***

***

Ads

Rabu, 08 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 108

“Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara.”

“Ahhh...!”

Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya. Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!

“Apakah engkau menolak, Liong-te?” pertanyaan itu diucapkan dengan suara demikian halus sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.

“Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskan aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko...?” katanya gagap.

Han Houw merangkulnya dan tertawa.
“Pantas? Ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman.”

Dan benar saja, ketika mereka memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap dan mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriah. Kiranya pangeran itu telah memesan kepada Gu-taijin dan telah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak!

Sin Liong merasa kikuk sekali. Apalagi karena Gu-taijin sendiri, dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah, bersama dengan lima orang dara lain yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan!

Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali, melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia dan lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi nona-nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantungnya berdegup tegang.

Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong dan bertanya,

“Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini?”

Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tidak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya.

“She Liong...” jawabnya berbisik pula.

Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk.
“She ibumu...?”






Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja?

Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw.

“Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah mengangkat saudara satu sama lain dan kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua.”

Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu lalu bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata.

“Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu.”

Han Houw balas mengangkat kedua tangan, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri.

“Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!”

“Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!”

Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han How.

“Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!”

Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, diikuti pula oleh isterinya dan puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.

Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu dan untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya dan puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik.

Juga dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia amat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah dan ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw. Yang membuat dia merasa jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu.

Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali!

Sin Liong memejamkan mata dan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia mengira bahwa mungkin pengaruh arak yang membuat Han Houw bersikap seperti itu, akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan suka menggoda wanita!

Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri.

“Ah, kau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah kau pandai menari, siocia? Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami?”

Ayah dan ibu gadis itu ikut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pi-pa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan Gu-siocia dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia nampak lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, mulai menari.

Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi dan nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun seperti tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!

Setelah nona itu selesai menari, Han Houw bertepuk tangan memuji.
“Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!”

“Pangeran terlalu memuji...” kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu seperti nyanyian dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.

“Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat...” kata Sin Liong.

Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri.
“Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin.”

“A-bwee, antarkan pangeran dan Liong-kongcu ke kamar mereka!” perintah sang ayah kepada anaknya.

Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Setelah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, dan Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya.

Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya, yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.

“Liong-te, kau pilihlah. Siapa di antara mereka yang kau pilih untuk menemanimu?” Han Houw bertanya sambil tersenyum.

Wajah Sin Liong menjadi berubah dan matanya terbelalak.
“A... apa...? Apa maksudmu...?” tanyanya gagap dan lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, sedangkan Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu karena tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.

“Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kau pilih yang mana? Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kau ambillah dia...!”

Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan. Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi cepat dilepaskan kembali pinggang ramping itu dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.

“Aku... aku... tidak...”

“Jangan malu-malu, Liong-te...”

“Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja...” Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.

“Bagaimana, Liong-te?”

Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas,

“Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku hendak beristirahat, harap Houw-ko meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini.”

“Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu.”

Pangeran itu tertawa-tawa, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya dan dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang.

Suara ketawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya. Biarpun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak pernah bicara tentang tata susila.

Betapapun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian setelah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dan Pangeran Ceng Han Houw itu adalah perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila! Biarpun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar dan darahnya bergejolak!

Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur. Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara halus dan ketawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi, matanya selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: