***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 114

Kemudian, sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah dan terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apalagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan mengapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya.”

“Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!” Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. “Jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan.”

“Tenanglah, dan biarkan pangcu menjelaskan. Bagaimana selanjutnya, pangcu?” tanya Yap Kun Liong.

Kakek pengemis itu menarik napas panjang.
“Sudah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, biarpun menjadi pengemis akan tetapi belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Banyak memang saya membunuh orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apalagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang kini menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu.”

“Apa yang sesungguhnya terjadi?” Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.

“Semua adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi dalam gedung Lee-ciangkun, bahkan dia menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa kepada kaisar dan dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan perajurit-perajurit pengawal, saya memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya.”

“Tidak masuk akal,” Souw Kwi Eng membantah. “Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?”

“Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar,” pengemis tua itu berkata, “tadinya sayapun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke manapun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan diapun pernah mengaku bahwa ketika dia membunuh anggauta kami she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukan Hwa-i Kai-pang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggauta kamipun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio.”

“Ah, keteranganmu memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!” Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. “Kiranya nenek tua bangka itu memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan dia telah dibantu oleh Lee-ciangkun untuk melaksanakan hal itu, bahkan lalu melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!”






Semua orang mengangguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak.
“Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe...”

“Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!” kata Bun Houw marah.

“Dan pembesar Lee yang curang dan pengecut itupun harus diberi hukuman yang setimpal!” kata pula Lie Seng.

“Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sukarlah untuk mengganggunya,” kata Hwa-i Sin-kai. “Kalau kita menyerang gedungnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal...”

“Ah, adik dari Panglima Lee Cin?”

Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.

“Lebih baik lagi kalau begitu,” Yap Kun Liong berkata, “biar kutemui Panglima Lee Cin yang kita mengenalnya sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar.”

“Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis macam Kim Hong Liu-nio dan gurunya.” kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena diapun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan dan kekhawatiran.

“Ada pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!” kata Cia Giok Keng kepada suaminya.

“Ah, apa sebabnya?”

“Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!” jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.

“Kita serbu saja dan usir mereka!” kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.

Tiba-tiba terdengar suara lantang di luar,
“Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!”

Yap Kun Liong mengerahkan khi-kangnya dan berseru dari dalam ruangan itu.
“Apakah dosa kami hendak ditangkap?”

Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.

Suasana menjadi sunyi sekali setelah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan penuh perhatian, semua mata memandang keluar dan hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu. Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguhpun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara inipun cukup nyaring melengking didorong oleh tenaga khi-kang yang kuat.

“Kami membawa perintah Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kai-pang dan Pek-lian-kauw. Oleh karena itu menyerahlah kalian berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!”

“Keparat!”

Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar. Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, akan tetapi mereka tidak pernah memberontak.

Kini, mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kai-pang yang dicap pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja telah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dan diapun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Maka kemarahannya meluap dan dia sudah berlari keluar dan mengamuk, merobohkan beberapa orang perajurit dengan tongkatnya yang digerakkan secara lihai bukan main.

Gegerlah para perajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adatah ketua Hwa-i Kai-pang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu. Akan tetapi, komandan pasukan memberi aba-aba dan kakek inipun dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung.

Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi perajurit roboh oleh amukan tongkatnya, akan tetapi kini para perajurit mempergunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah.

Dihujani serangan tombak dan anak panah, walaupun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itupun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya.

Kalau dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan gin-kangnya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam kepada Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu dan Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu.

Sekarang, setelah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, setelah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh Hwa-i Kai-pang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tidak ingin untuk lari menyelamatkan diri, melainkan mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.

Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya!

Para tamu tidak ada yang berani ikut mencampuri, apalagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dianggap pemberontak oleh permerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.

Setelah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan kembali berteriak dengan nyaring,

“Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!”

Yap Kun Liong dan keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, bahkan dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa,

“Siapakah yang memimpin pasukan ini?”

“Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini.”

“Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!” kata pula Yap Kun Liong.

Seorang pemuda maju dan mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, kemudian komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.

“Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku,” kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.

“Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!” jawab Ma-ciangkun.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: