***

***

Ads

Rabu, 08 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 102

“Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!” tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.

“Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat.”

“Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!”

Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.

“Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tidak perlu turut campur!”

Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sutenya.

Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?

“Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!”

Sambil berkata demikian, Tong Siok sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar.

Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan.

Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.

“Pergilah!”

Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.

“Trang... krekkk!” Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!






“Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!” kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali.

Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring,

“Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!”

Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.

“Sute...!”

Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya itu sudah menyerang dengan cepat.

“Ha-ha-ha!”

Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.

“Dukkk...!”

Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.

“Sluppp...!”

Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!

“Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!” teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sutenya.

“Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah?”

Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar suara “krekk!” dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas!

Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu.

Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang.

“Eh, kenapa main-main dengan perut orang?”

Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara “plakk” dan tubuh Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya.

Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.

“Terima kasih...!”

Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.

Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.

“Siapa engkau, bocah setan?” bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.

“Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang,” kata Sin Liong dengan marah.

“Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?” teriak Hai-liong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang, “Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!”

Sin Liong tersenyum,
“Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo.”

“Keparat!”

Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!

Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya.

Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng sepenuhnya.

“Plakk...! Aihhhhh...!”

Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar. Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan.

Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!

“BOCAH SETAN! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?”

Tiba-tiba orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian.

Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun.

Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi “subengnya” dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya.

Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat dimana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!

“Aihhh!”

“Ohhh...!”

Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun.

Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.

Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: