***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 121

“Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Ataukah hal itu merupakan hal yang patut dikasihani dan tidak terlepas daripada pendidikan dan lingkungan? Kalian masih terlalu muda untuk mendidik, mungkin dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biarpun kalian sudah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguhpun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja.”

Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka dapat melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak dapat menerima kesalahannya secara rela dan diam-diam dia masih penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.

Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.

Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan serem ketika dia bertemu dengan nenek muka hitam yang amat tua itu, dan memandang dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu.

Di samping tiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya untuk membantunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.

Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li dapat muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas diri empat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati.

Maka setelah mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.

“Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota raja,” kata Kim Hong Liu-nio.

Nenek itu terkekeh girang.
“Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!”

Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini lalu memilih tiga belas orang jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal dan membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu.






Dengan cepat berangkatlah mereka, menjemput Lee-ciangkun dan bersama-sama lalu menuju ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kebetulan mereka bertemu dengan rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng dan Lee Siang lalu langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin dan mereka berempat lalu mengadakan perundingan rahasia.

“Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri telah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka itu, maka kami menunjuk locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau ini.” Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa Ciong.

Karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek itu amat menakutkan.

Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.

“Ciong-taijin, guruku berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat orang itu tidaklah mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo mengusulkan untuk membakar penjara dimana empat orang itu terkurung. Hal ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab.”

Mendengar ini, wajah pembesar itu berubah pucat dan keringat dingin membasahi lehernya.

“Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!”

Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia pandai bicara dalam bahasa Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah kepada para pembesar, dan tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.

“Menurut subo, tidak mengapa kalau sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanya sekeliling ruangan di mana empat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan membakar seluruh penjara, maka, andaikata ada orang tahanan yang ikut tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya.”

Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.

“Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggung-jawab akal hal ini!” kata Lee Siang dengan girang, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan terancam lagi.

Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara rahasia, ruangan penjara dimana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar di sebelah dalam.

Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng. Biarpun sudah diusir oleh suhu dan subonya, namun Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar, melainkan berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang biarpun mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan.

Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan pulang sebentar.

Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut sekali, berusaha menahan namun terlambat karena kaki depan kudanya sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri. Wanita itu masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!

Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam,
“Aauhhhh... tolonglah aku...”

Komandan itu menelan ludahnya. Melihat wanita itu mengeluh dan mengeliat, dia terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, lalu membawanya ke atas kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota dimana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!

Ketika komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada dalam pelukannya tadi di atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba untuk duduk.

“Auuuh kakiku...” keluhnya.

“Kenapa kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa.” Komandan itu menghampiri dan duduk di atas pembaringan.

Nona itu tidak membantah dan melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya sampai ke lutut. Kembali dia menelan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya yang gemetar.

“Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!” Wanita cantik itu mengeluh lagi.

Mengira bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lalu mengurutnya dan menaruh obat, kemudian dibalutnya,

“Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan sehingga tertabrak oleh kuda?”

Nona itu mengerling tajam lalu tersenyum malu-malu.
“Aku... aku memang ingin melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku kagum melihat engkau begini gagah...”

Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya akan apa yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai.

“Benarkah, nona? Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?” tanyanya nakal, penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.

Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya.
“Ah, kakiku masih sakit sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh...”

“Boleh apa...?”

Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat,
“Ihhh, engkau tentu mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?”

“Benar, aku seorang di antara komandan penjara!” komandan itu menjawab bangga.

“Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu, ciangkun.”

“He-he-he, benarkah?” Komandan itu menyeringai dan menelan ludah, lalu dia mendekatkan hidungnya untuk mencium. Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, “Engkau manis, he-he, engkau cantik manis!”

Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus,

“Sabarlah, ciangkun, kakiku tak dapat digerakkan. Biarlah nanti... eh, beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah ada hubungannya dengan kereta kerangkeng dimana terdapat empat orang penjahat itu?” Secara sambil lalu wanita itu bertanya.

“Ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapapun...”

Wanita itu cemberut dan berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

“Eh, engkau mau kemana?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: