***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 112

Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat sekali karena pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sungguh tidak ada artinya.

Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging dan tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ.

Kiranya tidak ada orang yang akan sanggup menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat sehingga tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila!

Mukanya sudah habis dicakarinya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya!

Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang amat mengerikan, orang yang mukanya sudah tidak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, kemudian kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!

Menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan ini sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa amat ngeri. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.

Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Biarpun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga biarpun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu mati di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dia yang telah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya.

Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.

“Sri baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda mengumpulkan orang-orang tak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?”

Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh sekali, bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Oleh karena itu, Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan sayembara ini.

Dia sengaja tidak memberitahu karena takut kalau-kalau gurunya itu akan merasa tersinggung. Siapa kira, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!






“Harap subo memaklumi,” katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. “Memang aku mengadakan sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu.”

“Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemmm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai daripada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada yang mampu menandingi saya. Heh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?”

Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya lalu berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.

Ditantang di depan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu, maka karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, keduanya seperti berlomba telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu.

Mereka berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah saingan-saingan untuk memperebutkan kedudukan guru pangeran. Akan tetapi karena nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak mengenal takut.

“Heh-heh-heh, alangkah lucunya!” Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan sikap merendahkan. “Orang-orang macam kalian ini hendak menjadi guru pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan ini!”

Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam waktu singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!

Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan hawa panas menyengat dan biarpun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka merekapun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu menggunakan kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis.

“Aduhhh...!”

“Akhhh...!”

Tosu itu terhuyung karena biarpun sudah amat cepat dia mengelak, tetap saja pundaknya keserempet tongkat, sedangkan Lama itupun terhuyung karena ketika lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan menjalar ke pundak.

“Heh-heh-heh, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?” ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya.

Memang tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kedua orang itu, maka biarpun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tewas, tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat sedangkan Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung tenaga sin-kang ampuh sekali.

Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru!

Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, apalagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semua telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai sudah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan. Akan tetapi, nenek keriputan itu tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, tentu saja bukan seperti senyum lagi jadinya.

“Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang mampu melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!” tantangnya.

Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Tentu saja di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biarpun guru seorang pangeran? Apalagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu.

Mereka merasa penasaran sekali Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah tiba di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tidak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biarpun mulut mereka tidak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.

“Heh-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!”

Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayun tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.

Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan sudah bangkit berdiri untuk menegur subonya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata,

“Ayah, biarkanlah. Akupun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo agar dia tidak marah-marah.”

Sementara itu, para tamu yang melihat sikap nenek itu, sebagian merasa jerih dan sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang,

“Heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorangpun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!”

Rombongan tosu dan rombongan Lama sudah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak memperdulikan ulah nenek gila di atas panggung.

“Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tidak seorangpun di dunia ini yang berani melawanku?”

“Aku yang berani! Aku berani melawanmu!”

Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda berdiri tegak menghadapi nenek gila itu.

Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong! Pemuda ini sejak tadi sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, apalagi menyaksikan kekejamannya, kemudian melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia sudah meloncat ke depan nenek itu dan menyambut tantangannya.

Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga dan panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.

“Liong-te, jangan...!”

Han Houw juga terkejut sekali dan berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, nenek Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.

“Heh-heh, mampuslah, bocah!” bentaknya dan tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya.

Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat daripada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap amat merendahkan dan menghinanya di depan orang banyak. Maka dia menyerang hebat, dengan maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.

“Krekk...! Plakk...!”

Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada saat itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah.

“Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!”

Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa seperti mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja telah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya dan membuatnya terdorong mundur dan terhuyung, dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya!

“Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!”

Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana.

“Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...”

Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak perduli akan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan.

“Oguthai, siapakah dia itu?”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.

“Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku.”

“Adik angkat? Dia... dia hebat sekali...”

Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman. Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subonya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis sehingga tongkat subonya patah dan subonya terdorong mundur, dia benar-benar merasa takjub sekali. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.

“Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suhengku.”

“Hee? Bagaimana ini?” Raja itu bertanya heran.

“Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka diapun terhitung suhengku.”

“Ah, bagus sekali!” raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subonya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. “Siapakah gurumu itu?”

“Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw...”

“Ahh...?” Raja Sabutai terbelalak dan memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. “Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi... itu adalah nama tokoh dalam dongeng...”

“Akan tetapi buktinya, Liong-te telah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?” bantah Han Houw.

“Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?” Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidak-percayaan.

Sin Liong menjura.
“Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu.” Kemudian dia menoleh kepada Han Houw dan berkata, “Houw-ko, maafkan aku, kalau engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan.”

“Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu,” kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.

“Bantuan apakah itu, Houw-ko?”

“Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran, maka keselamatanku terancam. Karena itu, aku sendiri akan mencarinya dan harap kau suka membantuku.”

“Hemm... kalau begitu baiklah.” kata Sin Liong tidak mampu menolak karena dia tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri.

Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, terutama permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi telah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa.

Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh! Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.

Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Ketika Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.

Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia merasa penasaran bahwa dia belum sempat untuk menemui Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu. Dan diapun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.

**** 112 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: