***

***

Ads

Senin, 06 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 100

Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.

Pada saat itu, nampak bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong.

Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.

Tadi Sin Liong penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia hanya mewakili suhengnya untuk menonton dan menerima pesan dari suhengnya agar ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu.

Demikianlah, melihat bahwa tidak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata,

“Harap maafkan saya.”

Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali.
“Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kau lawan pinto!”

Kembali Sin Liong menjura,
“Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja.” Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.

Marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai?

“Bocah hina, hayo kau naik ke sini!” bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung.

“Syuuuuttt...!”

Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, namun amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.






“Hemmm, harap jangan mendesak, locianpwe!”

Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah.

Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.

“Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau bertanding dengan seorang diantara penonton. Kecuali kalau pemuda remaja itu diangkat menjadi calon pula, maka totiang akan dapat berhadapan dengan dia nanti secara sah.”

“Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!”

Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai dan suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai dan dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah, apalagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.

Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas.
“Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!”

Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata lantang,
“Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, kalau totiang menghendaki apapun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang.”

Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lalu berkata,

“Engkau tunggulah saja!” Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.

Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan oleh ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang diadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dulu untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan diantara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.

Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak.

Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia bertubuh tinggi kurus, mulutnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah amat terkenal karena dia diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengenal sampai dimana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan gelandangan, tentu saja Lam-thian Kai-ong ini biasanya mengundurkan diri di tempat sunyi dan jarang sekali bentrok dengan fihak lain.

Memang, di dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan lain, karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis? Tidak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar dilawan! Hanya kabar-kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa.

Adapun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu (pengawal barang kiriman), sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar. Biarpun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, namun orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah senjata Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian yang lihai.

“Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak menggunakan tongkatmu?” Ouw-kauwsu bertanya.

Raja Pengemis itu tersenyum.
“Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan? Pertama dengan tangan kosong dan kalau selama seratus jurus dengan tangan kosong ini belum ada yang menang atau kalah, barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, pangcu?” tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk.
“Hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui.”

“Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik.”

Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya kakek itu sehinga tongkat bambu dapat menancap di papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja.

Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, maka dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan kedua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka dan membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang terkenal sekali dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diseling totokan jari tangan yang amat lihai.

Agaknya Lam-thian Kai-ong juga mengenal ilmu itu, maka dengan tenang diapun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.

“Lihat serangan!”

Ouw Bian mulai menyerang, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup mengandung maut!

“Bagus!”

Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan setelah menghindarkan cakaran pada kedua matanya berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelak serangan lawan maupun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.

“Hemm... dukk!”

Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan.

Pertandingan berjalan makin cepat, sehingga akhirnya mereka yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya menjadi kabur pandang mata mereka dan tidak lagi dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi satu!

Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon bengcu masih dapat mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal kecepatan gerakan.

Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan kedua cakar tangannya menjadi makin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh) itu dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya.

Terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan.

Sungguh mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang tidak kecil itu. Kiranya di antara pengemis-pengemis itu banyak yang mempunyai simpanan uang besar!

Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding itu belum juga dapat merobohkan lawan. Kalaupun ada pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan, namun kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan, padahal, dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar panggung.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: