***

***

Ads

Sabtu, 11 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 119

Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi juga mengandung rasa sayang,

“Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara terbuka.”

Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subonya dalam percakapan ini, maka dia hanya mengangguk, dan menjawab,

“Baik, subo.”

“Sun Eng, aku telah tahu akan perbuatanmu beberapa malam yang lalu, terhadap suhumu.”

“Aihh...!”

Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun Houw.

Pendekar ini mengangguk.
“Aku menceritakan hal itu kepada subomu, Sun Eng, demi kebaikan kita bersama dan agar engkau mengerti benar betapa tidak benar dan tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu.”

Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.

“Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap suhumu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat sekali. Suhumu adalah gurumu yang menjadi pengganti ayah, atau seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid terhadap guru, menjadi cinta berahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhumu adalah seorang pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau akan merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?” Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.

“Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu kepadaku! Ah, hal itu lebih mencelakakan daripada kalau engkau menyerangku dengan pedang di tangan!” Bun Houw menambahkan.

Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran dan dengan terisak-isak Sun Eng berkata.

“Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh sekalipun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebenarnya, teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu...”






“Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?” In Hong berkata.

“Ampun, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya mengorbankan badan... biar menyerahkan nyawa berkorban jiwapun teecu rela untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo...”

In Hong dan Bun Houw saling pandang kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah menunduk dan menangis lagi.

“Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kau lakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhumu, menjadi seperti dahulu, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kau enyahkan dari hatimu. Mengerti?”

Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya,
“...teccu salah... teecu salah...”

Melihat itu, Bun Houw merasa kasihan sekali.
“Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan subomu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke jalan benar.”

Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat.

Agaknya peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid maupun dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya.

Dan di dalam hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid mereka, membuat mereka bersikap tidak begitu memperdulikan lagi. Bahkan ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang menegur dan menasihati, akhirnya juga diam saja.

Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.

Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut ketika menerima serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.

Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang amat terkenal di kota itu sebagai pemuda mata keranjang, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu, mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk watak ini, tentu saja Bun Houw dan Yap In Hong menjadi marah dan serta merta menolak pinangan itu.

Apalagi In Hong! Pendekar wanita ini pada dua tahun yang lalu pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau tidak dicegah oleh Bun Houw tentu sudah membunuhnya karena Aw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil ketika dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan kalau pendekar wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.

Para utusan itu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidak senangan hatinya oleh penolakan itu.

“Eng-ji, yang meminangmu adalah seorang pemuda yang tersohor jahat dan busuk namanya di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras,” kata In Hong.

“Terserah suhu dan subo,” jawab dara itu dengan singkat lalu meninggalkan kedua gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.

Bun Houw menarik napas panjang.
“Aihh, untung dia bukan adik atau anak kita, kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main.”

“Betapapun juga, dia adalah murid kita dan sudah sepatutnya kita jaga agar jangan memperoleh suami yang brengsek,” kata In Hong.

Peristiwa penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara kedua orang guru dan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga daripada berlatih silat, setelah selesai membantu subonya di dapur.

Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng.

Demikianlah, pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka perlahan dan mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu.

In Hong dan Bun Houw cepat membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!

“Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang,” terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!

“Aku tentu datang, kongcu, akupun rindu sekali padamu.”

“Ah, Eng-moi, engkau memang manis, sayang,” kata Auw-kongcu dan kini sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan ketika tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!

“Keparat!”

In Hong memaki dan dia sudah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat dan dibantingnya, seperti membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak kaget dan kesakitan.

“Anjing hina-dina!” In Hong membentak lagi ketika melihat muridnya dengan pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. “Manusia she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!”

Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subonya melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhunya lalu berkata dengan suara lantang.

“Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apa kesalahan Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?”

Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
“Tidak berhak...? Dan dia... dia dan kau...”

“Memang! Aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa hubungannya ini dengan subo?” teriak Sun Eng menantang dan In Hong merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tidak nampak, juga Bun Houw mengeluarkan seruan tertahan.

Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan bicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!

“Sun Eng! Kau... kau...”

Saking marahnya, In Hong tak mampu melanjutkan kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya itu.

“Plakk!” Tangan Bun Houw menahan lengannya. “Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan.”

In Hong terengah-engah saking marahnya.

“Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami sudah saling mencinta. Aku rela menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, mengapa suhu dan subo hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo telah menolak pinangannya. Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?”

Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: