***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 126

Lie Seng menggeleng kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra.

“Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya hal itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang manapun juga, maka kalau engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan.”

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ah, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya!

Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu terganti oleh malapetaka melihat pria ini nanti membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya. Ah, betapa ingin dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah daripada harus menceritakan kesemuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.

Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.

“Enci Eng, sudahlah. Kalau engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, akupun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapapun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu.”

Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup!

Akan tetapi dia ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan kalau sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu daripada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.

“Dengarkan, taihiap, dengarkan baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, maka aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia ini. Setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat...”

Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.

“Sudahlah, enci Eng...”

Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu.






“Pemuda itu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanya merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu-nafau berahinya...”

“Cukup, enci Eng...”

“Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu...”

Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi. Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.

“Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!”

“Sun Eng...” Lie Seng mengeluh.

“Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun, yang kutemui hanya pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka, hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka...”

“Cukup...!”

Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Mengerikan sekali wajahnya, pucat dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.

Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng.

“Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang sudah kau dengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tidak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu...”

Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan tidak bergerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri. Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia makin kasihan kepada wanita ini, makin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu!

Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau disitu tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tidak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!

Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.

Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan diapun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berdasar ketika merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

“Sun Eng... aku cinta padamu... apapun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu...”

Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Namun, sekali ini, dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!

Terasa olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar di antara mereka, perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

“Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!”

Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

“Aku cinta padamu, enci Eng...”

“Demi Tuhan, terkutuklah aku kalau tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau telah mengangkatku dari jurang maut, engkau telah mendatangkan cahaya terang dalam hidupku yang gelap gulita. Dan demi Langit dan Bumi, akupun cinta padamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu berahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni dan hanya mendapatkan cinta nafsu. Sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu berahi.”

“Taihiap, berilah waktu kepadaku, kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi akupun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau telah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan jangan memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir sampai masak benar untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati daripada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita akan sama-sama melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan bantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini...”

Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati di saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng. Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi diapun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tidak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

“Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!”

Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang sudah pergi jauh itu. Dia tidak mendengar jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.

Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia menghampiri sebatang pohon besar dan menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.

Bertemu dan berpisah bagai mimpi
Lie dan Sun membuat janji suci
akan bertemu di awal musim semi!

Setelah puas dengan coret-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya.

Akan tetapi biarpun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat. Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biarpun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula mengapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan, namun pembunuhan terhadap panglima itu dan perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal, cukup menggegerkan.

Apalagi Kim Hong Liu-nio yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat “pemberontak” yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan dan pengejaran pemerintah!

**** 126 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: