***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 116

Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subonya. Setelah memberi hormat kepada subonya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut. Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai memandangnya penuh perhatian, terutama memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang ketika dia melangkah tadi.

Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan bicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.

Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, sudah dapat menduga bahwa sumoinya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggilnya dengan wajah bengis.

“Kim Hong, lekas kau cuci titik hitam di dagumu itu!” bentak sang guru.

Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.

“Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?”

“Hemm, masih hendak mengelabuhi gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?”

Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia telah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!

“Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?”

Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang.

“Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu telah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan...”

“Perempuan hina!”

Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subonya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.

Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata,






“Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!”

“Subo, tahan dulu!”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.

Nenek itu menoleh dan memandang Sabutal dengan wajah makin berkerut menyeramkan.

“Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!”

Raja Sabutai tersenyum.
“Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak dapat menahan gelora nafsunya? Memang dia telah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biar dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh diapun belum terlambat.”

Hek-hiat Mo-li mengomel.
“Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku kena dikelabuhi, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kau dengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!”

Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika di Lembah Naga diadakan pemilihan guru silat, dia tidak hadir, dan itu pula sebabnya mengapa Hek-hiat Mo-li marah-marah ketika Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Kemarahannya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.

Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subonya dan suhengnya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.

“Ah, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuh aku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, daripada di tangan subo atau suheng!” wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang.

Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.

“Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu,” katanya.

Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia memperoleh akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula, kemudian dia mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar untuk pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng.

Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su dan seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap empat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena selain tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.

Memang, kalau orang sudah tergila-gila apapun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu.

Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tidak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekat. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai matipun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, apalagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.

Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apalagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi.

Dunia kang-ouw akan menjadi geger karenanya dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang. Namun, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamatpun takkan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang dicintanya, biar apapun terjadi, dia tidak takut bahkan matipun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.

Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebarluaskan berita tentang penangkapan itu dan seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar.

Kalau yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran.

Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Betapa aneh dan janggalnya berita ini. Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu, dan tentu saja banyak para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.

Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu menyerah karena melihat “surat perintah” kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang amat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu.

Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu.

Inilah sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan. Apalagi ketika pada suatu malam rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak menggunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang minta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw agar jangan melawan pemerintah. karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.

Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.

Kereta kerangkeng itu dimasukkan dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin perajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin perajurit pilihan!

“Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semua ini dan mengamuk!”

Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.

“Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan pengadilan, aku yakin kita akan dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat daripada bebas menggunakan kekerasan.”

“Aku heran sekali, mengapa kita berempat disuruh tangkap oleh kaisar?” Bun Houw berkata.

“Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Biarpun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!” kata Yap In Hong.

“Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu,” kata Kun Liong kepada adiknya. “Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andaikata difitnah sekalipun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Kalau kita menggunakan kekerasan, hal itu bahkan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Kalau kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: