripada khayal kita sendiri.

Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah suatu ujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain.

Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya.

Hal ini adalah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka. Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat “bertemu” dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, sungguhpun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya.

Dan tidak aneh pula kalau dia dapat “bercakap-cakap” dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat pula “bercakap-cakap” di dalam batin kita, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?

Betapapun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang amat tinggi, dan mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek. Dan memang Sin Liong memiliki bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.

**** 094 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: