***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 117

Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan samadhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih.

Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, “sssttt...!” karena dia mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya.

Tak lama kemudian, berkelebat bayangan merah dan dengan gerakan yang ringan sekali melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah, turun di luar ruangan itu.

Seorang wanita muda yang cantik manis, pakaiannya serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dihias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!

Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, tiba-tiba Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.

“Mau apa kau ke sini?” Bun Houw membentak.

“Pergilah kau!”

In Hong juga membentak. Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.

Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis.
“Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teecu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo.”

“Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!” bentak In Hong.

“Kalau suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik padanya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya...”

“Sudahlah, kami bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!” kata Bun Houw.

“Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...” gadis itu memohon.

“Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!”






In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya dan Kun Liong khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.

“Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu,” kata Bun Houw.

“Suhu... subo...” wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu telah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya lebih cepat daripada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.

“Seng-ji...!” Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.

“Ooh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia berniat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis.”

“Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami.” kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.

Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin datang penjaga baru dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata,

“Seng-ji, kau tinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukan itu terus, akan tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa-apa sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan.”

“Benar kata ayahmu, Seng-ji. Kau pergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri.” kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya girang dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.

“Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhnya. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini.”

Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.

“Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?”

Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya tentang gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.

“Akupun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?” kata Yap Kun Liong kepada adiknya. “Siapakah dia?”

Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandang mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya,

“Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, akan tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, dan tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang dia.”

Pendekar ini lalu bercerita, dengan suara bisik-bisik agar jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, dan hanya terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya.

Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuan bernama Sun Eng.

Di dalam cerita Dewi Maut diceritakan bahwa Bun Houw pernah dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi.

Sun Bian Ek ini sengaja mengganti nama karena dia menjadi orang buruan, berganti nama Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya sampai Kiam-mo Liok Sun akhirnya tewas di tangan musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw agar suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.

Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya dan bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi dan menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.

Kemudian, setelah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang sebuah kota yang cukup ramai tak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.

Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan mereka berdua secara bergantian mendidik dan memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu.

Sun Eng semenjak kecil memiliki watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu merupakan sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa sehingga Sun Eng menjadi manja sekali.

Makin besar, Sun Eng makin menjadi cantik dan pesolek, akan tetapi dalam kelincahannya terdapat sifat-sifat genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.

Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subonya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Setelah berusia tujuh belas tahun, mulai nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya kalau sedang dilatihnya silat semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara.

Bahkan kalau sedang berlatih silat di depannya, Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya dan pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri dan memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!

Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subonya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subonya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apalagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subonya tidak pernah menjenguk keluarga sehingga akhirnya subonya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, tentang perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.

“Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua,” subonya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subonya belum juga mempunyai keturunan!

Maka tahulah Sun Eng bahwa suhunya masih perjaka dan subonya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhunya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi makin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya. Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak memperdulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta berahi.

Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasanya, Sun Eng yang sudah tidak dapat menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri tentang adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.

“Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar sekali, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!” kata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti ketika Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, “Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang seorang pria seperti dia tersia-sia.”

Malam itu Sun Eng gelisah di pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia membayangkan, betapa akan mesranya kalau gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila kepada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: