***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 115

“Ayah...!” Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. “Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?” isaknya.

“Sttt, jangan, anakku. Lanjutkan pernikahan ini, jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian.”

Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Yap Mei Lan menangis terisak-isak dan Souw Kwi Beng juga memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati sucinya, menghibur dan berbisik.

“Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku.”

Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya,

“Sute, terima kasih dan hati-hatilah.”

Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihunya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang.

Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan gelisah sekali, terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak.

Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur.

Di sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami melakukan perjalanan, tentu dia sudah menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan empat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.

Sebetulnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.






Telah diceritakan di bagian depan bahwa biarpun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapapun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.

Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum dapat menyerahkan dirinya karena ancaman subonya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri.

Mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantunya untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti telah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Makin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia berpacaran dengan panglima itu, walaupun dia masih belum berani menyerahkan diri karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!

Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannnya ketika mereka saling berpelukan dan berciuman.

Oleh karena itu, mana mungkin dia mampu menanti sampai semua musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah sampi wanita itu selesai membunuh musuh-musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?

Maka, Lee Siang tidak dapat tahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan berahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing.

Dan setelah keesokan harinya sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat di dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subonya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subonya bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!

Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibir. Dia merasa puas, dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.

Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di depan pembaringan, tubuhnya hanya dibalut selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!

“Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?” tanyanya dengan mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, namun bahkan menonjolkan kecantikannya.

“Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Kita berdua harus mati sekarang, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri daripada mati di tangan orang lain!”

Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.

“Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta padamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, kenapa... kenapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?”

Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.

“Aku tahu... dan engkaupun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justeru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka.”

“Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?”

Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.

“Kau lihat daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?”

Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang berada di dagu wanita itu, yang menambah kamanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini telah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu tentang sumpahnya kepada subonya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subonya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!

Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu menyerahkan diri.

“Hong-moi, kasihku, sayangku, kau dengarkan aku. Aku mempunyai akal untuk menghadapi subomu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... aku minta... sukalah engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati...”

Lee Siang membuka selimut yang menutupi tubuhnya membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali dan dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.

“Ahhh...!” Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul dan menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. “Ah, Lee-ko... Lee-ko... bagaimana aku dapat membunuhmu...?”

Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut.

“Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah engkau sudah menceritakan bahwa subomu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Biarpun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kau katakan, apa sukarnya untuk mengelabuhi pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apalagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?”

Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu berahinya sudah berkobar lagi.

Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya,
“Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ah, dadamu sampai terluka, berdarah...”

Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil di dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.

Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap saat dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga dan akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara.

Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subonya dan suhengnya yang mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Ketika hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatirannya tentang tahi talat yang hilang itu.

Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu.

“Ah, tidak ada bedanya seujung rambutpun, Hong-moi. Jangan khawatir, apalagi subomu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu.”

Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!

Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorangpun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat di dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata,

“Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?”

“Harap subo suka bersabar, teecu tidak pernah berhenti berusaha,” kata Kim Hong Liu-nio dan saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan diapun tidak perduli lagi!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: