***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 127

Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok yang memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Tembok itu merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.

Daerah seperti itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Dan di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani menggunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal.

Akan tetapi semenjak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya dan perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi semenjak itu, Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan kini dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga. Bouw Song Khi ini berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, dan seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, sungguhpun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suhengnya itu.

Karena Jeng-hwa-pang merupakan perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk. Kini, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan “pajak jalan” dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksa dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.

Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suhengnya itu, karena suhengnya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak untuk dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu menjaga keamanan Jeng-hwa-pang dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.

Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dahulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga kini persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa!






Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejat moralnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan dan kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suhengnya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah dan pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini sudah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di situ, setelah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikitpun karena telah ditotoknya, kemudian gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.

Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sutenya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanya merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.

Demikianlah, tanpa ada gangguan apapun Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lalu membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biarpun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.

Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya diapun akan merasa jemu karena biarpun gadis itu manis, namun dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suhengnya di tempat itu untuknya wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh.

Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya! Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu dimana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya.

Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.

Pada saat Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, dua orang muda nampak memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu. Dua orang pemuda yang berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka itu tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How, dan Sin Liong!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang yang telah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringkan seorangpun pengawal. Setelah di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki dan akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.

Tentu saja kedatangan dua orang muda ini segera ketahuan dan gegerlah Jeng-hwa-pang. Dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggauta Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka melewati pintu gerbang. Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang. Namun, para anggauta Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanya dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walaupun mereka telah dikurung banyak orang.

“Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak seorang di antara mereka.

Marahlah Han Houw mendengar ini. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, diapun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-manapun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia berkata.

“Huh, kalian ini tikus-tikus busuk kecil tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!”

Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anggauta Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal, yang terkenal pemarah dan terkenal pula memiliki tenaga besar seperti kerbau, melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak.

“Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!”

Dia sudah mengulurkan tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!

Pemuda ini berdiri tegak, sedikitpun tidak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba si kumis tebal itu memekik keras dan roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah.

Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerangnya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang amat berbahaya, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.

Semua anggauta Jeng-hwa-pang terbelalak, apalagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah Jeng-hwa-pang yang hanya dipergunakan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini mempergunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

“Siapa dia...?”

“Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!”

Ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena selain kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

“Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!”

Han Houw kembali membentak, suaranya nyaring sekali dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jerih menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

“Pemuda sombong, aku telah berada di sini!”

Tiba-tiba terdengar suara keren dan semua anggauta Jeng-hwa-pang merasa lega, lalu bersibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggauta Jeng-hwa-pang.

Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu karena dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suhengnya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang.

Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apalagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.

Han Houw dan Sin Liong cepat membalikkan tubuh memandang. Sin Liong segera mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini, ketika dia dilempar ke dalam lubang ular!

Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu dia terkejut dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.

Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apalagi diapun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, namun diapun sudah merasa jerih.

Tidak demikian halnya dengan suhengnya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biarpun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggautanya tewas, dia sudah marah sekali.

“Siapakah kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggauta kami?” bentaknya sambil melangkah maju.

Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: