***

***

Ads

Senin, 06 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 097

“Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku,” kata kakek petani itu.

Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.

Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.

Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti dapat kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia persilatan.

Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja.

Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun, akan tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang sudah merupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh.

Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati.

Sebenarnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.

“Dukk...!”

Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.

“Plakkk!”

Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.

“Hehh...!”






Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga.

Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran.

Para penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang sedang bertanding itu. Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap pemuda itupun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini.

Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian yang makin lama makin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh tingkat empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggauta Pek-lian-kauw, dan pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan dia sudah enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, maupun pengalaman.

Maka setelah pertandingan berlangsung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main. Di lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka perkelahian itu kini bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan!

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan dia sudah menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa. Dia tidak memperdulikan lagi segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan dan memperoleh kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan membiarkan diri terbuka.

Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu dan dia tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu amat berbahaya dan dapat membuat dia terluka, baik menang maupun kalah dalam adu tenaga itu. Maka dengan kecepatan kilat, menggunakan gin-kangnya yang diandalkan, dia melempar diri ke samping dan berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi pemuda ini masih sempat sambil mengelak itu mengayun tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu.

“Dukkk...!”

Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul.

Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya menonjol di seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundak, memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.

Dua ekor ular itu sebetulnya adalah ular-ular aseli, hanya saja ular yang sudah mati dan diberi obat menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.

“Sute, kau minggirlah!” bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi.

Kakek petani itu meringis, mengangguk dan kembali ke tempatnya dimana dia lalu diberi sebutir obat oleh Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.

“Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau telah mengalahkan suteku, marilah engkau main-main sebentar denganku! Kalau engkau takut, biar aku mengampuni orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelinding pergi dari tempat ini!”

Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu mengeluarkan suara berkerotokan!

Melihat ini, Sin Liong terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid Cin-ling-pai itu memaksa diri maju dia akan celaka di tangan raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur, apalagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, amat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.

“Hemm... siapa takut...”

“Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila pemilihan bengcu!”

Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu adalah pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini pemuda remaja itu sudah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas, hal ini membuat orang merasa geli.

Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentu mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka memanjat seperti seekor monyet.

Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya, dan si kakek raksasa juga menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kini sudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek raksasa.

“Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal peraturan!”

Demikian Sin Liong berteriak sambil memandang keempat penjuru sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang dikembangkan seperti gaya seorang ahli pidato di depan rapat umum.

“Saudara ini adalah seorang di antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan ingin mengujinya apakah benar-benar dia tokoh Cin-ling-pai dan cu-wi telah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah tokoh Cin-ling-pai dan sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dan tentu menjadi lelah. Kalau ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai disini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!”

Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee, dan mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat,

“Taihiap, harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya sayembara perebutan kedudukan bengcu. Adapun badut-badut yang hendak mengacau, biarlah serahkan saja kepadaku.”

Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya seperti kaum atasan memandang kepada bawahannya dan dia masih berkata,

“Kau hati-hatilah!” lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya semula.

Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu.

Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik ke panggung saja harus memanjat itu kini hendak mewakili pemuda Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong dan sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sutenya itu mundur, dia menjadi marah sekali.

“He, bocah ingusan! Apa kau sudah gila? Mau apa engkau naik kesini dan menyuruh lawanku mundur? Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta ampun...!”

Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela.
“Eeihhh! Siapa bilang dia tidak berani? Dia masih terlampau tinggi kedudukannya untuk melawanmu. Bukankah dia calon bengcu? Masih ada aku disini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?”

Kakek itu terbelalak.
“Kau...? Kau maksudkan bahwa engkau berani melawan aku? Ha-ha-ha-ha!”

Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang hadir ikut pula tertawa.

“Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau, jangan tertawa dulu. Ketahuilah bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tidak ada keduanya di dunia ini. Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: