***

***

Ads

Rabu, 08 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 106

Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul.

Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.

“Mengapa, berhenti, Houw-ko?” Akhirnya dia bertanya.

“Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kau gantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan,” kata pangeran itu sambil tersenyum.

Sin Liong juga tersenyum.
“Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah...”

“Ah, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat menggunakan anak panah?”

Sin Liong menggeleng kepala.
“Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja.”

“Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang? Dan anak panah bukan hanya senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang kau miliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kau ambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang. Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!”

Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali.

Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging dan hati kijang.

Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam.






Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong.

Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya lentang orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.

“Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?”

Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik.
“Kalau engkau menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?”

Pangeran itu menarik napas panjang.
“Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun Houwo hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apalagi aku suka dan tertarik kepadamu...”

“Aku bukan anaknya!”

Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.

Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang pangeran, adik kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apalagi menjilat.

Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.

“Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?” Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.

“Aku tidak punya she!” jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.

Kembali Han Houw tersenyum.
“Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?”

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.

“Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek,” jawabnya pendek.

“Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan, dengan kakek aneh itu, Liong-te?”

Sin Liong menggeleng kepala.
“Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu kepadaku.”

Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.

“Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh luar biasa anehnya!” Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.

“Apanya yang luar biasa aneh?”

“Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu?”

Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala.
“Houw-ko, aku minta kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami...”

“Bukan main...!” Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. “Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kau beri tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik.”

Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.

“Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya di Himalaya.”

Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak.
“Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?”

“Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran...”

“Getaran? Bagaimana maksudmu?”

“Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu.”

Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum.
“Aihhh...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru kepadanya.”

Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.

Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!

Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: